Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

4 Alasan Soft Selling Lebih Ampuh dari Hard Selling, Pembeli Gak Sadar

Ilustrasi selfie (Pexels.com/Gustavo Fring)
Ilustrasi selfie (Pexels.com/Gustavo Fring)
Intinya sih...
  • Membangun kepercayaan lebih dulu melalui konten yang relevan dan bermanfaat
  • Mencegah calon pembeli kabur karena merasa dipaksa dengan pendekatan santai dan memberi ruang untuk berpikir
  • Cocok untuk membangun hubungan jangka panjang dan lebih efektif di era media sosial
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kalau kamu pernah merasa “risih” gara-gara ada orang jualan terlalu maksa, berarti kamu sudah merasakan efek negatif dari hard selling. Hard selling itu strategi jualan yang sifatnya to the point, langsung promosi, bahkan kadang kayak nyuruh-nyuruh pembeli untuk segera ambil keputusan. Memang sih ada yang berhasil, tapi buat sebagian besar orang, cara ini sering bikin ilfeel.

Nah, beda cerita kalau pakai soft selling. Ini adalah teknik jualan yang lebih santai, halus, dan biasanya dibungkus dengan cerita, edukasi, atau hiburan. Calon pembeli tidak merasa sedang dipaksa, tapi justru merasa menemukan sendiri alasan untuk membeli. Karena makin banyak orang sekarang yang lebih suka pendekatan personal dan tidak terlalu frontal, soft selling pun makin populer. Yuk kita bahas kenapa strategi ini sering lebih ampuh dibanding hard selling.

1. Membangun kepercayaan lebih dulu

Ilustrasi beauty vlogger (Pexels.com/Anna Nekrashevich)
Ilustrasi beauty vlogger (Pexels.com/Anna Nekrashevich)

Dalam berjualan, kepercayaan itu ibarat pondasi rumah, yang kalau gak kuat akan gampang roboh. Soft selling fokusnya adalah membangun kepercayaan terlebih dahulu lewat konten yang relevan dan bermanfaat. Misalnya, sebelum menawarkan produk skincare, penjual akan berbagi tips perawatan kulit gratis atau cerita pengalaman pribadi. Dari situ, calon pembeli merasa si penjual memang paham masalah mereka.

Berbeda dengan hard selling yang langsung “jual barangnya”, soft selling membuat pembeli merasa hubungan mereka lebih personal. Orang cenderung beli dari orang yang mereka percaya, apalagi kalau sudah merasa penjualnya tulus membantu. Jadi, ketika akhirnya penjual menyebutkan produknya, itu terdengar seperti solusi yang wajar, bukan paksaan. Inilah alasan kenapa banyak brand besar sekarang lebih mengandalkan storytelling daripada teriak “Diskon! Diskon!”.

2. Mencegah calon pembeli kabur karena merasa dipaksa

Ilustrasi berbelanja (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi berbelanja (Pexels.com/Ron Lach)

Siapa sih yang suka ditekan untuk membeli sesuatu? Kebanyakan orang malah mundur kalau merasa dipaksa mengambil keputusan cepat. Nah, di sinilah keunggulan soft selling. Pendekatannya santai, tidak buru-buru, dan memberi ruang untuk calon pembeli berpikir.

Dengan soft selling, penjual bisa memberikan informasi, review, atau pengalaman secara natural. Calon pembeli merasa punya kendali penuh, sehingga keputusan beli muncul dari mereka sendiri. Ini jauh lebih nyaman dibanding hard selling yang bikin orang terkesan “gak punya pilihan”. Malah sering kali, karena tidak merasa ditekan, orang jadi lebih terbuka dan akhirnya melakukan pembelian tanpa ragu.

3. Cocok untuk membangun hubungan jangka panjang

Ilustrasi membangun personal branding (Pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi membangun personal branding (Pexels.com/cottonbro studio)

Soft selling bukan cuma memikirkan penjualan hari ini, tapi juga hubungan untuk jangka panjang. Bayangkan kamu punya pelanggan yang nyaman ngobrol, dapat edukasi bermanfaat, dan selalu diingatkan soal solusi tanpa terasa diganggu. Peluang mereka untuk repurchase jadi jauh lebih besar.

Dengan hard selling, fokusnya memang ke hasil cepat. Tapi masalahnya, kalau pembeli merasa tidak nyaman, mereka jarang balik lagi. Soft selling bekerja seperti investasi, mungkin butuh waktu lebih lama untuk closing, tapi hasilnya bisa jadi pelanggan setia yang bahkan merekomendasikan ke orang lain. Jadi, selain dapat penjualan, kamu juga dapat promosi gratis dari mulut ke mulut.

4. Lebih efektif di era media sosial

Ilustrasi berbelanja (Pexels.com/AS Photography)
Ilustrasi berbelanja (Pexels.com/AS Photography)

Sekarang, orang menghabiskan banyak waktu di media sosial, dan di sini soft selling benar-benar bersinar. Konten-konten edukasi, hiburan, atau cerita inspiratif yang disisipi promosi halus jauh lebih mudah diterima dibanding iklan frontal. Algoritma media sosial pun cenderung mengutamakan konten yang menghibur atau bermanfaat, bukan yang isinya hanya promosi.

Misalnya, content creator yang mempraktikkan soft selling akan membuat video tutorial, tips, atau cerita lucu yang berhubungan dengan produk mereka. Penonton terhibur dulu, baru kemudian sadar bahwa ada produk yang ditawarkan. Cara ini bukan cuma bikin engagement tinggi, tapi juga membangun citra positif brand di mata audiens. Dan kalau orang sudah suka sama brand-mu, proses jualannya jadi lebih gampang.

Soft selling ibarat seni mengajak orang beli tanpa membuat mereka merasa dijualin. Di era di mana orang semakin pintar memilah informasi dan gampang ilfeel kalau merasa dipaksa, pendekatan halus ini jadi senjata yang lebih efektif. Dengan membangun kepercayaan, menghindari tekanan, fokus pada hubungan jangka panjang, dan memanfaatkan kekuatan media sosial, soft selling bisa menghasilkan penjualan yang konsisten sekaligus membuat pembeli nyaman. Jadi, kalau mau jualan yang gak cuma laku, tapi juga disukai orang, coba deh mulai beralih ke strategi ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us