HUT ke-279, Sejarah Kota Surakarta, Awalnya Sebuah Desa Kecil Sala

Surakarta, IDN Times - Sabtu (17/02/2024) Kota Surakarta memperingati hari jadi ke-279. Upacara peringatan hari jadi Kota Surakarta hari ini dilangsungkan di Taman Balekambang.
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan istrinya, Selvi Ananda, menghadiri upacara HUT ini. Gibran duduk bersebelahan dengan Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakosa.
KGPAA Mangkunegara X ditunjuk menjadi inspektur upacara. Semua dialog dalam upacara ini menggunakan Bahasa Jawa.
1. Sejarah Kota Solo

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Solo nama Sala diambil karena desa terpencil itu banyak ditumbuhi pohon sala. Letaknya tidak jauh dari Keraton Kartasura yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram.
Sejarah awal kota Surakarta terbentuk ketika pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam pindah dari Keraton Kartasura ke Desa Sala karena mengalami keruntuhan.
Sampai tahun 1744, Solo dikenal sebagai desa terpencil dan tenang, berjarak 10 km ke timur dari Kartusura, pusat Kerajaan Mataram pada waktu itu. Tetapi pada masa kepemimpinan Susuhan Mataram Pakubuwono II, Kerajaan Mataram didukung China melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sebagai akibatnya Kartusura akhirnya diduduki oleh Belanda. Kondisi ini menghatuskan Pakubuwono II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya dan pada tahun 1745 kerajaan di Kartusura dibongkar dan diangkut dalam sebuah prosesi ke Surakarta, di tepi Sungai Solo.
2. Tanah di Desa Sala dibeli sebesar 10 ribu ringgit oleh Pakubuwono II

Raja Kasultanan Mataram, Sunan Pakubawana II kala itu mempertimbangkan memindahkan keraton ke tempat baru. Pakubawana II mengutus satu tim untuk mencari lokasi yang cocok. Dari hasil penelusuran mereka, ada Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu yang dianggap cocok sebagai lokasi keraton baru.
Sala merupakan satu dari tiga dusun yang dipilih oleh Sri Susuhunan Paku Buwana II atas saran dari Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, ketika akan mendirikan istana baru.
Sunan Pakubuwana II membeli tanah dari lurah Desa Sala yang letaknya tak jauh dari Bengawan Solo, yaitu Kyai Sala, sebesar 10.000 ringgit. Secara resmi, istana Mataram Islam yang baru dinamakan Karaton Surakarta Hadiningrat dan mulai ditempati tanggal 20 Februari 1745.
3. Pengaruh dari Geger Pecinan

Pindahnya pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam dipengaruhi adanya geger pecinan atau peristiwa pemberontakan pasukan gabungan Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning.
Terbentuknya Sala juga dipengaruhi pemberontakan Geger Pecinan yang diawali dengan pembantaian 10 ribu orang Tionghoa oleh VOC di Batavia bulan Oktober 1740, yang kemudian banyak orang Tionghoa melarikan diri ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sejumlah orang Tionghoa yang melarikan diri ini akhirnya bersekutu dengan kekuatan Kesultanan Mataram dan berperang melawan VOC. Perang ini pecah di seantero Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur.
4. Sejarah kuno Solo dimulai dari manusia purba homo erectus

Sejarah kuno Solo dimulai ketika ditemukannya manusia purba Homo erectus di Sangiran, Kabupaten Sragen. Selain itu sebuah penelitian menyebutkan bahwa nama Solo ada karena Kota Surakarta didirikan di sebuah desa bernama Desa Sala, di tepi Sungai Solo.
Namun kejayaan kerajaan terus menurun, pada tahun 1757 sebuah kerajaan saingan dari Mangkunegoro didirikan tepat di pusat Solo. Namun bangsawan dengan bijak menghindari pertempuran dan mencurahkan energinya untuk mengembangkan seni dan budaya kerajaan yang anggun dan menawan.
Paviliun gamelan menjadi arena baru persaingan, masing-masing kerajaan berkompetisi menghasilkan budaya kerajaan yang lebih halus dan kondisi ini masih berlanjut sampai sekarang.
5. Sempat berstatus Daerah Istimewa Surakarta

Setelah berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Raja Surakarta Paku Buwana XII mengeluarkan maklumat bahwa Surakarta Hadiningrat mendukung dan berada di belakang pemerintah Republik Indonesia. Selama 10 bulan, Surakarta berstatus sebagai daerah istimewa setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta.
Karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat Daerah Istimewa Surakarta, pada tanggal 16 Juni 1946 pemerintah membekukan status Daerah Istimewa yang dimiliki Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan politik Raja Surakarta dan Adipati Surakarta yang berkedudukan di Karaton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran Surakarta.
Status Raja Surakarta dan Adipati Pura Mangkunegaran menjadi simbol budaya di tengah masyarakat serta kedudukan keraton dan pura diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Surakarta kemudian ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang memimpin Karesidenan Surakarta dengan wilayah seluas 5.677 km². Karesidenan Surakarta terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali.
Setelah Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang memberikan banyak hak otonomi bagi pemerintahan daerah, Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.