Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

IESR: Transisi Energi Bersih jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya milik PLN di Banten. (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • Hashim Djojohadikusumo menyatakan kegagalan JETP karena dana tidak cair setelah AS keluar dari Persetujuan Paris.
  • IESR menegaskan JETP tetap berjalan dengan pendanaan $20 miliar, termasuk hibah, bantuan teknis, investasi ekuitas, dan pembiayaan proyek.
  • Fabby Tumiwa mendesak pemerintah untuk melanjutkan transisi energi, reformasi kebijakan energi, dan mencapai target bauran energi terbarukan minimal 34 persen di 2030.

Semarang, IDN Times – Pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S Djojohadikusumo, dalam ESG Sustainability Forum 2025 mengenai kegagalan Program Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia atau Just Energy Transition Partnership (JETP) memicu respons tajam dari berbagai pihak. Hashim menilai JETP gagal karena dana tidak cair, terutama setelah Amerika Serikat keluar dari Persetujuan Paris.

Ia mengeklaim Presiden Prabowo Subianto tidak memiliki rencana untuk memensiunkan PLTU batu bara pada tahun 2040, dengan alasan hal itu akan menjadi bunuh diri ekonomi dalam negeri.

1. JETP masih tetap berjalan

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. (Dok. IESR)

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, klaim Hashim tidak akurat dan tidak berbasis data. Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, JETP tetap berjalan sesuai rencana dengan pendanaan sebesar $20 miliar yang sudah disepakati, yang mana terdiri dari $10 miliar dari International Partners Group (IPG) dan $10 miliar dari Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ).

Dana tersebut bukan dalam bentuk bantuan langsung tunai, melainkan dalam skema hibah, bantuan teknis, investasi ekuitas, dan pembiayaan proyek.

IESR mencatat, hingga Desember 2024, negara pendonor dalam IPG telah mengucurkan hibah dan bantuan teknis sebesar $230 juta untuk 44 program, sementara $97 juta untuk 11 program lainnya masih menunggu persetujuan.

Selain itu, $1 miliar telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman pada delapan proyek, termasuk pembiayaan proyek PLTP Ijen sebesar $126 juta dari International Development Finance Corporation (DFC) milik pemerintah AS.

"Total pendanaan $5,2--6,1 miliar juga tengah dalam proses persetujuan untuk 19 proyek lainnya, sementara $2 miliar dialokasikan sebagai jaminan proyek dari pemerintah Inggris dan AS. Jaminan ini bertujuan untuk menekan risiko proyek dan menurunkan suku bunga pinjaman, sehingga mempercepat transisi energi di Indonesia," kata Fabby dalam keterangan resminya yang diterima IDN Times, Minggu (2/2/2025).

2. Arah kebijakan dan tantangan Presiden Prabowo

(Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman)

Fabby Tumiwa mendesak pemerintah Indonesia agar tetap berkomitmen pada transisi energi meskipun AS keluar dari Persetujuan Paris (Paris Agreement). Ia menekankan, kesepakatan JETP tidak hanya bergantung pada AS, melainkan melibatkan banyak negara dan lembaga pendanaan internasional yang tetap berkomitmen mendukung transisi energi di Indonesia.

Fabby menyoroti beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo, sebagai berikut.

  • Melanjutkan Satgas Transisi Energi Nasional (TEN) – Struktur kabinet baru harus tetap mendukung koordinasi implementasi transisi energi dan pelaksanaan JETP.
  • Reformasi Kebijakan Energi – Menghilangkan hambatan yang memperlambat pengembangan energi terbarukan, sebagaimana dipetakan dalam Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) 2023.
  • Penyelarasan Target JETP – Mencapai target bauran energi terbarukan minimal 34 persen dan puncak emisi 290 juta ton CO2 di 2030 harus selaras dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan RUPTL PLN.
  • Pensiun Dini PLTU Cirebon I – Persetujuan skema Energy Transition Mechanism (ETM) untuk PLTU Cirebon I harus segera diselesaikan.

3. Transisi energi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi

Petugas saat melakukan pembersihan solar panel di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Tanjung Uma, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

IESR menegaskan, transisi energi merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Presiden Prabowo juga menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, yang membutuhkan pasokan energi besar, terutama dari sumber energi terbarukan.

"Menahan ketergantungan pada energi fosil dan mempertahankan operasional PLTU batu bara justru menjadi "bunuh diri ekonomi" bagi Indonesia," tegas Fabby.

Ia menambahkan, dengan menunda transisi energi akan membuat Indonesia kehilangan peluang menekan biaya energi, mengurangi subsidi, serta meningkatkan daya saing di pasar global. Hal tersebut juga dapat menghambat investasi asing di sektor manufaktur, digital, dan industri pengolahan lanjutan.

4. Potensi penghematan dari penghentian PLTU batu bara

Pixabay (pexels.com/@pixabay/)

Berdasarkan kajian IESR berjudul Financing Indonesia’s Coal Phase-Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero, penghentian dini PLTU batu bara dapat memberikan penghematan besar. Total penghematan dari subsidi listrik dan biaya kesehatan akibat polusi diperkirakan mencapai $34,8 miliar dan $61,3 miliar.

Angka itu jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi kerugian akibat aset mangkrak, biaya penghentian pembangkit, transisi tenaga kerja, dan hilangnya pendapatan negara dari sektor batu bara.

IESR, imbuh Fabby, mendukung komitmen Presiden Prabowo yang disampaikan dalam APEC dan KTT G20 untuk mengakhiri operasional PLTU pada 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan sebelum 2050. Ia justru mendesak pemerintah agar mengimplementasikan kebijakan konkret dalam perencanaan kelistrikan nasional guna memastikan transisi energi berjalan sesuai target.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us