Solo Banjir Kunjungan Menteri: Pembangunan atau Pengaruh Gibran?

- Kota Solo menjadi pusat perhatian nasional setelah Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Wali Kota
- Tiga menteri kabinet sering melakukan kunjungan kerja ke Solo, fokus pada proyek infrastruktur transportasi dan pengembangan pariwisata
- Solo mendapatkan aliran dana lebih dari Rp1,2 triliun untuk proyek strategis, termasuk revitalisasi jalan dan jembatan serta pengembangan pariwisata
Kota Surakarta, atau yang lebih akrab disebut Solo, belakangan ini menjadi pusat perhatian nasional. Sejak Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Wali Kota pada 26 Februari 2021, kota itu kerap disambangi para menteri kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Fenomena tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, serta apakah intensitas kunjungan tersebut berkaitan dengan posisi Gibran sebagai putra Presiden Jokowi. Beberapa kalangan mempertanyakan, apakah perhatian yang lebih besar terhadap Solo itu semata-mata karena potensi strategis kota tersebut, atau ada faktor-faktor lain yang memengaruhi, termasuk hubungan kekeluargaan.
Intensitas Kunjungan Menteri dan Proyek Strategis di Solo

Data IDN Times menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga menteri kabinet sering melakukan kunjungan kerja ke Solo. Mereka adalah Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, yang secara rutin meninjau proyek-proyek infrastruktur transportasi yang tengah dibangun, seperti pengembangan Bandara Adi Soemarmo dan jalur kereta api Solo Balapan–Adi Soemarmo. Bandara Adi Soemarmo menjadi salah satu fokus pemerintah pusat untuk mendukung konektivitas udara di Jawa Tengah, sementara jalur kereta api tersebut diharapkan mempercepat akses antara Solo dan daerah-daerah sekitar, termasuk Yogyakarta.
Untuk diketahui, jalur kereta api Solo Balapan—Adi Soemarmo sepanjang 13,5 kilometer itu merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 56 Tahun 2018 tentang perubahan Perpres Nomor 3 Tahun 2016. Proyek itu dikerjakan oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan mulai Maret 2018 dengan total investasi Rp820 Miliar Rupiah.
Di sektor pembangunan infrastruktur, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, turut andil dalam berbagai proyek revitalisasi jalan, pembangunan jembatan, dan penataan kawasan perkotaan di Solo. Di antaranya proyek revitalisasi Jalan Slamet Riyadi, sebagai jalan utama di Solo yang bertujuan untuk mempercantik dan memperbaiki jalan utama itu, yang menjadi jantung kota Solo. Proyek revitalisasi mencakup peningkatan trotoar, pengelolaan jalur khusus sepeda, penghijauan, serta penataan ruang publik di sepanjang jalan tersebut. Selain itu, juga pengembangan fasilitas publik lainnya, seperti jembatan dan drainase, bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan mengurangi risiko banjir yang sering terjadi saat musim hujan.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, berfokus pada pengembangan potensi wisata dan ekonomi kreatif di Solo. Salah satu upaya terbesarnya adalah mempromosikan wisata budaya dan kuliner lokal, seperti Kampung Batik Laweyan, Pasar Gede, dan berbagai destinasi wisata heritage lainnya. Solo dinilai memiliki potensi besar dalam industri pariwisata, mengingat kota tersebut merupakan salah satu pusat budaya Jawa, dengan warisan sejarah dan seni yang kental.
Aliran Dana dan Perhatian Khusus terhadap Solo

Dari penelusuran IDN Times, berdasarkan catatan resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, sejak Gibran menjabat, kota itu menerima aliran dana dari pemerintah pusat lebih dari Rp1,2 triliun. Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai proyek strategis, mulai dari infrastruktur hingga pengembangan pariwisata. Sebagai contoh, proyek revitalisasi jalan dan jembatan mendapat porsi besar dari dana tersebut, mengingat pentingnya infrastruktur transportasi yang memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Selain proyek infrastruktur, pemerintah pusat juga mendanai pengembangan kawasan wisata dan ekonomi kreatif, termasuk program revitalisasi pasar-pasar tradisional yang menjadi jantung ekonomi rakyat. Pasar-pasar tersebut tidak hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga destinasi wisata yang menampilkan kekayaan budaya dan kuliner Solo.
Proyek-proyek itu diklaim sejalan dengan upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata dan industri kreatif. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Kota Solo pada tahun 2022 mencapai 6,25 persen, meningkat dari 4,01 persen pada tahun sebelumnya, dan itu terjadi setelah dampak pandemik COVID-19 mulai mereda.
Dengan aliran dana sebesar itu, pertanyaan yang muncul adalah: apakah Solo mendapatkan perhatian yang sama besar jika Gibran bukan anak presiden? Beberapa pengamat politik berpendapat bahwa posisi Gibran sebagai putra Presiden Jokowi memengaruhi tingkat perhatian pemerintah pusat terhadap Solo, terutama dalam hal alokasi sumber daya dan frekuensi kunjungan para menteri.
Solo dalam Strategi Pembangunan Nasional

