- Bank Syariah. Sejak 2010, bank syariah menjadi kanal penting penyaluran KPR Sejahtera FLPP. Bank Syariah Indonesia (BSI), hasil merger 2021, mencatat penyaluran 4.360 unit senilai Rp653 miliar (Jan–Nov 2023). Di level daerah, bank pembangunan daerah berprinsip syariah turut aktif—termasuk BRK Syariah yang meneken kerja sama FLPP–Tapera untuk memperkuat peran di 2025. Fakta-fakta itu menegaskan bahwa jalur syariah bukan figuran, justru menjadi kontributor nyata dalam mesin program subsidi.
- Fintech Syariah. Platform pembiayaan crowdfunding seperti Ethis menutup celah yang belum sepenuhnya dijangkau perbankan. Seperti soal pendanaan konstruksi skala kecil-menengah untuk proyek rumah MBR. Sejak 2015, Ethis memobilisasi dana investor untuk proyek perumahan bersubsidi; sekitar 6.000 unit tercatat sampai awal 2020. Skala fintech masih kalah besar dari bank, tetapi nilai tambahnya ada pada inovasi model pendanaan dan jangkauan komunitas.
- Koperasi Syariah. Di sisi lain, koperasi seperti Koperumnas mempromosikan “rumah syariah tanpa riba” melalui iuran gotong royong, tanpa bank dan tanpa BI checking. Skema semacam itu bukan bagian dari FLPP (tidak menggunakan dana APBN), tetapi bisa menjembatani MBR yang tidak lolos verifikasi perbankan. Klaim iuran sekitar Rp1 juta/bulan dan lokasi yang tersebar menunjukkan adanya permintaan dan preferensi syariah di akar rumput. Namun, transparansi, tata kelola, dan kepatuhan regulasi tetap menjadi prasyarat agar model tersebut berkelanjutan.
[OPINI] Syariah Mendorong 3 Juta Rumah, Sebuah Pelajaran dari Kendal

- Pemerintah menargetkan pembangunan 3 juta rumah subsidi pada periode 2024–2029 untuk memangkas backlog perumahan yang masih sekitar 9,9 juta unit.
- Di Kendal, pemerintah daerah mencapai realisasi penjualan rumah subsidi FLPP mencapai 3.435 unit, tertinggi di Jawa Tengah, dengan ekosistem kompak dari pemerintah pusat dan daerah, pengembang, dan perbankan.
- Bank syariah seperti BSI dan BRK Syariah aktif dalam penyaluran KPR Sejahtera FLPP, sementara fintech syariah seperti Ethis dan koperasi syariah juga turut berperan dalam pembiayaan rumah bersubsidi.
Pemerintah menargetkan pembangunan tiga juta rumah subsidi pada periode 2024–2029 untuk memangkas backlog perumahan yang masih sekitar 9,9 juta unit. Di Jawa Tengah, Kabupaten Kendal muncul sebagai contoh menarik. Per 12 Oktober 2025, pemerintah daerah tersebut menegaskan realisasi penjualan rumah subsidi yang berskema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) mencapai 3.435 unit. Angka itu tertinggi di Jawa Tengah.
Capaian tersebut dibentuk oleh ekosistem yang kompak–mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pengembang, dan perbankan–dengan pembiayaan syariah menjadi salah satu motor yang berjalan beriringan dengan skema konvensional.
Program 3 Juta Rumah bukan sekadar janji, melainkan mandat kebijakan baru yang dikejar melalui peningkatan kuota FLPP menjadi 350.000 unit pada 2025 dengan anggaran Rp43 triliun. Target itu bertumpu pada orkestra superteam perumahan–BP Tapera, bank penyalur, dan pemerintah daerah–untuk mempercepat akses hunian layak bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Kendal menjadi panggung uji yang ideal, yakni realisasi tinggi, proyek percontohan hijau, dan kemitraan syariah yang aktif.
Secara nasional, FLPP tumbuh dari kisaran 200 ribu unit/an di 2022–2023 menuju target 350 ribu unit pada 2025. Di Kendal, laju penjualan melonjak hingga menempatkan daerah tersebut berperingkat satu se-Jateng dan 10 besar nasional pada 2023; posisi tersebut dikukuhkan lagi dengan total 3.435 unit hingga Oktober 2025. Angka itu mengindikasikan permintaan yang kuat sekaligus efektivitas multi-skema (konvensional dan syariah).
Penting dipahami, kualitas risiko KPR subsidi relatif sehat. Untuk gambaran, NPL FLPP (contoh: bank penyalur besar seperti BRI) dilaporkan di kisaran 1,1 persen pada 2025—level rendah untuk kredit konsumsi—sehingga menarik secara risk-adjusted return. Inferensi wajar: portofolio KPR subsidi syariah, yang tunduk pada seleksi MBR dan monitoring yang sama, umumnya berada pada risiko serupa.
