Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Lebih Parah dari PMS? 6 Fakta Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) 

ilustrasi seorang wanita mengalami premenstrual dysphoric disorder (freepik.com/jcomp)
ilustrasi seorang wanita mengalami premenstrual dysphoric disorder (freepik.com/jcomp)
Intinya sih...
  • PMDD lebih parah dan serius dibanding PMS, menyebabkan perubahan suasana hati ekstrem
  • Studi menunjukkan hubungan antara trauma masa kanak-kanak dengan peningkatan gejala PMDD
  • PMDD berhubungan dengan upaya bunuh diri dan perubahan nafsu makan pada wanita
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkan kamu mendengar tentang premenstrual dysphoric disorder (PMDD)? PMDD ini merupakan permasalahan kesehatan pada wanita yang mirip dengan premenstrual syndrome (PMS), namun lebih parah dan lebih serius. Dilansir laman WebMD dan mayoclinic, PMDD menyebabkan gejala emosional dan fisik seperti PMS, tetapi lebih parah dan terkadang melumpuhkan. PMDD menyebabkan perubahan suasana hati yang ekstrem yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, termasuk pekerjaan, sekolah, kehidupan sosial, dan hubungan. 

Oleh karena itu, sangat diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut terkait gangguan ini, terlebih para wanita. Berikut enam fakta penting terkait premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dari beberapa artikel ilmiah. 

1. 1984: Tahun Pionir Penelitian Suasana Hati dan Fluktuasi Perilaku PMDD oleh Rubinow dkk

ilustrasi seorang wanita sedang mengalami gejala premenstrual (freepik.com/diana.grytsku)
ilustrasi seorang wanita sedang mengalami gejala premenstrual (freepik.com/diana.grytsku)

Dalam artikel yang ditulis oleh Baller dan Ross di jurnal Biological Psychiatry (2019), dijelaskan bahwa PMDD pertama kali diperkenalkan oleh Rubinow dan rekan-rekannya pada tahun 1984. Mereka adalah yang pertama meneliti perubahan suasana hati dan perilaku yang terkait dengan PMDD. Penelitian mereka, yang diterbitkan di American Journal of Psychiatry, bertujuan untuk mengevaluasi apakah penilaian diri harian dengan skala visual dapat membantu mengonfirmasi atau membantah adanya gangguan mood yang terkait dengan menstruasi.

2. Pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan keparahan PMDD

ilustrasi seorang anak perempuan mengalami trauma (freepik.com/pvproductions)
ilustrasi seorang anak perempuan mengalami trauma (freepik.com/pvproductions)

Azoulay dan rekan-rekannya melakukan studi yang diterbitkan di jurnal Child Abuse & Neglect (2020) untuk mengeksplorasi hubungan antara trauma masa kanak-kanak dan peningkatan gejala pramenstruasi, serta peran disregulasi emosional dalam hubungan tersebut. Mereka menemukan bahwa semakin banyak trauma yang dialami pada masa kanak-kanak, semakin parah gejala pramenstruasi yang muncul. Disregulasi emosional ternyata menjadi mediator dalam hubungan ini, yang berarti wanita yang mengalami trauma masa kecil cenderung kesulitan mengatasi perubahan emosional, kognitif, dan fisik yang terjadi sebelum menstruasi, berkontribusi pada munculnya PMDD.

Temuan ini sejalan dengan penelitian oleh Yen dkk. di Progress in Neuropsychopharmacology & Biological Psychiatry (2017), yang menunjukkan bahwa fase siklus menstruasi mempengaruhi regulasi emosi hanya pada wanita dengan PMDD. Selain itu, studi oleh Dan dkk. di Hormones and Behavior (2020) menjelaskan hubungan antara kesulitan regulasi emosi dan PMDD, yang dimediasi oleh pola spesifik konektivitas fungsional di otak, termasuk koneksi di striatum, thalamus, dan korteks prefrontal.

3. Wanita dengan PMDD menunjukkan perasaan negatif intensitas tinggi terhadap stres harian

ilustrasi seorang wanita sedang mengalami stres (unsplash.com/@carolinahdzz)
ilustrasi seorang wanita sedang mengalami stres (unsplash.com/@carolinahdzz)

Beddig dan rekan-rekannya melakukan studi yang diterbitkan di jurnal Psychoneuroendocrinology (2019) untuk memeriksa stres yang terkait dengan suasana hati pada wanita dengan PMDD selama siklus menstruasi. Penelitian ini menemukan bahwa wanita dengan PMDD menunjukkan peningkatan signifikan dalam afek negatif, terutama perasaan kesal dan gugup, terhadap stres harian, terutama pada fase luteal (setelah ovulasi dan sebelum menstruasi). Hal ini menunjukkan bahwa wanita PMDD bereaksi lebih intens terhadap stresor pada fase ini, yang dapat memperburuk suasana hati dan konflik interpersonal.

