5 Pola Didik yang Tanpa Sadar Melanggengkan Toxic Masculinity, Setop dari Sekarang!

- Melarang anak laki-laki menangis, mengajarkan mereka untuk menekan perasaan dan dapat berdampak pada hubungan di masa depan.
- Menuntut anak selalu kuat dan tangguh, membuat mereka merasa tertekan dan sulit menerima kelemahan.
- Memuji sifat agresif sebagai "jiwa kepemimpinan", mengajarkan anak untuk kurang empati dan sulit menerima perbedaan.
Toxic masculinity itu bukan soal benci laki-laki, tapi soal ekspektasi gak sehat yang terus dipaksakan ke mereka. Mulai dari harus kuat setiap saat, dilarang nangis, sampai gak boleh terlalu lembut karena katanya “nanti gak jantan.” Dan percaya atau tidak, banyak dari nilai-nilai ini ternyata ditanamkan sejak kecil, langsung dari rumah sendiri.
Sering kali orang tua atau lingkungan terdekat gak sadar kalau pola didik mereka justru mendorong anak laki-laki untuk menekan perasaan, bersikap agresif, atau memaksakan diri jadi dominan. Akibatnya? Anak tumbuh dengan definisi maskulinitas yang sempit dan penuh tekanan. Nah, biar gak terjebak di lingkaran yang sama, yuk cek 5 pola didik yang tanpa sadar melanggengkan toxic masculinity di rumah!
1. Melarang anak laki-laki menangis

Kalimat legendaris seperti “laki-laki gak boleh nangis” atau “masa cowok cengeng sih?” sering banget kita dengar dari orang tua ke anak laki-laki. Padahal, menangis itu reaksi emosional yang normal dan sehat, bukan tanda kelemahan. Tapi karena sering dilarang, anak jadi belajar buat menekan perasaannya, seolah-olah emosi itu tabu.
Lama-lama, mereka gak terbiasa mengungkapkan rasa sedih, kecewa, atau takut. Semua dipendam sendiri sampai akhirnya meledak dalam bentuk kemarahan atau sikap dingin. Ini bahaya banget karena bisa berdampak ke hubungan mereka di masa depan, baik itu pertemanan, percintaan, bahkan hubungan kerja. Jadi, yuk mulai ubah mindset: nangis itu manusiawi, gak ada hubungannya sama seberapa “jantan” seseorang.
2. Menuntut anak selalu kuat dan tangguh

Anak laki-laki sering banget dibebani harapan buat selalu kuat, gak takut apa pun, dan gak boleh keliatan lemah. Misalnya, waktu jatuh dan luka, malah dibilang “ah itu doang, masa takut?” atau kalau gagal, langsung dibilang “kamu harus berusaha lebih keras lagi!” Tanpa sadar, anak tumbuh dengan pemikiran kalau mereka harus terus jadi sosok yang keras kepala dan tahan banting.
Padahal, setiap orang punya batasnya sendiri. Kalau terus dipaksa kuat, anak bisa merasa tertekan dan ngerasa gagal ketika suatu saat dia butuh bantuan atau merasa lemah. Kita lupa, menjadi kuat bukan berarti gak boleh rapuh. Justru, yang sehat itu adalah tahu kapan harus berjuang dan kapan boleh istirahat. Ajarin anak laki-laki bahwa mereka juga boleh merasa ngakuin kalau lagi capek dan itu bukan aib.
3. Memuji sifat agresif sebagai “jiwa kepemimpinan”

Ketika anak laki-laki bersikap dominan atau bahkan sedikit kasar, sering kali malah dipuji: “Wah, ini calon pemimpin, tegas banget!” atau “bagus, cowok harus berani!” Akibatnya, anak jadi merasa bahwa agresivitas adalah bagian dari jadi laki-laki sejati. Padahal, sikap agresif itu beda banget sama kepemimpinan yang sehat.
Kalau ini terus dibiarkan, anak bisa tumbuh jadi sosok yang merasa harus selalu menguasai keadaan dan sulit menerima perbedaan. Mereka bisa jadi kurang empati dan cenderung meremehkan orang lain, terutama perempuan. Yang lebih parah, sikap ini bisa terbawa sampai dewasa dan jadi bibit kekerasan dalam hubungan. Kita harus mulai bedain mana yang memang melatih jiwa kepemimpinan, mana yang bukan.
4. Menganggap pekerjaan rumah itu bukan tugas laki-laki

Banyak keluarga yang masih membagi peran berdasarkan gender secara kaku. Anak perempuan disuruh bantu di dapur, nyapu, atau jaga adik, sementara anak laki-laki bebas main atau bahkan dianggap gak pantas kalau disuruh bantu bersih-bersih. “Kan cowok, masa disuruh nyapu?” gitu katanya.
Pola kayak gini tanpa sadar ngajarin bahwa laki-laki gak perlu terlibat dalam kerja-kerja domestik. Padahal, kemampuan mengurus rumah itu basic skill buat semua orang, bukan tergantung jenis kelamin. Kalau dibiasakan sejak kecil, anak laki-laki akan tumbuh jadi pribadi mandiri dan lebih menghargai kerja keras orang lain. Jadi, yuk mulai libatkan anak laki-laki dalam tugas rumah tangga, bukan karena dia “membantu,” tapi karena itu memang tanggung jawab bersama.
5. Melabeli minat atau sifat tertentu sebagai “tidak jantan”

Kamu mungkin pernah dengar komentar kayak, “Loh, kok cowok suka warna pink?” atau “ih masa cowok suka nari, kayak cewek aja.” Label-label ini seolah menegaskan bahwa ada hal-hal tertentu yang gak cocok buat anak laki-laki. Padahal, minat dan kepribadian gak seharusnya dibatasi oleh stereotip gender.
Anak laki-laki jadi takut mengekspresikan diri dan memilih untuk menyukai hal-hal yang “aman” atau disetujui sosial, meski sebenarnya mereka punya minat yang berbeda. Akibatnya, mereka tumbuh dengan tekanan untuk terus menyenangkan orang lain, bukan jadi diri sendiri. Kita harus berhenti mengkotak-kotakkan maskulinitas hanya dari cara berpakaian, hobi, atau suara. Biarkan anak jadi versi terbaik dari dirinya, bukan versi yang kita paksakan.
Toxic masculinity bukan cuma dibentuk dari media atau pergaulan luar, tapi juga bisa tumbuh dari dalam rumah, dari cara kita bicara dan mendidik anak sehari-hari. Kalau kita gak sadar, pola-pola kecil itu bisa berdampak besar pada masa depan mereka. Bukan berarti kita harus jadi orang tua sempurna, tapi mulai dari refleksi dan perubahan kecil pun udah langkah maju. Yuk, kita bantu anak-anak laki-laki tumbuh jadi manusia yang utuh, bukan cuma “cowok sejati” versi steriotip sosial.