Kota Solo mendapatkan perhatian khusus dalam strategi pembangunan nasional karena beberapa faktor. Secara geografis, Solo terletak di posisi strategis sebagai penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadikannya pusat logistik yang vital. Dalam konteks pembangunan wilayah Jawa, Solo menempati posisi penting sebagai salah satu kota yang menghubungkan koridor ekonomi penting di Pulau Jawa.
Potensi Solo di sektor pariwisata dan industri kreatif juga menjadi alasan utama pemerintah pusat menaruh perhatian lebih pada kota tersebut. Dengan warisan budaya yang kuat, Solo memiliki daya tarik wisata yang tinggi, baik dari segi sejarah, seni, hingga kuliner. Berbagai festival budaya, seperti Solo Batik Carnival dan Grebeg Sudiro, makin mengukuhkan posisi Solo sebagai kota budaya yang memiliki potensi besar untuk mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pakar kebijakan publik Lembaga Administrasi Negara (LAN), Budi Prayitno menjelaskan bahwa perhatian pemerintah pusat terhadap Solo bukan semata-mata karena faktor keluarga. Menurutnya, potensi strategis yang dimiliki Solo memang menjadi magnet tersendiri.
"Pemerintah pusat melihat peluang besar untuk pengembangan ekonomi dan infrastruktur di Solo. Posisi kota itu sebagai pusat logistik dan pariwisata membuatnya layak untuk mendapatkan perhatian lebih," ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan IDN Times, Selasa (24/9/2024).
Relasi Kuasa dan Dinamika Politik di Indonesia

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa relasi kuasa dan hubungan kekeluargaan ikut memainkan peran penting dalam dinamika politik di Indonesia. Dalam konteks politik Indonesia, jaringan sosial dan hubungan keluarga sering mempengaruhi distribusi sumber daya.
Menurut Budi, keberadaan Gibran sebagai anak Presiden Jokowi mempermudah komunikasi dan koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat. Akses langsung Gibran ke lingkaran kekuasaan nasional memperkuat posisinya dalam struktur politik, sehingga perhatian lebih besar dari pemerintah pusat pun dapat dengan mudah diarahkan ke Solo.
Kondisi tersebut berimplikasi pada alokasi sumber daya dan pembangunan. Pasalnya, kunjungan menteri seringkali diikuti oleh pengucuran dana dan proyek strategis.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah Solo akan mendapatkan perhatian yang sama jika Gibran bukan anak Presiden Jokowi?
Budi berpendapat bahwa tanpa keterkaitan keluarga dengan Presiden Jokowi, kemungkinan besar frekuensi kunjungan menteri dan alokasi dana pusat ke Solo akan berbeda.
"Kompetisi antardaerah untuk mendapatkan perhatian pemerintah pusat sangat ketat. Tanpa hubungan personal, Solo mungkin harus bersaing lebih keras dengan daerah lain," akunya.
Fenomena itu bukan hal baru dalam dunia politik di Tanah Air. Relasi kuasa yang berbasis pada hubungan keluarga atau kedekatan personal kerap kali menjadi faktor dalam alokasi sumber daya dan perhatian pemerintah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain seperti potensi ekonomi dan kebutuhan pembangunan juga memainkan peran penting.
Dalam sejarah politik Indonesia, dinamika semacam itu telah lama ada, bahkan sejak era Orde Baru. Pada konteks yang lebih luas, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengatasi ketimpangan akses terhadap sumber daya di berbagai daerah.
Apakah Revolusi Mental Gagal?

