Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Dampak Negatif Perilaku Boys Will Be Boys setelah Jadi Ayah

ilustrasi ibu bekerja (pexels.com/Vlada Karpovich)
Intinya sih...
  • Ayah harus menjadi panutan yang baik di rumah, bukan membenarkan idiom "Boys will be boys" yang negatif.
  • Perilaku ayah berpengaruh pada anak, jika masih kekanakan akan berdampak buruk terutama pada anak laki-laki di masa depan.
  • Membenarkan "Boys will be boys" mengundang perdebatan dengan istri, dapat menciptakan patriarki dan toxic masculinity di rumah.

Kamu pasti tidak asing lagi dengan idiom Boys will be boys. Idiom ini secara tersirat mengungkapkan bahwa anak laki-laki akan tetap jadi anak laki-laki tidak peduli sedewasa apapun usianya. Tentu kalimat ini tidak seutuhnya benar, apalagi setelah seseorang menjadi ayah.

Sosok Ayah adalah pemimpin sekaligus panutan dalam sebuah keluarga. Perannya sangat penting dan vital, sehingga kalimat seperti, Boys will be boys ini tidak seharusnya ada pada diri seorang ayah. Berikut dampak negatif jika ayah membenarkan boys will be boys di rumah. Simak selengkapnya, yuk!

1. Memberikan contoh yang salah pada anak

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Sosok ayah biasanya selalu difigurkan oleh anak-anaknya. Ucapan dan perilakunya bisa sangat berpengaruh pada anak-anak bahkan sampai mereka dewasa. Untuk itu, wajib bagi seorang ayah memberikan contoh yang baik di hadapan anaknya.

Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika ayahnya masih kekanakan dan tidak bersikap dewasa? Tentu hal ini juga akan berdampak negatif pada anak terlebih lagi pada anak laki-laki. Jika ayahnya membenarkan bahwa ia bisa terus berperilaku seperti 'bocah laki-laki', bukan tidak mungkin anaknya akan melakukannya juga setelah dewasa nanti.

2. Membenarkan pemborosan untuk kepuasan diri

ilustrasi bermain (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Selain itu, kalimat boys will be boys sempat mencuri perhatian di tanah air. Banyak para pengguna sosial media yang menunjukkan berbagai koleksi mainan mahal, membeli video game, dan masih banyak lagi dengan menjadikan boys will be boys sebagai alasan untuk membenarkannya. Hal ini tidak sepenuhnya dilarang, karena kamu sepakat bahwa semua ayah juga butuh hiburan.

Akan tetapi, seorang ayah juga perlu pandai mengatur skala prioritas dalam rumah tangga. Jangan sampai kamu mengejar keinginan 'bocah laki-laki' dalam diri hingga abai pada kebutuh keluarga. Semoga saja tidak sampai melakukan pemborosan, ya!

3. Mengundang perdebatan dengan pasangan

ilustrasi miskomunikasi (pexels.com/Mikhail Nilov)

Selain dua poin di atas, dampak negatif yang satu ini juga sangat bisa terjadi. Jika seorang pria dewasa masih berperilaku layaknya bocah, bukan mustahil pasangannya akan jadi yang terdepan memberikan teguran. Oleh sebab itu, kalimat tersebut tidak bisa selalu dijadikan alasan untuk membenarkan hal-hal yang jelas salah.

Membenarkan hingga mempraktikkan boys will be boys di rumah, sama saja mengundang perdebatan dengan istri. Apalagi jika seorang suami sudah sampai mengabaikan kewajibannya dan selalu minta dimaklumi, karena merasa wajar bagi dirinya melakukan hal-hal demikian karena dia adalah anak laki-laki sampai kapanpun.

4. Dijadikan alasan untuk menormalisasi hal negatif pada anak laki-laki

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Boys will be boys juga erat kaitannya dengan pandangan umum pada anak lelaki sejak zaman dahulu. Zaman dahulu anak laki-laki dianggap lebih ceroboh, suka berkelahi, dan lebih suka bermain jika dibandingkan anak perempuan. Padahal, jika kamu memikirkannya baik-baik hal ini bisa saja tidak ada hubungannya sama sekali.

Siapapun bisa belajar mengendalikan dirinya untuk berperilaku baik, tidak terkecuali anak laki-laki. Ia bisa saja menjadi lebih rajin belajar, lebih berhati-hati, dan lebih penyayang jika ia mendapatkan pengasuhan yang benar dan tepat. Jadi, kalimat "Namanya juga anak laki-laki" itu tidak selalu bisa dibenarkan, ya!

5. Lebih berisiko menjadi patriarki dan toxic masculinity

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/cottonbro studio)

Stereotip gender menjadi erat kaitannya dengan kalimat tersebut. Gak heran jika seorang ayah membenarkannya, ia cenderung berpotensi menjadi patriarki dan toxic masculinity di rumah. Jika hal ini sampai terjadi, tentu tidak akan baik hasilnya untuk istri dan anak-anaknya.

Padahal, peran ayah untuk menjadi garda terdepan dalam banyak situasi dan kondisi sangat dibutuhkan dalam keluarga. Bagaimana bisa terwujud dengan ideal jika ayahnya seorang patriarki dan maskulinitas beracun.

Menjadi ayah adalah tugas yang tidak mudah, namun harus tetap dilakukan dengan baik. Meski dewasa bukan tentang angka, seorang ayah yang baik jelas tidak akan membiarkan dirinya berperilaku layaknya bocah. Terlebih lagi, di hadapan anak-anak dan istrinya, ia pasti ingin menunjukkan betapa ia selalu bisa diandalkan oleh orang-orang yang ia cinta. Semoga artikel ini bermanfaat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us