Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sawit: Poros Strategis Arah Dagang Indonesia dan India

Ilustrasi Kelapa Sawit (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)
Ilustrasi Kelapa Sawit (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)
Intinya sih...
  • Indonesia dan India menjalin hubungan perdagangan sawit yang strategis.
  • Sensitivitas harga di pasar India mempengaruhi impor sawit dari Indonesia.
  • Kebijakan biodiesel, target swasembada, inkonsistensi tarif impor, dan persepsi publik menjadi isu utama dalam kerja sama dagang sawit Indonesia-India.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Hubungan Indonesia dan India sudah terjalin berabad-abad, sejak era perdagangan jalur rempah. Komunitas Gujarat India pernah meninggalkan jejak kuat di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, termasuk di Semarang dan Aceh. Kini, pada abad ke-21, komoditas yang mengikat dua negara itu bukan lagi rempah, melainkan minyak sawit.

1. Koridor strategis dua negara

Screenshot 2025-09-23 at 10.32.24.png
Tangkapan layar webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia–India Economic and Trade Cooperation yang diadakan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Senin (22/9/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Seperti diketahui, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, dengan pangsa hampir 58 persen produksi global.

India, di sisi lain, menjadi konsumen terbesar kedua minyak sawit setelah Indonesia, dengan kebutuhan mencapai 25--26 juta ton minyak nabati per tahun. Lebih dari sepertiga kebutuhan itu dipenuhi dari sawit, dan Indonesia menjadi pemasok utamanya. Posisi tersebut menjadikan jalur sawit--dari kebun, kilang, hingga pabrik makanan--sebagai koridor strategis yang mengikat dua negara di Asia itu.

Meski demikian, hubungan dagang strategis keduanya tidak selalu mulus. Sejumlah faktor memengaruhinya. Mulai dari fluktuasi harga, kebijakan domestik, hingga isu keberlanjutan membuat arus perdagangan sawit penuh dinamika.

Dalam webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia–India Economic and Trade Cooperation yang diadakan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Senin (22/9/2025), Ekonom Senior INDEF, Fadhil Hasan mengatakan, hubungan perdagangan sawit Indonesia dan India harus melampaui aspek dari sekadar aktivitas jual-beli.

Kerja sama keduanya perlu diperluas mencakup penelitian, investasi, kampanye bersama, hingga penguatan standar keberlanjutan mengenai sawit.

2. Isu utama sawit Indonesia dan India

ilustrasi minyak sawit (freepik.com/KamranAydinov)
ilustrasi minyak sawit (freepik.com/KamranAydinov)

Ia menambahkan, sedikitnya ada lima isu utama yang perlu mendapat perhatian serius agar kerja sama Indonesia dan India tetap stabil dan saling menguntungkan. Kelima isu tersebut adalah:

  1. Sensivitas harga di pasar India

Menurut Fadhil Hasan, faktor utama penurunan impor India adalah lonjakan harga sawit global. Ketika pada awal tahun 2025, sawit relatif mahal dan importir beralih ke soyoil atau sunflower. Lalu, saat CPO kembali lebih murah, impor sawit naik tajam. Sebagai contoh pada Mei 2025, di mana naik 84 persen (month-to-month/m-t-m) ke 592.888 ton. Harga itu menjadi yang tertinggi sejak Nov 2024.

“India dikenal sebagai pasar yang sensitif (peka) terhadap harga. Begitu harga sawit lebih tinggi atau setara dengan minyak nabati lain, mereka cenderung beralih ke kedelai,” katanya.

Sensitivitas itu membuat stabilitas harga menjadi hal yang krusial. Bagi eksportir seperti Indonesia, mempertahankan daya saing harga berarti ikut menjaga pangsa pasar di India.

  1. Konsumsi domestik dan program B40

Kebijakan biodiesel Indonesia yang saat ini sudah mencapai B40 ikut memengaruhi ekspor sawit. Sebagian besar sawit (CPO domestik) diserap untuk kebutuhan energi dalam negeri.

Hal tersebut berdampak ke India di mana ruang suplai ekspor Indonesia bisa menyempit bila produksi tidak naik sepadan.

“Kita belum tahu 2026 apakah ada perubahan dari B40 ke B50 atau sebaliknya turun. Itu menjadi faktor penting yang memengaruhi impor India,” imbuhnya.

  1. Target swasembada India

India menargetkan swasembada minyak nabati pada tahun 2040 namun produksi minyak sawit domestik mereka masih terbatas.

Produksi CPO domestik India 2024--2025 baru sekitar 0,38 juta ton (3,80 lakh ton), jauh dari konsumsi sawitnya (sekitar 9--10 juta ton) dalam total konsumsi minyak nabati 25--26 juta ton.

