Indonesia Pacu Pemanfaatan Hidrogen Hijau, Ini Strateginya!

- Indonesia mengembangkan hidrogen hijau sebagai energi bersih dengan potensi 3.687 GW.
- Hidrogen hijau dianggap kunci utama dalam dekarbonisasi industri dan transportasi di Indonesia.
- IESR merekomendasikan langkah strategis untuk meningkatkan daya saing hidrogen hijau, termasuk menekan biaya listrik energi terbarukan dan memberikan insentif dari pemerintah.
Semarang, IDN Times - Indonesia tengah mempercepat langkah menuju pemanfaatan energi bersih dengan mengembangkan hidrogen hijau. Potensi energi terbarukan sebesar 3.687 GW menjadi modal utama dalam mewujudkan ambisi tersebut.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai hidrogen hijau adalah kunci utama dalam percepatan dekarbonisasi industri dan transportasi di Tanah Air.
1. Perlu rincian peta jalan

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan, hidrogen hijau dapat menjadi solusi bagi industri yang membutuhkan energi dalam jumlah besar, pembakaran suhu tinggi, serta sektor transportasi berat dan jarak jauh. Namun, Strategi Hidrogen Nasional (SHN) yang telah disusun sejak 2023 masih belum merinci strategi akselerasi hidrogen hijau yang diproduksi melalui elektrolisis air dengan energi terbarukan.
"Pemerintah perlu segera merinci peta jalan pengembangan hidrogen hijau agar produksi dan distribusinya bisa berkelanjutan serta kompetitif di pasar global pada 2030," ujar Fabby dilansir keterangan resmi yang diterima IDN Times, Jumat (31/1/2025).
Saat ini, imbuhnya, konsumsi hidrogen nasional diperkirakan mencapai 1,75 juta ton per tahun. Sebanyak 88 persen digunakan untuk produksi urea, 4 persen untuk produksi amonia, dan 2 persen untuk kilang minyak. Namun, pasokan hidrogen masih didominasi oleh hidrogen abu-abu yang memiliki jejak karbon tinggi.
2. Ada insentif dan subsidi

Untuk meningkatkan daya saing hidrogen hijau, IESR merekomendasikan beberapa langkah strategis, seperti menekan biaya listrik energi terbarukan hingga di bawah USD 0,05/kWh dan membangun infrastruktur hidrogen dekat dengan lokasi permintaan guna mengurangi biaya transportasi.
Pemerintah juga diharapkan memberikan insentif serta subsidi guna menekan biaya produksi hidrogen hijau agar mampu bersaing dengan hidrogen abu-abu dan biru.
Menurut Fabby, Indonesia dapat mencontoh langkah Inggris dalam pengembangan pasar hidrogen hijau.
3. Pembentukan ekosistem hidrogen

Sementara itu, Manajer Green Energy Transition Indonesia (GETI) IESR, Erina Mursanti mengungkapkan, Inggris telah menetapkan Low Carbon Hydrogen Standard dan menargetkan produksi 10 GW hidrogen rendah karbon pada 2030. Selain itu, Inggris juga mengalokasikan dana sebesar £240 juta untuk Net Zero Hydrogen Fund (NZHF) serta menerapkan kebijakan insentif, kerja sama industri, riset, dan pengembangan infrastruktur.
“Indonesia dapat mengadopsi strategi serupa untuk membangun ekosistem hidrogen hijau yang kompetitif, menarik investasi internasional, dan mempercepat transisi energi,” ujar Erina.
Untuk diketahui, Indonesia telah mengidentifikasi 17 lokasi potensial untuk produksi hidrogen hijau dengan perkiraan biaya produksi berkisar antara USD 1,9 hingga 3,9 per kg pada tahun 2040. Harga itu lebih kompetitif dibandingkan biaya produksi hidrogen hijau global saat ini yang berada di kisaran USD 2,7 hingga 12,8 per kg.
Namun, harga gas bersubsidi yang masih ditetapkan pada USD 6 per MMBTU menjadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan daya saing hidrogen hijau. Untuk mengatasi hal tersebut, IESR merekomendasikan pengurangan subsidi harga gas dan penerapan harga karbon guna meningkatkan daya saing hidrogen hijau di industri domestik.
“Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat dalam mendukung pengembangan hidrogen hijau melalui kebijakan, regulasi, serta insentif yang mendukung iklim investasi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk produksi hidrogen akan meningkatkan emisi karbon dan berisiko bertentangan dengan target net zero emission (nol bersih emisi),” tambah Erina.