Waspada pada Tabu yang Merugikan Generasi Muda

- Perayaan Hari Valentine seringkali menjadi momen ekspresi kasih sayang remaja melalui cokelat, bunga, dan kencan.
- Keresahan muncul akibat maraknya pergaulan bebas tanpa pemahaman yang benar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi di kalangan remaja.
- Kurangnya edukasi seksual di keluarga dan sekolah menyebabkan tingginya angka kekerasan seksual, kehamilan usia muda, hingga penyalahgunaan film porno.
Setiap tanggal 14 Februari, suasana di kalangan remaja terasa berbeda. Perayaan Hari Valentine itu kerap menjadi momentum mereka untuk mengekspresikan kasih sayang melalui cokelat, bunga, hingga kencan.
Di balik romantisme tersebut, muncul keresahan yang makin mengakar, yakni maraknya pergaulan bebas tanpa pemahaman yang benar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Sayang, di banyak keluarga dan sekolah di Indonesia, pembicaraan tentang seksualitas masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Ketika topik tersebut dihindari, para remaja pun terpaksa mencari informasi dari internet atau teman sebaya—yang tidak selalu memberi pemahaman yang tepat.
Psikolog klinis asal Lampung, Cindani Trika Kusuma menyoroti tingginya angka kekerasan seksual di kalangan remaja.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) pada tahun 2024, kekerasan seksual terhadap anak mencapai 7.623 kasus dan menjadikannya sebagai jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak di Indonesia.
Simak pengungkapan datanya selengkapnya berikut ini.
Data di atas menurut Cindani menjadi peringatan keras bahwa keterbukaan edukasi seksual bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kebutuhan.
"Anak-anak SMP, SMA, bahkan mahasiswa masih tertawa-tawa saat topik (edukasi seksual dan kesehatan reproduksi) ini dibicarakan. Itu tanda bahwa mereka belum terbiasa berdiskusi secara sehat soal seksualitas," jelasnya kepada IDN Times (8/2/2025).
Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) dalam laman resminya menekankan pentingnya untuk memberikan edukasi seksual, termasuk kesehatan reproduksi kepada anak-anak dan remaja sejak dini. Hal itu bertujuan untuk menekan angka kekerasan seksual dan mencegah praktik-praktik berbahaya seperti perkawinan anak.
Melalui pendidikan yang komprehensif, anak-anak dapat memahami tubuh mereka, hak-hak mereka, dan cara menjaga kesehatan reproduksi secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, sekolah idealnya menjadi ruang aman dan edukatif.
Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Pendidikan seksual, jika pun ada, sering kali hanya dibahas sepintas dalam pelajaran biologi atau kesehatan. Konsep mengenai batasan, dampak, dan konsekuensi dari perilaku seksual tidak pernah diajarkan secara komprehensif.
Ironisnya, tidak sedikit kasus kekerasan seksual justru terjadi di lingkungan sekolah—dilakukan oleh sesama siswa, bahkan oknum tenaga pendidik.
"Padahal, peran sekolah sangat krusial dalam membangun pemahaman dan pola pikir remaja tentang seksualitas dan batasan yang sehat dalam hubungan, serta mengenali dan menghindari kekerasan seksual. Minimnya edukasi ini menyebabkan banyak orangtua kebingunan bagaimana cara memberikan informasi yang benar kepada anak-anak mereka," ujar Cindani.

