- Surya: 194.280 Megawatt (MW) (pemanfaatan 55 MW)
- Air/Hidro: 730-830 MW (pemanfaatan 376 MW)
- Biomassa: 105,9 MW (belum dimanfaatkan)
- Bayu/Angin: 2.950 MW (belum dimanfaatkan)
- Panas Bumi: 1.284 MW (pemanfaatan 73 MW)
- Penyimpan Energi: 151,9 Gigawatt-jam (GWh) (belum dimanfaatkan)
16 Lokasi Potensi 13 GW Energi Terbarukan di Jateng: Belum Optimal

- Potensi energi terbarukan di Jawa Tengah belum optimal
- Rencana penambahan EBT dalam RUPTL 2025-2034
- Tantangan dan rekomendasi kebijakan untuk pengembangan energi terbarukan di Jawa Tengah
Semarang, IDN Times – Institute for Essential Services Reform (IESR) memetakan sebanyak 16 lokasi pembangkit listrik bertenaga energi baru dan terbarukan (EBT) di Jawa Tengah dengan total kapasitas 13,4 Gigawatt-peak (GWp) yang layak secara finansial dan teknis untuk dikembangkan. Temuan tersebut dipaparkan dalam saat Dialog Media dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bertemakan Perkembangan Energi Terbarukan dan Target Energi Terbarukan 2025–2030 di Semarang, Rabu (26/11/2025).
1. Pemanfaatannya masih rendah

Analis Sistem Informasi Geografi IESR, Sodi Zakiy M mengatakan, Jawa Tengah memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah namun pemanfaatannya masih belum optimal.
"Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang memiliki potensi yang perlu dioptimalkan. Memang potensi yang besar ini pemanfaatannya masih belum optimal ya masih di bawah 30 persen," katanya.
Berdasarkan data IESR dan Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Jawa Tengah meliputi:
Adapun, saat ini bauran energi terbarukan di Jawa Tengah baru mencapai 18,55 persen pada tahun 2024, masih jauh dari target 21,32 persen pada tahun 2025.
Sodi menambahkan, Jawa Tengah juga masuk dalam sistem Interkoneksi Jawa-Bali (Jamali) dan menjadi provinsi penyumbang listrik terbesar dengan daya mampu 6,3 GW, melampaui beban puncak 5,6 Gigawatt (GW).
"Sistem ketenagalistrikan saat ini masih didominasi oleh pembangkit berbahan bakar fosil dengan total kapasitas mencapai 12,4 GW atau sekitar 96,6 persen dari keseluruhan kapasitas terpasang. Sementara itu, kontribusi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) masih relatif kecil, yakni sebesar 432 MW," ucapnya.
Dari catatannya, pertumbuhan konsumsi listrik di Jawa Tengah mencapai 4,65 persen per tahun, meningkat menjadi 5,32 persen per tahun dalam empat tahun terakhir. Hal itu sejalan dengan proyeksi ekonomi Jawa Tengah yang diperkirakan tumbuh rata-rata 6,07 persen dengan pertumbuhan permintaan listrik 4,42 persen pada periode 2021-2030.
2. Rencana penambahan EBT dalam RUPTL 2025-2034

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, Sodi mengungkapkan, terdapat dua skenario penambahan pembangkit energi terbarukan di Jawa Tengah, yakni:
- Skenario RE Base:
- PLTS (Pembangkit LIstrik Tenaga Surya): 1.237,8 MW (+140 MW dengan Sistem Penyimpanan Energi Baterai (Battery Energy Storage System/ BESS))
- PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro): 171,25 MW
- PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu): 162,2 MW
- Skenario ARED (Accelerated Renewable Energy Development):
- PLTS: 7.321,6 MW (+280 MW dengan BESS)
- PLTM: 342,5 MW
- PLTB: 1.724,4 MW
"Skenario ARED menjadi skenario yang lebih ambisius untuk bagaimana transisi energi itu dipercepat," imbuhnya.
Kemudian, berdasarkan studi kelayakan teknis dan finansial yang dilakukan IESR, Sodi menyatakan, terdapat 16 lokasi pembangkit listrik tenaga energi terbarukan yang layak dikembangkan di Jawa Tengah. Sebarannya meliputi:
- 12 Lokasi PLTS di atas tanah (ground-mounted): Total kapasitas sekitar 13 GW tersebar di berbagai wilayah Jawa Tengah, dipilih berdasarkan radiasi matahari (GHI > 4,5 kWh/m²/hari), topografi, tutupan lahan, aksesibilitas, dan jarak dengan infrastruktur.
- 2 Lokasi PLTB yakni di Pemalang sebesar 100 MW dan Wonogiri mencapai 60 MW. Kedua lokasi tersebut dipilih berdasarkan potensi angin minimal 5,5 m/s pada ketinggian 100 meter di darat (onshore).
- 2 Lokasi PLTMH yang berlokasi berada di Cilacap dengan total kapasitas 4,8 MW.
"Setelah kita petakan untuk Jawa Tengah itu memiliki 12 lokasi PLTS, dua lokasi PLTB dan dua lokasi PLTMH atau Mikrohidro yang baik secara ekonomi untuk bisa dikembangkan," ungkap Sodi.
3. Tantangan dan rekomendasi kebijakan

