Himperra Jateng Minta Percepatan Perizinan untuk Dukung Program 3 Juta

- Pengembang sudah merealisasikan 6 ribu unit rumah subsidi dari target 14.000 unit tahun ini.
- Kendala perizinan dan aturan domisili menyulitkan pembangunan rumah subsidi di Jawa Tengah.
- Backlog perumahan dibagi menjadi backlog kepemilikan dan kelayakan, serta mendorong sinergi antara pemerintah, pengembang, dan lembaga keuangan.
Semarang, IDN Times — Dewan Pengurus Daerah (DPD) Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Jawa Tengah beraudiensi dengan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, di ruang kerjanya, Senin (15/9/2025). Pertemuan itu membahas berbagai kendala pembangunan rumah subsidi yang menjadi bagian dari program nasional 3 juta rumah yang dicanangkan Presiden.
1. Sudah merealisasikan 6 ribu unit dari target

Ketua DPD Himperra Jateng, Sugiyatno menyampaikan, hingga saat ini para pengembang di Jawa Tengah sudah merealisasikan sekitar 6.000 unit rumah subsidi. Himperra menargetkan pembangunan 14.000 unit rumah pada tahun ini, dengan sisa 7.000 unit yang dikejar dalam empat bulan ke depan. Adapun, backlog (defisit) perumahan di Jawa Tengah mencapai 1.332.968 unit.
“Kami mohon dukungan Bapak Gubernur agar ada percepatan dalam perizinan. Selain itu, kepala daerah juga bisa mendorong ASN untuk mengambil rumah subsidi,” kata Sugiyatno.
Ia juga menyoroti kebijakan pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang belum seragam di setiap daerah.
“Di Solo Raya BPHTB memang sudah bebas, tetapi hanya untuk warga ber-KTP domisili setempat. Kami berharap pembebasan ini berlaku untuk seluruh warga Indonesia, agar tidak menghambat investasi,” tambahnya.
2. Kendala perizinan dan aturan domisili

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Jawa Tengah, Boedyo Darmawan, menjelaskan, saat ini sudah ada 22 kabupaten/kota yang memberikan pembebasan BPHTB. Namun, masih ada 13 kabupaten/kota yang menambahkan syarat domisili KTP bagi pembeli rumah subsidi.
“Hal ini menyulitkan, karena di kawasan urban seperti Semarang banyak MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Sedangkan perumahan subsidi biasanya berada di wilayah perbatasan, misalnya Kendal, sehingga terkendala aturan domisili,” ungkap Boedyo.
Ia menegaskan, pemerintah provinsi terus berupaya mencari solusi melalui rapat koordinasi lintas sektor.
“Kebijakan fiskal berupa pembebasan BPHTB sudah didorong untuk mempercepat kepemilikan rumah. Namun tetap perlu ada rapat koordinasi dengan kabupaten/kota karena kewenangannya ada di mereka,” ujarnya.
3. Backlog perumahan dan solusi pendekatan

Boedyo memaparkan, untuk backlog perumahan di Jawa Tengah terbagi dua, yakni backlog kepemilikan dan backlog kelayakan. Backlog kelayakan ditangani melalui anggaran APBD provinsi maupun kabupaten/kota, serta dukungan Corporate Social Responsibility (CSR). Sedangkan backlog kepemilikan difasilitasi melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk MBR serta program relokasi bagi korban bencana.
“Di Jawa Tengah, kami mendukung penuh program Satu Keluarga, Satu Rumah Layak Huni. Untuk itu, penyelesaian backlog menjadi prioritas,” tegas Boedyo.
Direktur Utama Bank Jateng, Irianto, menuturkan, pihaknya telah menyalurkan pembiayaan Tapera senilai Rp108 miliar kepada hampir seribu nasabah. Sementara pada 2025, pembiayaan yang sudah terealisasi mencapai Rp41 miliar untuk 260 orang.
“Dari jumlah itu, baru 90 orang ASN yang terfasilitasi, sisanya swasta. Kami tetap berkomitmen mendukung,” ungkapnya.
4. Mendorong sinergi banyak pihak

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, pengembang, dan lembaga keuangan. Ia menginstruksikan agar segera dilakukan workshop dan rapat koordinasi untuk menyelesaikan hambatan di lapangan.
“Nanti kita buat workshop, undang bupati, wali kota, Dinas Perakim, Himperra, perbankan, juga pihak terkait seperti PLN dan BPN. Kita sudah mendapat penghargaan dari Menteri Perumahan, jangan sampai kinerja justru terhambat karena perizinan,” tegas Luthfi.
Ia menambahkan, meski kewenangan perizinan berada di kabupaten/kota, koordinasi di tingkat provinsi tetap penting untuk mempercepat solusi.
“Kalau sifatnya koordinasi kan boleh. Nanti kita buat rakor pemerintahan agar ada kepastian,” ujarnya.