Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kerelaan Hanna Mengubah Luka Alopecia Jadi Gerakan Solidaritas Nasional

Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)
Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)
Intinya sih...
  • Hanna Nugrahani, penyintas alopecia universalis, mengubah luka menjadi gerakan solidaritas.
  • Alopecia universalis adalah kondisi autoimun langka yang merontokkan seluruh rambut di tubuh.
  • Komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI) memberikan pendampingan medis dan mental bagi penyintas alopecia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Salatiga, IDN Times - Di ruang tamu rumahnya yang hangat di kawasan Ngentak Sari, Kota Salatiga, Hanna Nugrahani (33) duduk dengan percaya diri. Alisnya tampak sempurna, rambutnya tertata rapi. 

Namun, hanya sedikit orang yang tahu bahwa alis tersebut merupakan tato permanen, dan rambut yang menutupi kepalanya adalah wig yang ia kenakan setiap hari sejak belasan tahun lalu.

Infografis: tiga jenis penyakit alopecia. (IDN Times/Dhana Kencana)
Infografis: tiga jenis penyakit alopecia. (IDN Times/Dhana Kencana)

Hanna merupakan penyintas alopecia universalis--kondisi autoimun langka di mana sistem kekebalan tubuh menyerang folikel rambut sendiri sehingga menyebabkan rontoknya seluruh rambut di tubuh. Mulai dari rambut di kepala, alis, bulu mata, hingga seluruh bulu di tubuhnya--semua hilang tanpa tersisa.

Perjalanan Hanna dengan alopecia dimulai sejak masa SMA (Sekolah Menengah Atas). Berbeda dengan kebotakan biasa yang disebabkan faktor hormonal atau penuaan, alopecia adalah penyakit autoimun kompleks. 

Dalam kasus Hanna, diagnosis yang ia terima adalah alopecia universalis--jenis yang paling langka dan parah. Secara gampangnya, alopecia universalis merontokkan rambut atau bulu yang ada di seluruh tubuh tanpa terkecuali.

Menurut data medis internasional Wimpole Clinic Inggris, hanya 1 dari 4.000 orang di dunia yang mengalami alopecia universalis. Kondisi itu berbeda dengan alopecia areata yang kebotakannya berbentuk pulau-pulau atau seukuran koin logam di kepala, atau alopecia totalis yang menyerang hanya pada rambut kepala. 

"Universalis itu di mana seluruh badan tidak ada rambut. Kepala, alis, bulu mata, bulu hidung, bulu tangan, bulu kaki, bulu ketiak, bulu kemaluan--semua tidak ada," kata ibu dari Sedayu Jenar El Rumi yang kini berusia 7 tahun itu.

Dukungan keluarga menjadi penopang utama Hanna menjalani masa-masa sulit. Meski awalnya kebingungan dan bahkan terus menyalahkan diri sendiri, orangtua Hanna tetap memberikan perhatian penuh dan tidak membiarkan putrinya mengisolasi diri.

"Meskipun dalam kondisi seperti itu, mereka (orangtua saya) cukup sportif. Mereka mendukung dengan baik, memberi perhatian yang baik sehingga saya tidak mengalami isolasi diri," kenang perempuan kelahiran 8 April 1991 itu.

Keputusan melanjutkan pendidikan ke Fakultas Psikologi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga setelah lulus SMA menjadi titik balik penting dalam hidup Hanna. Menempuh pendidikan psikologi tidak hanya membantunya memahami kondisi diri sendiri, tetapi ikut membekali Hanna dengan kemampuan untuk nantinya membantu penyintas lain yang mengalami nasib serupa.

"Di situ (saat kuliah) yang menolong banyak dan saya belajar untuk berproses. Jadi memahami kenapa saya alopecia, kenapa saya harus berpenampilan berbeda dan bagaimana membangun diri, itu sangat menolong sekali," katanya kepada IDN Times, Minggu (16/11/2025).

Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)
Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)

Yang membuat kisah Hanna unik adalah dukungan sang suami, Angga Hendrawan (35). Berbeda dengan penyintas lain yang harus berjuang keras menjelaskan dan memahamkan kondisi mereka kepada calon pasangan, Angga justru sudah mengenal Hanna sejak kecil. Mereka tumbuh bersama di lingkungan gereja dan komunitas yang sama.