Sebelum membahas lebih mendalam, perlu mengetahui potret lembaga syariah yang terus berkembang di dalam negeri.
Secara nasional, FLPP tumbuh dari kisaran 200 ribu unit/an di 2022–2023 menuju target 350 ribu unit pada 2025. Di Kendal, laju penjualan melonjak hingga menempatkan daerah tersebut berperingkat satu se-Jateng dan 10 besar nasional pada 2023; posisi tersebut dikukuhkan lagi dengan total 3.435 unit hingga Oktober 2025. Angka itu mengindikasikan permintaan yang kuat sekaligus efektivitas multi-skema (konvensional dan syariah).
Penting untuk dipahami bahwa kualitas risiko KPR subsidi relatif sehat. Untuk gambaran, NPL FLPP (contoh: bank penyalur besar seperti BRI) dilaporkan di kisaran 1,1 persen pada 2025—level rendah untuk kredit konsumsi—sehingga menarik secara risk-adjusted return. Inferensi wajar: portofolio KPR subsidi syariah, yang tunduk pada seleksi MBR dan monitoring yang sama, umumnya berada pada risiko serupa.

Dari sisi tata aturan, pembiayaan rumah bersubsidi syariah berlandaskan UU Perbankan Syariah dan fatwa DSN-MUI terkait akad (murabahah/ijarah/MMQ), sementara program subsidinya diatur Kementerian PUPR melalui regulasi seperti Permen PUPR 20/2019 (kemudahan dan bantuan pemilikan rumah MBR) yang menaungi skema SSB/SSM serta integrasi dengan Tapera (PP 25/2020). Dalam praktiknya, subsidi pemerintah mereduksi harga uang dan margin hingga setara 5 persen tetap, serta menambahkan SBUM Rp4 juta untuk meringankan DP, sebagai ketentuan yang setara antara jalur konvensional dan syariah.
Pada 2023–2025, BP Tapera memimpin orkestrasi penyaluran FLPP, melakukan evaluasi bank penyalur, dan mengampanyekan keterhunian sebagai indikator mutu. Laporan resmi menyebut keterhunian rumah FLPP berada di kisaran lebih dari 90 persen pada 2025, yang menjadi penanda bahwa rumah benar-benar dihuni, bukan sekadar aset investasi.
Adapun, untuk studi kasus di Kendal, sebagai berikut:
- BSI–Muhammadiyah Kendal. Pada Juli 2023, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kendal dan BSI meluncurkan program kepemilikan KPR Sejahtera FLPP untuk guru, nakes, dan pegawai Amal Usaha Muhammadiyah setempat. Penawaran skema syariah—cicilan tetap hingga 15 tahun, bebas premi tertentu/PPN, plus SBUM Rp4 juta—menunjukkan bagaimana kemitraan komunitas dapat memperluas penyerapan di segmen MBR.
- Bumi Svarga Asri (BSA)—percontohan green housing. Di Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, proyek BSA menggabungkan dukungan Bank Tanah, BP Tapera, BTN, SMF, dan Pemkab Kendal. Rumah tipe 36/60 dijual Rp166 juta/unit; sebagian dinding memanfaatkan bata interlock dari residu semen, dengan desain hemat energi (langit-langit tinggi ±3,5 m, ventilasi silang) agar sejuk tanpa AC. Per Januari 2025, puluhan unit telah akad. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) meninjau langsung pada April 2025 dan menyebut BSA sebagai wujud ekosistem “superteam” yang ramah lingkungan dan layak huni.
- Penguatan ekosistem di Jateng. Kunjungan kerja dan rakor lintas pemangku kepentingan di Jateng pada 2025 menegaskan standar kualitas dan komitmen penjagaan mutu rumah subsidi sejalan dengan Program 3 Juta Rumah. Pesan intinya: jumlah penting, tetapi kualitas dan keterhunian adalah ukurannya.
Tantangan: Modal Konstruksi, Kecepatan Proses, dan Literasi
- Konstruksi dan arus kas developer. Banyak pengembang MBR berskala UMKM membutuhkan pembiayaan konstruksi yang murah dan cepat. Perbankan konvensional historisnya lebih agresif di kredit konstruksi. Oleh karena itu, peran bank syariah di porsi praakad perlu ditingkatkan agar proyek tidak “seret” sebelum KPR individu cair. Sinergi PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) (termasuk instrumen syariah), kredit modal kerja syariah, atau crowdfunding dapat menjadi opsi campuran—sebagaimana dicontohkan oleh ekosistem finansial di BSA.
- Kecepatan proses dan kuota. Bank syariah menghadapi kuota FLPP tahunan dan antrian proses ketika permohonan membludak. BSI, BRK Syariah, dan bank daerah syariah lain mendapat porsi kuota dan dievaluasi rutin oleh BP Tapera, tetapi untuk mengejar akselerasi tiga juta unit, digital onboarding dan otomasi integrasi (SiKasep–SiKumbang–SIPetruk) perlu dipercepat.
