Kasus PPDS Undip, Dokter Zara Divonis 9 Bulan, Lebih ringan Dari Tuntutan JPU

- Dokter Zara Yupita Azra divonis 9 bulan penjara karena pemerasan terhadap dokter residen junior di PPDS anestesi Undip.
- Putusan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
- Hakim menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau.
Semarang, IDN Times - Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro Semarang Zara Yupita Azra dijatuhi hukuman 9 bulan penjara dalam perkara tindak pidana pemerasan terhadap dokter residen junior di PPDS anestesi Undip.
Dokter Zara Yupita Azra merupakan senior dari ARL yang meninggal pada September 2024 lalu. Kasus pemerasan PPDS Undip ini mencuat setelah meninggalnya dokter Aulia Risma Lestari, tak hanya pemerasan diduga juga ada praktik perundungan.
Putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut," kata Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin.
Dalam putusannya hakim menilai terdakwa yang merupakan residen PPDS Anestesi angkatan 76 secara sah dan meyakinkan meminta para juniornya yakni residen angkatan 77 untuk membayar iuran yang digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional selama menjalani pendidikan.
Iuran yang harus dibayarkan tersebut diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan, seperti penyediaan makan prolong hingga membiayai joki tugas residen senior.
Selain itu, terdapat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh residen junior akibat adanya sistem hierarki di lingkungan lembaga PPDS anestesi tersebut.
Hakim menilai perbuatan terdakwa tersebut tidak berdasarkan hukum atau sebagai perbuatan melawan hukum. Hakim menilai terdapat relasi kuasa bersifat hierarki. "Kekuasaan satu pihak atas pihak lainnya," tambahnya.
Menurut dia, terdapat sistem tingkatan antar angkatan yang berlaku turun temurun, serta pemberlakuan pasal dan tata krama anestesi dari senior terhadap junior.
Hakim menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau. Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama menyatakan pikir-pikir.