"Suami saya kenal dengan saya dari kecil. Kami tumbuh bareng. Jadi dia tahu ketika saya normal dan dia tahu ketika saya mulai mengalami (alopecia) kerontokan sampai pakai wig. Ketika dia mendekati saya, dia tahu kalau memang kondisi saya waktu itu sudah menggunakan wig dan sudah botak," kenang Hanna dengan mata berbinar.

Meski orangtua Angga sempat berharap ada kemungkinan kesembuhan, saat ini mereka tetap menerima Hanna sebagai alopecia universalis dengan tangan terbuka.

"Mereka (mertua) berpikirnya masih ada harapan, masih bisa diupayakan bersama untuk sembuh. Tapi mereka welcome, tidak menolak (saya) sama sekali," tuturnya.

Kini, keluarga kecil mereka hidup bahagia di Salatiga. Hanna bekerja sebagai dosen tidak tetap di UKSW Salatiga, sambil mengelola dua brand bisnis kuenya--Narwastu Sugar Catering untuk healthy cake dan cookies yang gluten-free, dan Geco Catering untuk pasar bakery yang lebih luas.

Bisnis yang ia mulai tahun 2021 itu berawal dari kebutuhan untuk memiliki penghasilan sendiri ketika menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.

"Itu anugerah Tuhan, saya lulusan YouTube Institute," candanya ketika ditanya apakah pernah sekolah baking. "Waktu itu butuh penyaluran karena sempat full time menjadi ibu rumah tangga, harus mengerjakan sesuatu supaya bisa punya penghasilan dan menjadi sarana merilis rasa ketidaknyamanan karena alopecia. Ternyata, saya nyaman untuk punya penghasilan sendiri,” imbuh Hanna.

Dari Titik Nadir Lahir Harapan Kolektif

Demitra saat berbicara di channel Youtube Gritte Agatha. (Dok. Tangkapan Layar Youtube)
Demitra saat berbicara di channel Youtube Gritte Agatha. (Dok. Tangkapan Layar Youtube)

Persoalan alopecia tidak semata soal kehilangan rambut dan menghadapi stigma sosial. Beban finansial yang ditanggung penyintas berat--dan yang lebih memprihatinkan lagi, tidak ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Demitra (24), salah satu penyintas alopecia universalis yang menjadi anggota komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI)—komunitas yang didirikan Hanna—mengalami langsung beratnya beban tersebut.

Perjalanan diagnosisnya dimulai dari gejala sinusitis di usia 21 tahun. Enam bulan setelah pengobatan sinusitis selesai, rambutnya mulai rontok masif, habis total dalam waktu tiga bulan. Seluruh bulu di tubuhnya menyusul rontok setahun kemudian.

Setelah didiagnosis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Demitra harus menjalani terapi suntik di kepala setiap dua minggu sekali. Biayanya luar biasa. Untuk sekali kunjungan Rp2,5 juta atau Rp5 juta per bulan.

"Untuk terapi satu kali datang itu Rp2,5 juta. BPJS tidak menanggung karena ini masuknya ke kulit kosmetik, bukan ke kulit yang biasa," ungkap Demitra, anak bungsu dari enam bersaudara yang ayahnya sudah meninggal dunia.

Prosedur yang dijalaninya pun menyakitkan. Kepalanya disuntik puluhan hingga ratusan kali dalam satu sesi--50 suntikan untuk setengah kepala, ratusan suntikan untuk seluruh kepala. Demitra mengaku, meski hanya dibius lokal dengan salep, rasa sakitnya luar biasa.

"Dibilang tidak kuat sih, aku benar-benar tidak kuat. Cuman dokter tanya, 'Kamu kuat tidak? Kalau tidak kuat istirahat dulu.' Aku tetap maksain, 'Ya udah aku kuat,' karena kalau aku bilang tidak kuat, pasti aku bakal nahan sakit itu lebih lama lagi," kenangnya dengan suara bergetar.

Kakak laki-laki yang ketiga Demitra pun rela tidak mengambil cuti kerja demi mendapatkan uang tambahan untuk biaya pengobatannya.

"Mas aku yang benar-benar menggantikan posisi Bapak aku. Dia yang ngebela-belain tidak ngambil cuti buat uangnya buat aku berobat. Semuanya pokoknya dari Mas aku," ujar Demitra dengan mata berkaca-kaca.

