Indianisasi dan Islamisasi di Masjid Tumpeng: Cermin Akulturasi Kebhinnekaan

- Masjid Tumpeng adalah bukti akulturasi Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia sejak abad ke-13.
- Pelestarian masjid kuno, seperti Masjid Tua Wapauwe di Ambon, dapat membangun perdamaian dan identitas lokal.
- Komunitas penjaga tradisi arsitektur tradisional perlu didukung untuk mencegah hilangnya pengetahuan dan ritual yang rentan punah.
Demak, IDN Times - Warisan arsitektur masjid kuno di Indonesia, khususnya yang bertipe tumpeng, menyimpan narasi panjang mengenai akulturasi budaya, toleransi, dan proses Islamisasi yang damai di Nusantara. Meski demikian, perhatian terhadap itu masih terbatas dibandingkan masjid berkubah yang lebih populer.
Hal itu diungkapkan oleh Peneliti dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), Helene Njoto, dalam kajian bertemakan Masjid Tumpeng: Saksi Rapuh Kebhinnekaan dan Masuknya Islam ke Asia Tenggara. Kajian tersebut merupakan bagian dari Forum Kebhinnekaan ke-30 yang diusung oleh Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PRPS), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (9/9/2025).
Mengapa Masjid Tumpeng penting?

Masjid Tumpeng adalah sebutan untuk masjid kuno dengan ciri khas atap bersusun atau bertingkat (tumpang). Biasanya terdiri dari tiga atau lima tingkat, dan menggunakan konstruksi kayu tradisional.
Berbeda dengan masjid bergaya Timur Tengah yang berkubah, masjid tipe ini merupakan bukti fisik pertemuan dua arus besar peradaban. Yaitu Indianisasi (pengaruh Hindu-Buddha) dan Islamisasi yang mulai masuk sekitar abad ke-13.
“Masjid tumpeng bukan sekadar bangunan, tetapi juga cerminan kebhinnekaan, bagaimana budaya lokal menyerap pengaruh luar dan membentuk identitas arsitektural khas Nusantara,” ujar Helene.
Elemen-elemen seperti atap meru (khas pura Hindu), saka guru (empat tiang utama), dan panggung batu menunjukkan kesinambungan yang harmonis antara tradisi pra-Islam dan nilai-nilai Islam.
Pelestari tradisi dan budaya rentan hilang

Helene menyoroti contoh nyata pelestarian yang berdampak positif bagi masyarakat. Salah satunya adalah proyek konservasi Masjid Tua Wapauwe di Kaitetu, Ambon, yang berlangsung sejak 2022. Yang menarik, proyek tersebut tidak hanya melibatkan komunitas muslim, tetapi juga masyarakat Kristen setempat.
Partisipasi lintas agama itu, imbuhnya, memperlihatkan bagaimana warisan budaya dapat menjadi medium rekonsiliasi pascakonflik serta simbol kebersamaan dan perdamaian.
“Pengalaman konservasi Masjid Tua Wapauwe membuktikan bahwa pelestarian masjid kuno dapat menjadi jalan untuk membangun perdamaian, memperkuat identitas lokal, sekaligus memberdayakan masyarakat,” ujarnya.
Meski demikian, kelestarian masjid kuno tersebut diakui Helena masih sangat bergantung pada komunitas penjaga tradisi yang mana pengetahuan dan ritualnya berisiko hilang atau rentan punah.
Di Ambon, kelompok Tukang 12 berperan penting menjaga pengetahuan arsitektur tradisional. Sayang, minat generasi muda untuk meneruskan tradisi itu sudah mulai berkurang.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, masyarakat setempat membentuk Galeri Kaitetu sebagai pusat dokumentasi, pembelajaran, dan edukasi bagi generasi muda sekaligus destinasi wisata budaya.
Konservatori terakhir di Asia Tenggara

Helene menyatakan, jumlah masjid kuno bertipe tumpeng di Indonesia terbatas, dan sebagian telah mengalami perubahan besar.
Ia pun menyebut jika masjid tumpeng sebagai konservatori terakhir warisan arsitektur Islam awal di Asia Tenggara.
“Indonesia kini dapat disebut sebagai konservatori terakhir warisan arsitektur Islam awal di Asia Tenggara,” ungkapnya.
Ia berpesan bahwa pelestarian harus dipahami secara menyeluruh, mencakup aspek fisik bangunan dan nilai tak berwujud seperti pengetahuan, ritual, serta semangat gotong royong.
“Pelestarian warisan ini bukan hanya tugas negara, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa, agar jejak sejarah yang merepresentasikan kebhinnekaan tidak hilang ditelan zaman,” ungkapnya.