Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Pertempuran Lima Hari di Semarang yang Jarang Dibahas

A long hallway lined with wooden doors and windows (unsplash.com/@triadiyusuf)
A long hallway lined with wooden doors and windows (unsplash.com/@triadiyusuf)
Intinya sih...
  • Pertempuran Lima Hari di Semarang terjadi pada Oktober 1945
  • Diawali dari ketegangan antara warga Semarang dan pasukan Jepang
  • Berlangsung selama lima hari dengan korban yang tidak sedikit
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang merupakan salah satu pertempuran yang terjadi di awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini berlangsung antara 14 hingga 19 Oktober 1945. Pejuang Indonesia, yang menginginkan mempertahankan status kemerdekaan di Kota Semarang tidak senang dengan kelakuan pasukan Jepang, yang belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Korban yang jatuh dari pertempuran tersebut tidaklah sedikit.

Meski peristiwa ini memiliki arti penting, tidak banyak masyarakat yang mengetahui detail-detail menarik seputar Pertempuran Lima Hari di Semarang. Berikut lima fakta yang akan membantu kamu memahami seputar pertempuran tersebut. Simak detailnya satu per satu!

1. Diawali dari ketegangan antara warga Semarang dan pasukan Jepang

Kantor pusat Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), Semarang (commons.wikimedia.org/Tropenmuseum)
Kantor pusat Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), Semarang (commons.wikimedia.org/Tropenmuseum)

Dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, rakyat menuntut pasukan Jepang untuk menyerahkan senjatanya sebagai tanda kepatuhan terhadap proklamasi tersebut. Pada saat yang bersamaan, perwakilan dari delegasi Pemulihan Tawanan Perang Sekutu dan Tawanan Perang (RAPWI), T.S. Tull tiba di Semarang untuk menjamin kerja sama antara pihak Sekutu dan Jepang penting dalam memulangkan tahanan perang yang ditahan selama masa penjajahan Jepang di Semarang dan sekitarnya. Selain itu, pihak Indonesia juga perlu menjaga ketertiban umum agar tidak terjadi gesekan di antara kedua belah pihak. Namun, kedatangan Sekutu memicu penolakan dari masyarakat Semarang karena dianggap berpotensi mengganggu kedaulatan Indonesia yang baru saja diraih.

Pada awal bulan Oktober 1945, pelucutan senjata dari pasukan Jepang di Semarang. Hal ini terinspirasi dari keberhasilan pemuda Surabaya yang melakukan hal serupa. Pada awalnya berlangsung lancar. Namun, negosiasi mengenai pelucutan senjata ini berakhir dengan kebuntuan pada karena pihak Jepang tidak mau menyerahkan lebih banyak senjata kepada pihak Indonesia.

2. Meletus karena pembunuhan seorang dokter Purusara

Rumah sakit karyadi yang berada di Semarang tergolong rumah sakit tertua di Jawa Tengah Indonesia (commons.wikimedia.org/PL09Puryono)
Rumah sakit karyadi yang berada di Semarang tergolong rumah sakit tertua di Jawa Tengah Indonesia (commons.wikimedia.org/PL09Puryono)

Pada tanggal 12 Oktober 1945, pemuda Semarang membantai tahanan Jepang di Penjara Bulu sebagai tanggapan atas Mayor Kido Shiniciro (pemimpin Kido Butai yang bermarkas di Semarang) yang tidak sepakat dengan penyerahan senjata kepada pihak Indonesia. Di sisi lain, Dokter Kariadi, seorang dokter Purusara Semarang, ditugaskan untuk mengecek Reservoir Siranda setelah ada kabar bahwa penjaga di reservoir tersebut diserang oleh pasukan Jepang dan meracuni air yang ada di dalamnya. Akan tetapi, beliau malah diserang oleh pasukan Jepang dan gugur.

Pembunuhan Dokter Kariadi oleh pasukan Jepang pada tanggal 14 Oktober 1945 memicu kemarahan besar terhadap pemuda Semarang. Berdasarkan tulisan Han Bing Siong berjudulThe Secret of Major Kido: The Battle of Semarang, 15-19 October 1945 yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde tahun 1996, mereka memutuskan untuk berperang melawan pasukan Jepang. Tetapi, masalah besar muncul. Pasukan Jepang yang dipimpin oleh Mayor Shiniciro mulai merebut wilayah Candi Baru (Siong, 1996). Mereka mendapatkan pasukan tambahan dari Cepiring (yang sebelumnya kabur setelah menyerang pasukan Indonesia di sana). Hal ini membuat pemuda Semarang harus berpindah tempat agar tidak ketahuan oleh pasukan Jepang, sambil berusaha menyerang mereka.