Demitra mengaku dukungan keluarga sangat penting bagi penyintas alopecia. Setelah melalui proses tersebut, kini ia kembali berkuliah dan sedang menyusun tugas akhir semester.

"Yang bikin aku benar-benar ikhlas banget ya keluarga lah. Keluarga adalah support system utama. Kalau keluarga aja tidak mendukung, pasti kita akan tambah down," ucapnya. 

Meski demikian, setelah lima bulan menjalani terapi dengan total biaya puluhan juta rupiah, hasilnya di luar perkiraan dan mengecewakan.

"Rambut tumbuh tapi rontok lagi, rontok lagi. Menurut aku pengobatannya tidak membuahkan hasil," katanya. 

Akhirnya pada Maret 2020, Demitra menghentikan seluruh pengobatan medis dan beralih ke pengobatan alami dengan rebusan sereh, madu, dan lemon.

Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)
Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)

Hanna menjelaskan, akar masalah ketidaktersediaan jaminan kesehatan untuk penyintas alopecia—seperti yang ia dan Demitra alami—terletak pada kategorisasi penyakit tersebut.

"Pemerintah masih memasukkan kondisi alopecia ini menjadi bagian dari estetika sehingga tidak terkover (BPJS Kesehatan). Sedangkan alopecia ini adalah kondisi autoimun yang tidak bisa hanya diintervensi dengan salep dan stimulasi langsung di kepala, tapi butuh pengobatan autoimun yang seharusnya di-cover. Kalau untuk autoimun yang lain dan kanker pun tercover BPJS," jelasnya.

Kesenjangan tersebut makin mencolok ketika melihat biaya pengobatan. Terbaru misalnya, Baricitinib--obat yang sudah terbukti efektif di Inggris dengan tingkat keberhasilan 75 persen--membutuhkan biaya hingga Rp120 juta untuk satu siklus pengobatan selama 3--4 bulan.

Hanna mengatakan, obat impor tersebut sudah berizin edar di Indonesia, tapi hanya dapat diakses oleh kalangan ekonomi menengah atas.

"Itu sudah ada yang berhasil (pengobatan alopecia) di Indonesia. Tingkat keberhasilannya 75 persen. Tapi orang-orang tertentu yang bisa menggunakannya," akunya dengan nada prihatin.

Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, komunitas AFFI bekerja sama dengan tim dokter RS Dr Sarjito dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

"Kami bekerja sama dengan tim dokter di sana untuk lebih banyak menyuarakan dan men-support penelitian mereka supaya penyakit (alopecia) ini bisa terkover BPJS Kesehatan. Sehingga nantinya masyarakat yang dari latar belakang sosial ekonomi rendah bisa mengajukan pengobatan alopecia melalui BPJS Kesehatan,” jelasnya.

Pendampingan Holistik: Medis dan Mental

Penyintas alopecia universalis, Hanna Nugrahani (kiri) bersama anggota komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI). (Dok. Pribadi)
Penyintas alopecia universalis, Hanna Nugrahani (kiri) bersama anggota komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI). (Dok. Pribadi)

Hanna membentuk AFFI pada tahun 2017. Keberadaannya tidak sekadar sebagai grup dukungan biasa. Hanna berkisah, terbentuknya AFFI bermula dari keputusasaannya saat awal-awal menjadi penyintas penyakit tersebut.

"Saya benar-benar frustrasi. Saya berpikir saya adalah orang satu-satunya di Indonesia yang mengalami (alopecia universalis) ini dan tidak ada support. Bahkan pencarian di media sosial tidak membuahkan hasil—tidak ada satupun orang Indonesia yang terbuka mengalami alopecia," ungkap Hanna.

Dalam keputusasaan itu, Hanna membuat sebuah tulisan tentang pengalaman dan perasaannya, lalu membagikannya kepada sekitar 20 penyintas alopecia di Instagram yang ia ikuti (follow)--yang semuanya dari luar negeri. Tiga orang menjadi sahabat dekatnya. Mereka adalah Karolin dari Chicago AS, Patricia dari Korea Selatan, dan Hannah dari California AS.

Karolin memberi saran sederhana namun berani bagi Hanna.

"Kamu keluar rumah aja, tidak pakai wig. Pasti nanti banyak kok orang alopecia di Indonesia yang akan reach out ke kamu," beber Hanna.