- Literasi syariah. Masih ada persepsi bahwa KPR syariah “lebih mahal” dari konvensional. Padahal, pada skema FLPP, bunga 5 persen (konvensional) dan marjin 5 persen (syariah) sama-sama tetap sepanjang tenor; ditambah SBUM Rp4 juta yang meringankan DP. Narasi edukasi—melalui expo perumahan, sosialisasi komunitas, dan kanal digital—perlu lebih masif agar MBR tahu pilihan dan memilih sesuai keyakinan sekaligus kemampuan.
Peluang: Pasar Besar, Inovasi Hijau, dan Kolaborasi
- Pasar yang terus tumbuh. Dengan backlog tinggi dan mobilitas kerja Semarang–Kendal yang kian terhubung, permintaan rumah MBR di Kendal stabil bahkan meningkat. Rumah hijau seperti BSA—dengan material interlock dan desain hemat energi—menarik bagi ASN muda dan keluarga baru yang peduli biaya hidup. Harga Rp166 juta untuk tipe 36/60 dengan akses KPR FLPP berada pada sweet spot keterjangkauan.
- Perbankan syariah naik kelas. Dorongan pemerintah terhadap ekonomi syariah membuka ruang ekspansi: kuota 350 ribu unit menciptakan pasar besar untuk bank syariah memperluas penyaluran KPR subsidi; BRK Syariah dan bank daerah syariah lain menandatangani PKS dengan Tapera untuk 2025, serta mendapat apresiasi pada evaluasi kinerja. Momentum ini strategis untuk memperbesar pangsa pasar syariah di KPR MBR.
- Fintech dan koperasi sebagai pelengkap. Ethis dan model koperasi syariah dapat mengisi celah: bridge financing DP, pendanaan konstruksi mikro, atau tabungan perumahan komunitas. Namun, perlu guardrail regulasi dan due diligence agar perlindungan konsumen MBR tetap terjaga.
Lalu, bagaimana dengan efektivitasnya pembiayaan syariah dengan konvensional di Kendal. Analisis berikut ini memberikan gambaran secara lengkap.
- Penyerapan. Secara absolut, skema konvensional masih dominan karena jaringan dan sejarah penyaluran yang panjang. Namun, skema syariah menambah ceruk baru—kelompok yang mengutamakan kehalalan akad—sehingga akumulasi total penyerapan meningkat. Capaian Kendal (peringkat 1 Jateng pada 2023 dan 3.435 unit per Oktober 2025) lebih mungkin terjadi karena sinergi keduanya, bukan salah satu saja.
- Keterjangkauan. Untuk FLPP, bunga 5 persen (konvensional) dan marjin 5 persen (syariah) sama-sama fixed hingga tenor selesai. Tambahan SBUM Rp4 juta meringankan DP; pada beberapa program komunitas (contoh BSI—Muhammadiyah Kendal), biaya awal dan persyaratan juga dipermudah untuk segmen MBR. Dari sudut MBR, syariah memberi kepastian cicilan dan ketenangan nilai; dari sudut kebijakan, keduanya setara manfaatnya.
- Risiko dan ketepatan sasaran. Keduanya menunjukkan NPL/NPF rendah (sekitar 1 persen–an untuk FLPP), karena motivasi debitur tinggi untuk menjaga rumah pertamanya. BP Tapera menekankan keterhunian sebagai metrik mutu; penilaian kuartalan dan pemberian penghargaan untuk 16 bank penyalur membantu menjaga kualitas ekosistem.
- Dampak sosial. Jalur syariah sering membawa nilai tambah sosial—penguatan literasi keuangan syariah, pemberdayaan komunitas—sementara jalur konvensional mengandalkan jaringan dan proses yang sudah matang. Keduanya saling melengkapi; kompetisi sehat antarbank dalam menyerap kuota justru mempercepat pencapaian target.
Kendal membuktikan bahwa pembiayaan syariah bukan sekadar pilihan ideologis, melainkan instrumen efektif untuk memperluas akses rumah layak—selaras dengan misi 3 Juta Rumah. Ketika bank syariah, bank konvensional, fintech, dan pemerintah daerah bergerak selaras, hasilnya terukur: peringkat pertama penyaluran FLPP di Jateng (2023) dan 3.435 unit rumah subsidi terjual (hingga Oktober 2025).
Dengan menjaga kualitas, keterjangkauan, dan akuntabilitas—serta mengedepankan opsi syariah yang setara manfaatnya—daerah lain bisa menyalin “resep Kendal” untuk mempercepat pemenuhan rumah MBR, tanpa mengorbankan prinsip maupun ketepatan sasaran.
Santi Inderawati, ST., MM., Mahasiswa Program Studi (S2) Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung Semarang, yang juga praktisi pengembang perumahan di Jawa Tengah dan aktif di organisasi DPD Himperra Jateng sebagai Wakil Sekretaris Bidang Perbankan dan CSR.

