3. Berlangsung selama lima hari

Lawang Sewu (commons.wikimedia.org/Philip Nalangan)
Lawang Sewu (commons.wikimedia.org/Philip Nalangan)

Semenjak tanggal 14 Oktober hingga 19 Oktober 1945, kontak senjata dan pembunuhan antara warga Semarang dan pasukan Jepang menjadi hal yang normal di wilayah Semarang. Hampir seluruh sisi kota tersebut tak luput dari itu. Hal ini sebagai pembalasan dendam warga Semarang yang tak mau dengan kehadiran pasukan Jepang di wilayahnya, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Pertempuran ini memakan korban yang tidak sedikit. Dari pihak Indonesia, sekitar 2000 orang gugur. Di sisi lain, pasukan Jepang melaporkan 150 tentaranya tewas. Sebagian besar mereka gugur diserang Jepang. Tak sedikit pula warga sipil yang tewas dibantai oleh Jepang sebagai balas dendam atas penyerangan mereka oleh pemuda Semarang.  Bahkan, ada beberapa kampung yang dibakar oleh Jepang sebagai bentuk kekejaman mereka. Salah satunya adalah di Kampung Batik, yang menjadi kerugian terbesar dalam pertempuran tersebut.

4. Berakhirnya pertempuran menimbulkan masalah baru

The British Occupation of Java (commons.wikimedia.org/Imperial War Museum)
The British Occupation of Java (commons.wikimedia.org/Imperial War Museum)

Setelah lima hari dirundung pertempuran, rakyat Semarang merasa lega karena pasukan Jepang mematuhi gencatan senjata antara KRT Wongsonegoro, gubernur Jawa Tengah, dan Mayor Shiniciro pada tanggal 17 Oktober 1945. Moekhardi dalam buku Revolusi Nasional 1945 di Semarang tahun 2021 menjelaskan dua hari setelah penandatanganan gencatan senjata, mereka mulai mencari sanak saudara yang terbunuh oleh Jepang maupun hilang saat pertempuran. Secara berangsur-angsur, kehidupan mereka mulai kembali normal.

Kedatangan pasukan Sekutu di bawah pasukan Gurkha Inggirs menebalkan berakhirnya pertempuran antara rakyat Semarang dan pasukan Jepang. Akan tetapi, masalah baru datang. Kedatangan pasukan ini ternyata tidak hanya untuk menenangkan ketegangan yang terjadi di Semarang, tetapi juga akan mempersenjatai tahanan perang Sekutu (terutama Belanda) yang berada di Ambarawa dan Magelang. Pertempuran Ambarawa (atau yang lebih dikenal dengan Palagan Ambarawa) meletus dua bulan kemudian sebagai bentuk penolakan rakyat Indonesia terhadap persenjataan kembali pasukan Belanda.

5. Pembangunan Tugu Muda untuk mengenang pertempuran ini

Pemandangan di daerah Tugu Muda, Kota Semarang. (commons.wikimedia.org/Farhan Syafiq Fadillah)
Pemandangan di daerah Tugu Muda, Kota Semarang. (commons.wikimedia.org/Farhan Syafiq Fadillah)

Dalam rangka untuk mengenang perjuangan rakyat Semarang yang gigih melawan Jepang, dibangunlah Tugu Muda. Pembangunan tugu ini sebenarnya dimulai hanya seminggu setelah berakhirnya Pertempuran Lima Hari. Namun, karena keadaan di Semarang yang kembali tegang pasca kedatangan pasukan Sekutu, pembangunannya terbelangkalai selama empat tahun. Setelah enam tahun tertunda karena kondisi tersebut (dan juga kekurangan biaya), akhirnya pembangunan dimulai. Monumen ini awalnya berada di dekat Alun-Alun Johar. Akan tetapi, Walikota Semarang Hadisoebeno Sosrowerdojo memutuskan untuk memindahkan lokasi ke depan Lawang Sewu, yang merupakan episentrum Pertempuran Lima Hari. Pembangunan Monumen Tugu Muda berlangsung selama tiga tahun. Pada tanggal 20 Mei 1953, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional ke-45, Presiden Soekarno meresmikan monumen ini.

Monumen Tugu Muda tidak hanya sebagai salah satu simbol terkenal dari Kota Semarang. Tetapi juga sebagai pengingat rakyat kota tersebut yang pada masa lalu melawan pasukan Jepang yang tidak mau menyerahkan senjata dan menghormati kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan pada dua bulan sebelumnya, yaitu 17 Agustus 1945.

 

Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang menjadi pertempuran yang menjadi pengingat bagaimana masyarakat Kota Semarang mengorbankan segalanya demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan beberapa bulan sebelumnya. Sebagai bangsa yang besar kita memiliki kewajiban untuk mengenang pahlawan yang gugur dalam pertempuran ini. Banyak di antara mereka yang namanya tidak tercatat dalam buku sejarah, tetapi pengorbanan mereka nyata dalam menjaga tegaknya kemerdekaan. Mengingat peristiwa ini bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan juga meneguhkan semangat persatuan dan pengorbanan demi menjaga Indonesia tetap merdeka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bandot Arywono
EditorBandot Arywono
Follow Us

Latest Life Jawa Tengah

See More

Ucapan Duka Cita Untuk Agama Kristen, Pesan Belasungkawa Untuk Teman

12 Okt 2025, 23:29 WIBLife