Benar saja. Respons mengejutkan datang dan ia mulai dibanjiri pesan-pesan pribadi dari penyintas alopecia di Indonesia.

"Dari situlah asal mula terbentuknya Alopecia Friends dari empat orang, delapan orang sampai 93 orang," katanya.

Anggota AFFI kini tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari Medan, Jambi, Lampung, Jakarta, Purwokerto, Semarang, Salatiga, Yogyakarta, Surabaya, Bali, hingga Kalimantan, Manado, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka konsisten melakukan kampanye kesadaran tentang alopecia melalui webinar dan Instagram live.

Bagi Hanna, komunitas tersebut menjadi sistem pendampingan komprehensif yang menggabungkan edukasi medis dan dukungan psikologis, yang mengisi kekosongan yang belum dipenuhi oleh pemerintah.

"Kami konsisten tiap bulan September melakukan kampanye soal alopecia. Kalau penyintas alopecia mengalami kesulitan, biasanya mereka akan datang ke dokter spesialis kulit dan kelamin. Nah, untuk cerita dari hati ke hati ke dokter itu kan tidak bisa nyaman karena dokter sendiri juga bingung untuk treatment-nya karena di luar dari kapasitasnya,” aku Hanna.

Untuk penyintas baru, tiga bulan pertama setelah diagnosis alopecia menjadi fase kritis mereka. Di periode tersebut, AFFI melakukan pendampingan intensif.

"Fase kritis itu harus segera treatment, didampingi oleh kami. Impact yang signifikan yang kami lakukan adalah pendampingan secara langsung di setiap penderita yang baru saja mengalami alopecia sehingga mereka tidak merasa sendiri," ujarnya.

AFFI didukung jaringan dokter dan psikolog yang bersedia memberikan layanan gratis kepada para anggota komunitas. Hanna pun memanfaatkan latar belakang pendidikan psikologinya untuk memberikan konseling secara cuma-cuma bagi para penyintas alopecia.

"Tim dokter (RS Dr Sardjito dan UGM) ini yang mengedukasi dari sisi medis. Kemudian saya dari psikologi mengambil peran—jadi penyintas juga founder. Jadi, saya tahu bagaimana kesulitan penanganan dan bagaimana bisa membantu mereka dalam bentuk konseling," ucapnya.

Yang mengkhawatirkan, Hanna menemukan tren penurunan usia penyintas alopecia di Indonesia. Menurutnya, pemicu alopecia pada setiap orang berbeda-beda sehingga penanganannya penyakit tersebut harus bersifat individualis.

Oleh karena itu, AFFI terus mengedukasi dan meliterasi kesehatan kepada masyarakat, tidak terkecuali soal alopecia sehingga bisa melek informasi mengenai identifikasi, penanganan, hingga penyembuhannya.

"Yang membuat sedih adalah saya menemukan makin kecil usia seseorang mengalami alopecia. Yang paling baru ini usia 2 tahun sudah mengalami alopecia. Beberapa tahun yang lalu masih 5 tahun, tapi di tahun ini ada anak kecil umur 2 tahun," ungkapnya prihatin.

Bagi Hanna, kolaborasi dan kerja sama tersebut menjadi langkah penting. Pasalnya, diskriminasi dan bullying (perundungan) masih menjadi realitas sehari-hari yang dialami penyintas alopecia. Hanna sendiri masih merasakan adanya tatapan-tatapan aneh dari orang lain. Apalagi dalam budaya Indonesia yang masih kental dengan standar kecantikan konvensional--di mana rambut panjang dan berkilau dianggap mahkota perempuan. Maka, kehilangan rambut bukan sekadar masalah medis, tetapi juga krisis identitas bagi perempuan.

“Masih sering saya temui orang yang melihat saya seperti orang aneh, dilihat dari atas ke bawah, diomongin. Tapi ada juga di daerah lain, orang-orangnya cuek," tuturnya.

Dokter Rumah Sakit (RS) Pondok Indah, dr Giovanni Gilberta, melalui platform edukasi kedokteran Alomedika mengatakan, penyakit tersebut dapat menurunkan kualitas hidup pada 50 persen penyintas dan berkaitan dengan prevalensi gangguan psikiatri seperti depresi sebesar 70 persen.

Demitra ikut mengalami langsung apa yang dirasakan Hanna.