Program National Mission on Edible Oils-Oil Palm (NMEO-OP) India memperluas areal dan produktivitas, sehingga peluang kerja sama, seperti benih unggul, teknologi budidaya, dan investasi dengan Indonesia bisa terbuka lebar.

“Mereka butuh benih sawit berkualitas, dan Indonesia bisa berperan besar di situ. Jadi, tidak perlu melihatnya semata sebagai ancaman,” ujar Fadhil.

  1. Inkonsistensi tarif impor

Struktur tarif impor India membuat ekspor sawit olahan terhambat. Untuk diketahui, pada 30 Mei 2025, India memangkas Basic Customs Duty (BCD) crude oils—termasuk CPO—dari 20 persen ke 10 persen sehingga effective duty (tarif) turun sekitar 16,5 persen.

Sementara refined oils (misal RBD palm olein) tetap di BCD 32,5 persen--dengan effective rate sekitar pertengahan 30 persen.

Kebijakan itu memperlebar diferensial cruderefined untuk mendukung industri penyulingan domestik India.

“Ketika tarif sering berubah, sulit bagi eksportir merencanakan volume. Karena itu diperlukan dialog kebijakan (policy dialogue) yang intensif,” aku Fadhil.

  1. Persepsi publik dan keberlanjutan

Di India, sawit sering dianggap inferior dibanding minyak nabati lain.

“Padahal dari sisi kesehatan, sawit punya keunggulan. Ini perlu diluruskan melalui edukasi publik,” urainya.

Selain itu, tren global mendorong India menuntut produk sawit yang berkelanjutan. Di sisi Indonesia, kewajiban Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)--yang tercantum dalam Perpres 44 tahun 2020 dan Permentan 38 tahun 2020--diperkuat untuk meningkatkan keberterimaan pasar.

Keduanya dapat dijembatani melalui mutual recognition agreement dan kampanye edukasi bersama.

“Kalau dulu India hanya menekankan harga murah, sekarang mereka juga menuntut sustainability. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia mengurangi emisi,” tambah Fadhil.

3. Pasar potensial sawit Indonesia

Petani memindahkan kelapa sawit yang baru dipanen di Nagari Katapiang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, Senin (2/9/2024). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc
Ilustrasi petani memindahkan kelapa sawit yang baru dipanen di Nagari Katapiang, Padang Pariaman, Sumatra Barat. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Masih di acara yang sama, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan, India tetap menjadi pasar strategis nomor dua setelah Tiongkok, meski sempat terjadi pelemahan kinerja ekspor pada paruh pertama 2025.

“India adalah market yang sangat penting bagi Indonesia setelah Tiongkok. Namun hingga pertengahan tahun ini, ekspor sawit sempat menurun dibandingkan 2024. Dengan diferensial tarif yang melebar, India cenderung membeli CPO dan memproses di dalam negeri—kita (Indonesia) perlu memastikan pasokan crude tetap kompetitif,” ujar Eddy.

Sementara itu, pemerintah menyatakan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) tetap diberlakukan untuk mendorong hilirisasi serta mendanai pengembangan industri melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ). Sejak 17 Mei 2025, pungutan ekspor CPO naik dari 7,5 persen menjadi 10 pesen sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2025. Dana itu bisa digunakan untuk promosi, riset, hingga penguatan praktik berkelanjutan.

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Wijayanto mengatakan, arah kebijakan sawit Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan, hilirisasi, sekaligus menjaga ketertiban dan keberlanjutan.

"Penggunaan sawit diarahkan memberi nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia,” ujarnya.

Di sisi regulasi keberlanjutan, imbuh Wijayanto, ISPO bersifat wajib bagi pelaku usaha sawit Indonesia dengan prinsip/kriteria yang mencakup legalitas, praktik budidaya baik, lingkungan, ketenagakerjaan, tanggung jawab sosial, transparansi, dan peningkatan berkelanjutan.

Sebagai informasi, Perang Rusia dan Ukraina mengganggu pasokan minyak bunga matahari (sunflower oil) sejak 2022. Hal itu membuat substitusi ke sawit meningkat.

Dengan pangsa produksi global terbesar dan program B40, Indonesia memegang tuas penting pasokan global. Sementara India sebagai importir utama, mengarahkan kebijakan tarif untuk menstabilkan harga domestik.

Adapun, kerja sama dagang sawit Indonesia dan India memanfaatkan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–India (AIFTA) yang sejak 2010 mempermudah ekspor. Kini, Indonesia dan India menjajaki Preferential Trade Agreement (PTA) untuk memperluas akses pasar sawit dan produk turunannya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

Sawit: Poros Strategis Arah Dagang Indonesia dan India

23 Sep 2025, 10:38 WIBNews