Selain kekerasan seksual, kehamilan di usia muda ikut menjadi persoalan serius. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Tengah, mencatat sebanyak 13 dari 1.000 remaja perempuan melahirkan di usia 15--19 tahun pada tahun 2024. Angka tersebut memang menurun dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan urgensi yang tidak bisa diabaikan.
Pasalnya, dampaknya tidak hanya fisik, tetapi juga pada mental mereka. Remaja yang menjadi korban kekerasan seksual bisa mengalami trauma berat, kehilangan kepercayaan diri, dan bahkan depresi berkepanjangan.
"Bagi korban, dampak psikologisnya sangat serius. Banyak dari mereka mengalami depresi, gangguan jiwa, sulit bersosialisasi, bahkan mengalami penurunan prestasi akademik. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan pendampingan kepada korban agar mereka bisa bangkit dan kembali fokus pada pendidikan serta kehidupan mereka," ungkap Cindani.
Ketika Pornografi Menggantikan Edukasi
Pengamat pendidikan Universitas Gunung Rinjani, DR Karomi, MPd menjelaskan, pendidikan seksual yang tabu dibicarakan umumnya mencakup pemahaman tentang sistem reproduksi, pubertas, menstruasi, dan perubahan hormon. Padahal, hal itu membantu remaja menjaga kesehatan reproduksi secara optimal.
Remaja dengan pemahaman tersebut, lanjutnya, membuat keputusan yang lebih bertanggung jawab serta mampu mengenali dan menghindari risiko pelecehan seksual.
"Pendidikan seksual juga berkontribusi pada kesehatan mental remaja dengan meningkatkan konsep diri, harga diri, dan kemampuan menentukan batasan pribadi dalam hubungan," aku Karomi.
Dalam ruang kosong edukasi, film porno malah sering kali menjadi "guru" yang keliru. Psikolog anak Rumah Sakit RK Charitas Palembang, Devi Delia mengungkapkan, sekitar 10 persen pasien remaja yang datang kepadanya mengalami kecanduan film porno, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan tindakan seksual tanpa memahami risikonya.
"Awalnya cuma penasaran. Lama-lama ketagihan dan mencoba hal-hal yang lebih ekstrem. Ini yang membahayakan," katanya.

Ya, pendidikan seksual yang baik dan terstruktur bisa menjadi solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Di beberapa daerah, langkah-langkah kecil mulai diambil.
Di Kota Semarang, Posyandu Remaja menjadi angin segar. Sejak 2019, program tersebut rutin diadakan di Rumah Susun Pekunden, Kelurahan Miroto. Sasarannya anak-anak usia 10–19 tahun.
Kegiatannya meliputi edukasi tentang Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), konseling gizi, hingga pencegahan pernikahan dini dan kekerasan seksual.
Ayu (15), salah satu peserta, mengaku mendapat banyak pengetahuan baru.
"Banyak ilmu soal kesehatan yang diberikan. Remaja sering tidak peduli soal kesehatan, padahal itu penting untuk masa depan dan ketika nanti menjadi orangtua. Kami jadi lebih sadar pentingnya menjaga kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi," katanya.
Menurut Bidan Farida Prafitasari dari Puskesmas Miroto, program itu penting untuk membangun generasi muda, khususnya remaja yang lebih sehat karena membantu dalam meningkatkan pemahaman mereka tentang kesehatan seksual.
"Siklus kehidupan dimulai sejak remaja. Jika remaja putri tidak mendapatkan gizi yang cukup dan pengetahuan (seksual dan reproduksi), mereka berisiko melahirkan anak yang mengalami stunting. Ini adalah siklus yang harus kita putus. Dengan edukasi yang tepat, remaja bisa lebih sadar akan batasan dalam hubungan dan tidak mudah terpengaruh oleh pergaulan bebas,” ucapnya.
Layanan kesehatan yang ramah seperti Posyandu Remaja, menjadi bagian dari strategi menyeluruh yang memberi ruang aman dan inklusif bagi remaja untuk mengakses informasi dan layanan.
Melihat hal itu, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Lampung, Munawar Ibrahim, menyoroti perlunya penguatan regulasi dalam pendidikan seksual di tingkat nasional. Ia menyebutkan, regulasi yang ada saat ini masih belum cukup kuat untuk memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan seksual yang layak.
"Saat ini, regulasi mengenai pendidikan seksual masih lemah. Kami berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dan DPR untuk membuat kebijakan yang mendukung pendidikan seksual sejak dini," ujarnya.
Keluarga jadi Benteng Pertama dan Terakhir

