Satgas PHKEN Dorong Hilirisasi dan Ketahanan Energi

- Hilirisasi harus didasarkan pada data dan pemahaman yang kuat, bukan asumsi belaka.
- Kajian akademik soroti dampak sosial, lingkungan, dan industri dalam proses hilirisasi.
- INDEF dan CORE Indonesia bongkar bottleneck hilirisasi Indonesia serta merekomendasikan tiga pilar kebijakan hilirisasi.
Surakarta, IDN Times – Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional (Satgas PHKEN) menggelar seminar bertajuk Kebijakan Hilirisasi dan Ketahanan Energi yang Berkelanjutan di Hotel Alana, Colomadu, Karanganyar, Senin (29/12/2025). Kegiatan ini diikuti sekitar 100 peserta yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil.
Seminar ini menjadi ruang temu antara riset dan kebijakan, menyusul masih lemahnya integrasi kajian ilmiah dalam proses pengambilan keputusan hilirisasi dan ketahanan energi nasional.
1. Hilirisasi tak bisa lagi berbasis asumsi.

Tim Tenaga Ahli Satgas PHKEN, Indra Darmawan, menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi ke depan harus sepenuhnya bertumpu pada data dan pemahaman yang kuat, bukan lagi pada asumsi.
Menurutnya, Indonesia tidak boleh hanya dikenal sebagai penghasil bahan mentah seperti nikel atau bauksit, tetapi harus mampu mengelolanya menjadi produk industri bernilai tambah yang berkelanjutan.
“Hilirisasi dan ketahanan energi nasional harus diimbangi dengan upaya meminimalisir dampak sosial dan ekologis. Jika tidak dirancang dengan tepat, kebijakan ini justru bisa memicu ketimpangan,” ujar Indra.
Ia menjelaskan, Satgas PHKEN dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2025 untuk mempercepat proses hilirisasi dan ketahanan energi nasional, sekaligus mengoordinasikan kebijakan lintas kementerian, menyelesaikan hambatan perizinan, serta menentukan proyek-proyek prioritas strategis.
2. Kajian akademik soroti dampak sosial, lingkungan, dan industri.

Sejumlah lembaga riset turut memaparkan kajian dalam seminar ini, antara lain LPPM UNUSIA, CORE Indonesia, BPP FEB Universitas Brawijaya, dan INDEF.
Peneliti Universitas Brawijaya, Hendi, menyebut peluang Indonesia dalam industri baterai, energi hijau, dan material ringan sangat besar. Namun, peluang itu hanya bisa diwujudkan jika negara hadir sebagai penyangga risiko di fase awal proyek.
“Negara tidak perlu menggantikan pasar, tapi memastikan proyek menjadi bankable. Standar lingkungan dan tata kelola harus menjadi syarat utama,” katanya.
Sementara itu, UNUSIA memaparkan kajian Social and Ecological Assessment Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menunjukkan dampak sosial dan lingkungan PSN sangat beragam antarwilayah. Kajian ini menekankan pentingnya pendekatan kebijakan berbasis risiko, partisipatif, dan kontekstual agar PSN tidak hanya mempercepat pembangunan, tetapi juga menjaga daya dukung ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
3. INDEF dan CORE bongkar bottleneck hilirisasi Indonesia.

INDEF menyoroti hilirisasi aluminium yang dinilai masih terjebak di tahap peleburan, meski Indonesia memiliki cadangan bauksit besar. Hambatan utama justru berada pada regulasi yang terfragmentasi, pasokan listrik industri yang belum kompetitif, serta lemahnya integrasi kebijakan pertambangan, energi, dan tata ruang.
“Tanpa grand design nasional bauksit–aluminium, hilirisasi akan terus berjalan parsial dan berisiko tinggi,” demikian temuan INDEF.
Sementara itu, CORE Indonesia membandingkan kebijakan hilirisasi Indonesia dengan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Aljazair. Hasilnya, 70 persen insentif Indonesia masih terkonsentrasi di sektor hulu.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menekankan pentingnya diferensiasi insentif berbasis kedalaman hilirisasi, seperti yang diterapkan Thailand.
“Kalau ingin industri hilir tumbuh, insentifnya harus lebih besar. Di Thailand, insentif hilir bisa sampai 13 tahun,” ujarnya.
CORE merekomendasikan tiga pilar kebijakan hilirisasi, yakni penciptaan nilai tambah, distribusi manfaat ekonomi yang lebih adil, serta penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
“Hilirisasi bukan hanya soal nilai tambah, tapi juga keadilan sosial dan meminimalkan dampak lingkungan,” tegas Faisal.


