Fenomena kunjungan menteri ke Solo ikut memunculkan pertanyaan terkait "Revolusi Mental" yang digagas Presiden Jokowi. Revolusi Mental, yang bertujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih progresif dan berintegritas, tampaknya belum mampu sepenuhnya merombak struktur politik yang kerap diwarnai oleh nepotisme dan relasi kuasa berbasis keluarga.
Budi menekankan bahwa perubahan budaya tersebut memerlukan waktu dan konsistensi.
"Tidak adil jika mengatakan Revolusi Mental gagal hanya karena masih adanya relasi kuasa. Transformasi sosial adalah proses jangka panjang yang membutuhkan dukungan dari semua pihak," tegasnya.
Untuk mengatasi masalah relasi kuasa dan memperkuat demokrasi, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan reformasi institusional, pendidikan yang inklusif, dan peningkatan transparansi serta akuntabilitas dalam pemerintahan. Upaya itu tidak hanya akan mengurangi dominasi dinasti politik, tetapi juga mendorong terciptanya pemerintahan yang lebih egaliter dan adil.
Relasi Kuasa dalam Konteks Kasta Sosial

Seperti diketahui, Indonesia memang memiliki sejarah panjang yang dibentuk oleh struktur sosial hierarkis karena menjadi bagian dari warisan sistem kerajaan dan feodalisme masa lalu. Meski kini berstatus republik, jejak-jejak sosial tersebut masih memengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Pada masa kerajaan, stratifikasi sosial berbasis kasta menciptakan struktur masyarakat yang terpolarisasi, dan pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Budaya patronase dan nepotisme, seperti hubungan patron-klien dan distribusi keuntungan kepada kerabat dekat, tetap menjadi ciri dalam politik modern Indonesia.
Ketimpangan akses terhadap pendidikan dan ekonomi terus memperkuat hierarki sosial itu sehingga menciptakan hambatan signifikan terhadap mobilitas sosial. Budi menekankan, relasi kuasa dan struktur kasta sosial di Indonesia tidak akan mudah dihilangkan tanpa adanya reformasi struktural dan perubahan budaya yang mendasar.
"Warisan sejarah dan budaya ini begitu melekat dalam kehidupan kita. Upaya kolektif sangat diperlukan untuk mendorong perubahan," ungkapnya.
Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menghadapi tantangan terkait relasi kuasa dan struktur sosial yang tidak setara. Di Thailand, sistem monarki yang kuat mendukung keberlangsungan hierarki sosial yang ketat. Malaysia, melalui kebijakan berbasis etnis, memberlakukan stratifikasi sosial yang memprioritaskan kelompok tertentu. Sementara itu, Filipina menghadapi kendala politik dinasti yang kuat dan ketimpangan ekonomi yang tajam.
"Kita berada dalam posisi yang unik. Demokrasi kita cukup dinamis, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," kata Budi.
Dalam beberapa hal, ia mengakui jika Indonesia telah lebih maju dalam proses demokratisasi, namun tantangan seperti korupsi dan nepotisme tetap menghambat perkembangan menuju masyarakat yang lebih egaliter. Situasi itu tercermin dalam perilaku birokrasi dan politik yang kerap menunjukkan warisan budaya feodal, di tengah pelembagaan politik yang belum terkonsolidasi dengan baik.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie menyebutkan, meskipun Indonesia adalah negara hukum (rule of law), kenyataannya sering kali negara lebih dipengaruhi oleh siapa yang memimpin, bukan oleh aturan hukum.
“Dalam negara modern, aturan hukum seharusnya menjadi yang utama, sedangkan pemimpin (atasan) adalah role model yang tunduk pada aturan tersebut. Jadi bukan berdasarkan aturan tapi berdasarkan atasan” katanya saat ceramah Etika dan Integritas Kepemimpinan di ASN Corporate University Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Oleh karena itu, Jimly menambahkan, birokrasi di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar untuk memastikan bahwa kebijakan dibangun di atas dasar rule of law, bukan rule of man. Selain itu, untuk memutus rantai warisan feodal dan memperkuat pelembagaan politik, penting pula diterapkannya rule of ethics—suatu sistem kaidah atau norma yang mengatur perilaku ideal dalam kehidupan bersama, termasuk norma agama, etika, dan hukum.
Ketiga norma tersebut harus berjalan beriringan untuk membangun integritas kepemimpinan yang kokoh di Indonesia.
**Artikel berbasiskan data jurnalisme ini disusun oleh Bandot Arywono dan Dhana Kencana.