Dari sisi keluarga, situasinya tidak jauh berbeda. Rinda Mulyani (45), seorang ibu dengan anak remaja di Lampung, mengakui jika banyak orangtua masih merasa tidak nyaman membicarakan topik seksual dan reproduksi dengan anak mereka. Meski demikian, ia berusaha membuka ruang komunikasi sejak anaknya mulai pubertas.
"Banyak yang berpikir kalau membicarakan seks malah akan membuat anak penasaran dan akhirnya mencoba. Padahal, kalau mereka tidak tahu, justru lebih berisiko. Kalau kita tidak mengajari mereka dengan cara yang benar, mereka akan mencari tahu sendiri dari sumber yang belum tentu benar," katanya.
Peran orangtua tetap menjadi kunci utama. Rinda sejak awal sudah membuka diri untuk membicarakan edukasi seksual dengan anaknya. Ia dengan jelas menjelaskan tentang perubahan tubuh, menstruasi, serta batasan dalam hubungan.
Rinda berbicara secara terbuka tentang perasaan suka, batasan dalam hubungan, dan risiko dari aktivitas seksual di usia dini.
"Rasa suka pada lawan jenis itu wajar. Yang penting adalah bagaimana kita mengajarkan anak untuk mengendalikan perasaannya dan mengetahui batasan dalam hubungan. Saya ingin anak saya memahami bahwa cinta itu baik, tetapi harus ditempatkan pada waktu dan cara yang benar," akunya.
"Saya ingin anak saya bisa memahami bahwa cinta dan nafsu itu dua hal yang berbeda. Kalau dia paham risikonya, dia bisa lebih bertanggung jawab dalam mengambil keputusan," imbuhnya.
Namun tidak semua orangtua punya keberanian atau kemampuan yang sama dengan Rinda. Menurut Dosen Kebidanan Poltekkes Kemenkes Jakarta I, Erni, konservatisme agama dan rendahnya pendidikan masih menjadi hambatan yang menyebabkan orangtua enggan membahas seksualitas dengan anak-anak mereka. Para orangtua masih beranggapan bahwa anak-anak dapat belajar sendiri tentang seksual dan reproduksi seiring dengan berjalannya waktu.
“Banyak dari mereka yang hanya memiliki pendidikan dasar dan kesibukan mencari nafkah, sehingga kurang memberikan perhatian terhadap aspek (edukasi seksual dan kesehatan reproduksi) ini. Beberapa orangtua hanya mendapatkan informasi dari pengajian atau menyerahkan sepenuhnya kepada anak untuk mencari tahu sendiri,” katanya.

Minimnya edukasi seksual bukan hanya sekadar masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang berdampak luas. Kekerasan seksual, kehamilan dini, penyakit menular seksual, hingga kecanduan pornografi adalah beberapa konsekuensi yang bisa terjadi jika pendidikan seksual terus diabaikan.
Stigma tabu yang masih melekat harus segera dihilangkan agar remaja mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai kesehatan reproduksi mereka.
Pendidikan seksual yang baik tidak berarti mengajarkan anak untuk berhubungan seksual, melainkan membekali mereka dengan informasi yang benar agar mereka bisa membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Dengan pendekatan yang lebih terbuka dan edukatif, serta dukungan dari berbagai pihak—sekolah, keluarga, dan pemerintah—diharapkan generasi muda Indonesia bisa tumbuh menjadi individu yang lebih sadar, bertanggung jawab, dan mampu melindungi diri dari risiko yang tidak diinginkan.
Pendidikan seksual harus menjadi tanggung jawab bersama—baik oleh orangtua, sekolah, maupun pemerintah. Dengan edukasi yang tepat, remaja dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dalam menjalani kehidupan mereka, serta menciptakan generasi masa depan yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Sudah saatnya mengubah tabu menjadi kesadaran.
Penulis: Dhana Kencana (lead), Feny Agustin, M Iqbal, Tama Wiguna, Ruhaili, Silviana.