Sopir Menggugat UU ODOL, Negara Didesak Prioritaskan Keadilan Ekonomi dan Hukum

- RUU ODOL dan ketimpangan pelaksanaan
- Ironi hukum, tegas ke sopir, lembek ke koruptor
- Refleksi keadilan ekonomi dan etika politik
Banyumas, IDN Times - Ribuan sopir truk dari berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan dalam unjuk rasa nasional, menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Over Dimension Over Load (RUU ODOL) 2025.
Mereka menuding pemerintah dan DPR memberlakukan hukum secara tidak adil, rakyat kecil seperti sopir truk dihukum karena muatan berlebih, sementara para koruptor kelas kakap dibiarkan menikmati hasil kejahatannya tanpa tersentuh Undang-Undang Perampasan Aset yang hingga kini belum juga disahkan.
Ketika suara klakson bersahutan, poster-poster bernada protes diangkat tinggi dari “Kami Bukan Kriminal!” hingga “Gerakan Sopir Se-Indonesia Menggugat, ini menjadi potret jeritan kaum pekerja logistik yang merasa dipinggirkan dalam kebijakan negara.
Menurut Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto, kepada IDN Times, Senin (23/6/2025), kebijakan ODOL tak ubahnya tamparan terhadap keadilan ekonomi. Dalam tulisannya yang viral, ia menyebut negara terlalu cepat menghukum sopir, tapi terlalu lamban merampas harta koruptor.
1. UU ODOL dan ketimpangan pelaksanaan

Dijelaskan, pemerintah beralasan bahwa ODOL harus ditegakkan demi keselamatan jalan dan efisiensi infrastruktur. Namun dalam praktiknya, sopir menjadi pihak yang paling sering dikorbankan. Padahal, pelaku modifikasi truk untuk memuat lebih banyak biasanya pemilik barang atau perusahaan logistik jarang tersentuh hukum.
Asosiasi Logistik Indonesia mencatat lebih dari 70 persen distribusi nasional bergantung pada transportasi darat. “Sopir adalah aktor utama sistem distribusi. Tapi yang mereka terima bukan perlindungan, melainkan kriminalisasi,” ujar Dr. Ash-Shiddiqy.
Dalam studi LPEM FEB UI (2021), biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari PDB, sangat timpang dibanding Malaysia atau Thailand yang di kisaran 10–15 persen. ODOL seharusnya menjadi bagian dari solusi menyeluruh terhadap sistem logistik, bukan sekadar penindakan teknis di lapangan.
2. Ironi hukum, tegas ke sopir, lembek ke koruptor

Para sopir menilai ketimpangan hukum sangat nyata pelanggaran kecil oleh rakyat kecil ditindak tegas, sementara kejahatan besar oleh elite justru dilindungi.
Sampai saat ini, RUU Perampasan Aset Koruptor masih belum disahkan. Padahal, menurut ICW, kerugian negara akibat korupsi pada 2023 mencapai lebih dari Rp40 triliun. Tanpa UU perampasan aset, banyak koruptor tetap menikmati hasil kejahatannya karena sulitnya menyita harta mereka.
“Bagaimana mungkin sopir ODOL yang kelebihan muatan 2 ton langsung ditangkap, sedangkan koruptor kelas kakap masih bisa makan di restoran mahal?” kritik Ash-Shiddiqy.
3. Refleksi keadilan ekonomi dan etika politik

Menurut Ash-Shiddiqy, isu ODOL bukan sekadar kebijakan transportasi, melainkan refleksi dari kegagalan etika politik. Ia menilai negara terlalu fokus pada pendekatan hukum yang represif terhadap kelompok lemah, tanpa membenahi sistem secara struktural.
“Jika negara serius ingin menertibkan ODOL, benahi dulu regulasi logistiknya, beri insentif bagi perusahaan yang taat hukum, dan lindungi sopir dari jerat pidana,” ujarnya.
Ditambahkannya, jika negara sungguh ingin menciptakan keadilan ekonomi, maka seharusnya UU Perampasan Aset Koruptor menjadi prioritas. Demo besar para sopir adalah simbol resistensi terhadap sistem kebijakan yang timpang. Dalam sorotan, mereka bukan hanya menolak RUU ODOL, tetapi juga menggugat wajah hukum yang berat sebelah.
“Sebuah pesan keras dari balik kemudi jika keadilan ekonomi adalah tujuan negara, maka hukum harus melindungi yang lemah dan membungkam yang zalim, negara tak boleh hanya garang pada rakyat kecil tapi lembek pada elite yang korup,” tegas Ash-Shiddiqy.
4. Tuntutan gerakan sopir se Indonesia

Dalam unjuk rasa nasional, Gerakan Sopir Se-Indonesia bersama komunitas Team ST.L Pilot Darat menyuarakan sejumlah tuntutan:
1. Pembatalan Instruksi Penindakan ODOL Tanpa Diskriminasi
Sopir menolak menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan dalam pelanggaran ODOL.
2. Aturan Logistik yang Adil dan Komprehensif
Diperlukan regulasi baru terkait hubungan kerja sopir, tanggung jawab pemilik usaha, dan muatan kendaraan.
3. Perlindungan dan Kesejahteraan Sopir
Sopir menuntut asuransi kerja, kepastian upah, dan jaminan hukum.
4. Revisi UU Lalu Lintas No. 22/2009
Undang-undang ini dinilai tidak sesuai dengan realitas lapangan logistik nasional.
5. Pemberantasan Pungli dan Premanisme Jalanan
Sopir menilai kebijakan ODOL justru membuka ruang pungli oleh oknum di jalan.
6. Kesetaraan Perlakuan Hukum
Negara diminta memperlakukan pekerja lapangan dengan adil, sebagaimana seharusnya berlaku terhadap para koruptor.