Selain itu, mereka juga menemukan bahwa wanita dengan PMDD cenderung menggunakan perenungan (pikiran berulang tentang situasi stres) sebagai cara mengatasi stres, terlepas dari fase siklus menstruasi. Studi lanjutan yang diterbitkan di Behaviour Research and Therapy (2020) mengungkapkan bahwa menjelang akhir siklus, wanita PMDD mengalami peningkatan afek negatif dan perenungan, serta penurunan afek positif dan penerimaan diri. Ini menunjukkan bahwa intervensi berbasis kesadaran yang mengurangi perenungan dan meningkatkan penerimaan diri dapat membantu mengurangi beban PMDD.

4. Gejala PMDD terbagi ke dalam enam kluster

ilustrasi gejala premenstrual dysphoric disorder (unsplash.com/Imani Bahati)
ilustrasi gejala premenstrual dysphoric disorder (unsplash.com/Imani Bahati)

Kaiser dan rekan-rekannya melakukan studi yang diterbitkan di Journal of Psychosomatic Research untuk menyelidiki kluster gejala pramenstruasi dan hubungannya dengan gangguan. Dari analisis faktor terhadap 174 diari gejala prospektif, mereka menemukan enam kluster gejala, yaitu:

  1. Disforia afektif (seperti sedih, gelisah, dan merasa tidak berharga)
  2. Disforia somatik (termasuk kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi)
  3. Iritabilitas
  4. Sensitivitas payudara/tubuh
  5. Nyeri
  6. Perilaku makan

Keenam kluster ini terkait dengan gangguan dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, kluster disforia somatik sangat terkait dengan gangguan di tempat kerja, sedangkan kluster sensitivitas payudara/tubuh juga berdampak pada aktivitas kerja. Kluster nyeri berhubungan dengan gangguan sosial.

Menariknya, kluster disforia afektif tidak menunjukkan hubungan signifikan dalam analisis faktor berganda tetapi terkait dengan semua dimensi gangguan dalam analisis tunggal. Kluster iritabilitas, di sisi lain, memiliki hubungan kuat dengan gangguan dalam hubungan. Oleh karena itu, para peneliti menyarankan intervensi psikososial, seperti Dialectic Behavioral Therapy, yang fokus pada perbaikan hubungan interpersonal, sebagai pendekatan yang bermanfaat bagi wanita dengan gejala PMDD.

5. PMDD mungkin berhubungan dengan upaya bunuh diri

ilustrasi seorang wanita melakukan upaya bunuh diri (unsplash.com/@lycan)
ilustrasi seorang wanita melakukan upaya bunuh diri (unsplash.com/@lycan)

Shams-Alizadeh dan rekan-rekannya melakukan studi yang diterbitkan di Asian Journal of Psychiatry (2018) untuk menyelidiki hubungan antara PMDD dan upaya bunuh diri yang mungkin dipengaruhi oleh hormon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PMDD mungkin berhubungan dengan upaya bunuh diri, tetapi tidak ada kaitan langsung dengan siklus menstruasi.

Salah satu penjelasan yang mungkin adalah pengaruh kadar serum serotonin, neurotransmitter yang berperan dalam stabilitas suasana hati. Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan PMDD memiliki kadar serum serotonin dan reabsorpsi trombosit serotonin yang lebih rendah pada fase pramenstruasi dibandingkan wanita tanpa PMDD, dan kadar serotonin yang rendah terkait dengan perilaku bunuh diri.

Selain itu, interaksi antara estrogen dan sistem serotonergik juga dapat berkontribusi pada risiko bunuh diri. Penelitian lain menyoroti peran estrogen dan progesteron dalam depresi dan upaya bunuh diri pada wanita. Temuan Shams-Alizadeh dkk. sejalan dengan studi de Carvalho yang diterbitkan di Psychiatry Research (2018), yang menunjukkan bahwa PMDD berhubungan dengan komorbiditas gangguan mood dan kecemasan serta meningkatkan risiko bunuh diri.

6. Makanan manis dapat memfasilitasi intervensi klinis pada wanita dengan PMDD

ilustrasi seorang wanita makan makanan manis (freepik.com/jcomp)
ilustrasi seorang wanita makan makanan manis (freepik.com/jcomp)

Yen dan rekan-rekannya melakukan studi yang diterbitkan di Appetite (2018) untuk mengevaluasi perubahan nafsu makan pada wanita dengan PMDD, terutama terhadap makanan manis dan makanan asin berlemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keinginan untuk mengonsumsi makanan manis meningkat selama fase luteal akhir siklus menstruasi, dan hal ini terkait dengan respons emosional terhadap makanan tersebut.

Makanan manis dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi stres melalui sistem neurotransmisi di otak. Pengalaman positif setelah mengonsumsi makanan manis dapat menciptakan ekspektasi emosional yang baik, membuat wanita yang mengalami depresi lebih cenderung makan secara emosional untuk mengatasi perasaan negatif.

Namun, asupan makanan manis yang tinggi dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko obesitas. Oleh karena itu, diperlukan strategi alternatif untuk mengatasi gejala PMDD, seperti mengadopsi intervensi manajemen gaya hidup, termasuk peningkatan aktivitas fisik, seperti latihan aerobik.

Itulah enam fakta penting yang perlu kita ketahui terkait PMDD. Wah, ternyata ada yang lebih parah dari PMS, ya. Semangat bagi para wanita, terus berpikir positif dan hidup sehat!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sarah Ferwinda
EditorSarah Ferwinda
Follow Us