"Aku sering dilihatin aneh kalau keluar rumah. Tidak ada yang mengerti kesedihan aku. Maksudnya kalau mereka ada di posisi aku (menjadi penyintas alopecia), mereka juga pasti tidak akan bisa menghadapi ini sekuat aku," ujarnya.

Di fase paling berat, Demitra harus berhenti kuliah dan bekerja. Teman-temannya menjadikan kondisinya sebagai bahan candaan.

"Orang-orang nganggepnya kayak 'ah dia udah penyakitan, udah tidak bisa buat kerja.' Padahal fisik aku ya benar-benar masih kuat banget buat kerja kayak orang sehat yang lainnya. Cuman ya ini balik lagi ke fisik doang sih, penampilan fisiknya jadi yang beda," ungkapnya.

Malah, ada yang mengatakan Demitra terkena guna-guna atau santet.

"Sampai ada yang ngomong ke aku kayak, ya magic-magic gitu lah, kena santet kali?" kenangnya.

Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)
Penyintas alopecia universalis dan pendiri komunitas Alopecia Friend for Indonesia (AFFI), Hanna Nugrahani (33). (Dok. Pribadi)

Atas dedikasinya membangun AFFI, Hanna menerima SATU Indonesia Awards dari Astra di tingkat provinsi.

"Tujuannya (di SATU Indonesia Award) untuk mendapatkan exposure. Salah satunya terpenuhi di mana banyak wartawan, masyarakat, juga penyintas alopecia yang mengontak saya membicarakan tentang komunitas AFFI ini. Goal-nya hanya ingin membantu sesama. Tidak terpikir sama sekali untuk mendapatkan apresiasi. Karena saya juga penyintas," katanya rendah hati.

Hanna memiliki harapan konkret bersama AFFI ke depannya. Pertama, bisa bekerja sama dengan tim dokter untuk mendorong agar alopecia masuk dalam cakupan BPJS Kesehatan. Lalu yang kedua adalah bisa memberikan bantuan fisik seperti vitamin dan wig gratis kepada para penyintas alopecia.

Saat ini, AFFI sudah bekerja sama dengan salah satu beauty studio di Jakarta untuk layanan sulam alis gratis.

"Harapannya AFFI bisa berkolaborasi dengan beberapa perusahaan-perusahaan lain untuk CSR (Corporate Social Responsbility), kemudian bisa memberikan bantuan langsung kepada mereka yang membutuhkan. Karena idealnya teman-teman dengan alopecia ini harus rutin konsumsi vitamin D, omega 3 untuk mengurangi inflamasi," harapnya.

Bagi sesama penyintas alopecia, Hanna menekankan pentingnya tidak mengisolasi diri.

"Selama proses penerimaan di awal sakit sampai kuliah dan bekerja, saya tidak pernah mengurung diri. Tetap keluar rumah meskipun pakai wig, tetap berinteraksi sosial, berkegiatan dan belajar. Itu membuat saya punya wawasan yang lebih untuk bisa mengerti banyak hal sehingga bisa berubah pola pikirnya," pesannya.

Untuk masyarakat umum, Hanna berharap ada perubahan paradigma baik kepada para penyintas atau mereka yang menjadi penyintas alopecia.

"Harapannya makin banyak orang tahu. Orang tidak memandang rendah atau bereaksi aneh. Mereka menggunakan wig karena tidak ada pilihan. Mereka sedang berjuang. Siapa sih yang mau kayak gini?" tegasnya.

Melalui AFFI, Hanna telah membuktikan, dari keputusasaan bisa lahir dari harapan kolektif. Dengan 93 anggota tersebar di seluruh Indonesia, AFFI terus tumbuh sebagai rumah bagi mereka yang berjuang melawan bukan hanya penyakit, tetapi juga stigma dan kesepian.

Dan di balik semua itu, ada Hanna Nugrahani--seorang ibu, istri, pendidik, pengusaha, dan penerima SATU Indonesia Awards--yang memilih mengubah lukanya menjadi cahaya bagi orang lain. Karya berkelanjutannya membuktikan bahwa perubahan nyata dimulai dari keberanian satu orang untuk bersuara dan mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

2 Korban Meninggal Longsor Banjarnegara, 27 Warga Masih Dalam Pencarian

17 Nov 2025, 18:21 WIBNews