Sodi menjelaskan kondisi fisik Jawa Tengah yang mendukung untuk pengembangan energi terbarukan. Di antaranya:
- Surya: Rata-rata iradiasi matahari 4,2 sampai 4,8 kWh/m²/hari mengindikasikan potensi PLTS besar untuk dikembangkan, terutama PLTS utilitas dan PLTS rooftop mengingat kebutuhan dari sektor industri yang besar.
- Air: Potensi PLTA atau PLTMH lebih dari 500 MW terdapat di berbagai daerah aliran sungai, terutama DAS Serayu dan Bengawan Solo.
- Biomassa: Potensi 1.200 MW dari limbah pertanian (padi, tebu), kehutanan, dan sampah perkotaan.
- Panas Bumi: Potensi lebih dari 1.200 MW, termasuk Dieng yang sudah beroperasi dan potensi di Telomoyo-Ungaran.
- Angin: Potensi lokal untuk turbin skala kecil di pesisir utara dan wilayah lain.
Sodi mengidentifikasi beberapa tantangan dalam pengembangan energi terbarukan di Jawa Tengah. Mulai dari pemanfaatan potensi EBT yang belum optimal, masih rendahnya kebutuhan peningkatan jaringan untuk mendukung pertumbuhan permintaan energi, hingga perluasan PLTS atap yang memerlukan percepatan implementasi baik dari sisi regulasi maupun teknis. Untuk mengatasinya, IESR memberikan beberapa rekomendasi.
Contohnya dengan mengakomodasi alokasi penggunaan lahan EBT. Dengan begitu, perlu adanya integrasi alokasi penggunaan lahan untuk EBT dalam perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) dan menyelaraskan perencanaan energi dengan sektor lain.
"Setelah kita tahu bahwa ada lokasi yang potensial tapi jika kebijakan itu sendiri belum mengakomodasi bahwa EBT itu bisa terdampak dalam kebijakan terutama mungkin dalam kebijakan keruangan seperti RTRW itu akan susah untuk dapat dikembangkan secara lebih lanjut," jelas Sodi.
Kemudian memperlancar proses pengadaan tanah, salah satunya melalui sistem OSS (Online Single Submission) dan peningkatan basis data digital untuk mengurangi risiko investasi, terutama pada wilayah yang telah terpetakan.
Selain itu juga memprioritaskan proyek dengan hasil return yang tinggi dengan menggunakan temuan studi sehingga memprioritaskan pada lokasi-lokasi yang paling layak secara finansial. Hal tersebut juga termasuk pengoptimalan desain proyek dan perencanaan keuangan.
"Memang proyek-proyek EBT mungkin dilihat sekarang itu memerlukan initial investment yang cukup besar tapi jika kita melihat ke depannya bahwa biaya listrik itu nanti akan lebih efisien juga menggunakan teknologi energi terbarukan daripada menggunakan PLTU misalnya atau energi-energi yang masih konvensional," aku Sodi.
4. Demi percepatan transisi energi

Lebih dari itu, juga terdapat rekomendasi teknis untuk pengembangan lebih lanjut di Jawa Tengah. Misalnya untuk PLTS yang perlu dilakukan simulasi desain dan layout dengan simulasi performa dan kombinasi komponen menggunakan tools seperti PVSyst atau Helioscope.
Untuk PLTB, lanjutnya, perlu dilakukan micrositing, wind resource assessment, simulasi array turbin angin menggunakan tools seperti WAsP, WindPro, atau Open-wind sekaligus menentukan koordinat posisi pemasangan alat ukur/met-mast untuk wind campaign. Dan untuk PLTM, perlu mengambil data hidrologis pada catchment area atau debit sungai selama setidaknya setahun, dikombinasikan dengan pengolahan CAD pada DEM catchment area untuk menganalisis flow duration curve dan studi lapangan uji geotechnical.
"Jadi memang perlu ada dorongan untuk mengakselerasi EBT ini dan Jawa Tengah itu memiliki potensi yang sangat besar tetapi memerlukan berbagai kebijakan yang didukung untuk mengakomodasi percepatan transisi energi," tutup Sodi.

















