Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kronologi Aksi Kekerasan Polisi ke Jurnalis saat May Day di Semarang

Personel kepolisian menghalau pengunjuk rasa yang berupaya masuk ke Kompleks DPRD Jateng dalam aksi Hari Buruh Internasional di Depan Kompleks Gedung DPRD Jateng, Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis, (1/5/2025). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)
Intinya sih...
  • AJI Kota Semarang kecam kekerasan polisi terhadap jurnalis, termasuk reporter Tempo, Jamal Abdun Nasr, dalam aksi peringatan May Day.
  • Jamal menjadi korban kekerasan aparat dua kali di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah dan di kampus Undip Pleburan.
  • Ketua AJI Semarang menyatakan insiden tersebut sebagai upaya pembungkaman kebebasan pers yang melanggar undang-undang dan mengancam demokrasi.

Semarang, IDN Times — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang melayangkan kecaman keras atas tindakan represif aparat kepolisian terhadap sejumlah jurnalis, termasuk reporter Tempo, Jamal Abdun Nasr, dalam aksi peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Semarang, Kamis (1/5/2025). Insiden itu dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers dan mencoreng prinsip-prinsip demokrasi.

1. Alami kekerasan dua kali

Perseonel kepolisian menembakkan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa yang ricuh saat Hari Buruh Internasional di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis, (1/5/2025). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Menurut laporan resmi AJI, Jamal menjadi korban kekerasan aparat sebanyak dua kali. Kejadian pertama terjadi pukul 17.30 WIB di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Saat tengah meliput, Jamal mengalami intimidasi dan sempat dipiting lehernya serta nyaris dibanting oleh oknum kepolisian.

Insiden kedua menimpa Jamal saat dirinya bersama sejumlah jurnalis lain berada di sekitar pintu gerbang utama kampus Undip Pleburan, sekitar pukul 20.36 WIB. Saat kericuhan terjadi, polisi berpakaian preman mendatangi mereka dan menuduh para jurnalis merekam aksi penangkapan mahasiswa. Ketegangan meningkat ketika aparat melemparkan helm ke arah jurnalis, yang untungnya meleset.

“Saya sempat dipukul tiga kali di bagian kepala, termasuk ditampar,” ungkap Jamal, menjelaskan bahwa dirinya juga sempat dirangkul oleh Wakapolda Jateng, Brigjen Latief Usman, yang berdalih ingin menenangkannya dari amukan aparat lain. Namun, beberapa polisi tetap menghajarnya meski sudah dikepung rekan-rekannya.

2. Juga menimpa pers mahasiswa

Personel kepolisian membentuk barikade untuk menghalau pengunjuk rasa dalam aksi Hari Buruh Internasional di Depan Kompleks Gedung DPRD Jateng, Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis, (1/5/2025). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Tak hanya Jamal, korban lainnya adalah DS, pimpinan redaksi pers mahasiswa yang dipukul hingga luka robek di wajah saat merekam aksi kekerasan aparat terhadap massa. Meski sudah mengaku sebagai jurnalis, DS tetap diserang hingga harus dirawat dan mendapat jahitan.

Empat jurnalis dari lembaga pers mahasiswa, yakni dua dari LPM Justisia UIN Semarang dan dua dari LPM Vokal UPGRIS, juga turut mengalami intimidasi dan penghalangan kerja jurnalistik.

3. AJI nilai bukan insiden biasa

Perseonel kepolisian menggunakan sepeda motor untuk membubarkan pengunjuk rasa yang ricuh saat Hari Buruh Internasional di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis, (1/5/2025). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan menyatakan, insiden tersebut bukan sekadar pelanggaran biasa, tapi bentuk nyata dari upaya pembungkaman kebebasan pers.

“Tugas jurnalistik itu dilindungi Undang-Undang. Tindakan kekerasan terhadap jurnalis adalah tindak pidana,” tegasnya.

Ia merujuk Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Pasal 18 ayat (1) bahkan menyebutkan bahwa menghalangi kerja pers bisa dipidana dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta.

“Kekerasan terhadap jurnalis bukan insiden sepele. Ini ancaman terhadap hak publik untuk tahu dan bentuk kemunduran demokrasi,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us