Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi KTP (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Semarang, IDN Times - Sebanyak 450 penganut aliran Sapta Darma di Kabupaten Semarang telah mengurus perubahan kolom e-KTP. Hal ini dilakukan sejak setahun terakhir Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan aturan resmi penggantian kolom agama di e-KTP khusus penganut aliran kepercayaan. 

1. Penggantian kolom agama e-KTP untuk memudahkan pekerjaan

foto hanya ilustrasi (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Dwi Setiyani Utami, Sekretaris Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Jawa Tengah mengaku ratusan penganut Sapta Darma itu sudah mengurus perubahan e-KTP untuk menyisati keperluan mencari pekerjaan serta agar dapat mempermudah mengurus data kependudukan di Disdukcapil setempat. 

"Dan rata-rata ada 450 penganut penghayat yang sudah urus e-KTP. Kebanyakan mereka Sapta Darma yang tinggal di Kabupaten Semarang," kata Dwi kepada IDN Times, Senin (20/1).

2. Masih ada penghayat yang sulit urus e-KTP di Brebes

Situasi kantor Disdukcapil Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Ia menjelaskan namun untuk mengurus perubahan kolom agama e-KTP bukan perkara yang mudah. Ia mencontohkan terdapat kasus di Brebes yang mengganjal penganut penghayat saat mengurus e-KTP. 

Salah satunya, kata Dwi terkait leletnya petugas Disdukcapil Brebes saat melayani rekam data perubahan kolom agama e-KTP. 

"Kendala yang kita temukan ada di Brebes. Sebab, di sana proses pelayanan e-KTPnya masih sangat lambat," terang perempuan yang jadi Ketua Puan Hayati Jateng tersebut. 

3. Penghayat takut membuka diri kepada masyarakat karena takut distigma

Google.com

Hambatan lainnya juga ditemukan saat para penghayat berbaur di tengah masyarakat. 

Menurutnya, tak sedikit para penghayat yang takut membuka diri kepada masyarakat karena sejak lama terstigma sebagai kelompok yang tak punya agama, penganut dinamisme maupun animisme. 

"Saya melihat secara psikologis dan segi sosialnya selama ini sangat menghambat. Karena kita cukup lama tersigma oleh negara. Ada yang menganggap komunitas yang tidak punya agama resmi, ateis, animisme maupun dinamisme. Jadi munculnya istilah itu yang membuat masyarakat menjaga jarak dengan kami. Akibatnya muncul ketakutan penghayat untuk membuka identitasnya," urainya. 

Editorial Team