Berkat Cukai, Rezeki Buruh Pabrik Rokok Praoe Lajar Selalu Lancar

- Kementerian Tenaga Kerja mencatat 52.933 pekerja di Indonesia menjadi korban PHK sepanjang Januari hingga September 2024, dengan sektor pengolahan terkena imbas terbanyak.
- Provinsi Jawa Tengah menjadi peringkat teratas dengan jumlah kasus PHK terbanyak, tetapi pabrik rokok Praoe Lajar di Semarang tetap mampu mempertahankan ratusan pekerjanya.
- Pabrik rokok Praoe Lajar menunjukkan kesetiaan para pekerjanya dan kepatuhan pada aturan pemerintah dengan pemasangan pita cukai pada setiap bungkus rokok yang diproduksi.
Semarang, IDN Times - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menerpa para tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2024 ini. Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat sebanyak 52.933 pekerja menjadi korban PHK sepanjang Januari hingga 26 September 2024.
Sejumlah sektor terkena imbas seperti sektor pengolahan sebanyak 24.013 kasus, sektor jasa 12.853 kasus, dan sektor pertanian, kehutanan, perikanan 3.997 kasus. Dari kasus PHK tersebut, Provinsi Jawa Tengah berada di peringkat teratas dengan jumlah kasus terbanyak, yakni 14.767 kasus. Kemudian, disusul Banten sebanyak 9.114 kasus dan DKI Jakarta mencapai 7.469 kasus.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perekonomian negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ada sinyal deindustrialisasi atau penurunan peran industri dalam pertumbuhan ekonomi, sehingga berimbas pada peningkatan jumlah pekerja yang menjadi korban PHK.
1. Pekerja pabrik rokok tidak khawatir kena PHK

Kendati demikian, perasaan khawatir terimbas gelombang PHK tidak tampak dari wajah-wajah pekerja di Pabrik Rokok Praoe Lajar yang berada Jalan Merak No 15, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah. Memasuki sebuah bangunan di Kawasan Kota Lama Semarang itu aroma tembakau dengan rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis semerbak harum di indera penciuman.
Terlihat ratusan pekerja tengah sibuk menekuni pekerjaannya. Raut wajah para pekerja yang mayoritas perempuan itu tampak senang menikmati dan menjalani perannya. Dengan mengenakan kaos seragam berwarna merah bertuliskan Praoe Lajar di punggung dan penutup kepala, ada yang sedang menyiapkan tembakau untuk bahan baku rokok, melinting rokok, menggunting batang rokok yang sudah diisi tembakau hingga mengemas rokok dengan kertas coklat untuk sebelum dipasarkan.
Industri rokok kretek yang didirikan Thio No Moi sejak tahun 1945 di Kota Semarang itu hingga kini masih bertahan dikelola oleh generasi ketiga, Bowo Cipto dan generasi keempat, Aditya Wibowo Setia Budhi. Tidak hanya masih mampu memutar roda usaha, ratusan orang yang bekerja di Praoe Lajar pun juga menunjukkan pengabdian dan kesetiaan pada perusahaan tersebut.
Seperti Suciati, lebih dari separuh hidupnya dihabiskan untuk bekerja di Pabrik Rokok Praoe Lajar. Perempuan berusia 58 tahun itu sudah bekerja selama 30 tahun di sana. Setiap hari ia bertugas untuk menata puluhan bungkus rokok, kemudian dikemas kembali dengan kertas coklat dan direkatkan dengan lem dari tepung kanji. Semua dilakukan masih dengan cara manual di industri kecil menengah tersebut.
Ibu dua anak itu mengaku tidak bosan melakukan pekerjaan yang sama setiap hari selama tiga dasawarsa. Menurut dia, kerja di pabrik rokok ini membuat hidupnya tentram dan tercukupi. Sebab, hasil bekerja sebagai buruh pabrik rokok Praoe Lajar itu ia bisa membantu menambah pemasukan keluarga, sekaligus membesarkan dua putrinya hingga sekarang sudah bekerja dan mandiri.
‘’Enak kerja di sini. Saya bekerja sejak anak-anak masih duduk di bangku TK (taman kanak-kanank, red). Dari bekerja di pabrik rokok Praoe Lajar ini saya bisa menyekolahkan anak-anak saya hingga perguruan tinggi, da sekarang mereka sudah kerja jadi PNS (pegawai negeri sipil, red),’’ tuturnya saat ditemui pada acara Media Gathering Kanwil Bea Cukai Jateng dan DIY, Rabu (9/10/2024).
Setiap hari warga Gemah Barat, Kelurahan Gemah, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang itu berangkat kerja diantar sang suami yang bekerja sebagai sopir angkutan umum. Suci bekerja mulai pukul 07.00–15.00 WIB. Mengemas ratusan bungkus rokok sebelum dipasarkan ke konsumen.
‘’Tugas saya ya sama setiap hari selama 30 tahun, yaitu mengemas rokok-rokok ini. Targetnya kalau 200 bungkus ya dikemas menjadi 50 bal. Aturannya, harus rapi ngemas-nya dan lemnya nggak boleh kebanyakan,’’ katanya.
Selama bekerja di sana, Suci tidak pernah khawatir akan di-PHK oleh perusahaan karena pemilik pabrik selalu memperlakukan para pekerjanya dengan baik. Selain itu, ia percaya perusahaan rokok ini legal dan akan terus bertahan menghidupi para pekerjanya karena menaati semua peraturan dari pemerintah.
2. Pemilik pabrik rokok Praoe Lajar patuh bayar cukai

Kepatuhan pabrik rokok kretek legendaris di Kota Semarang ini diterapkan melalui pemasangan pita cukai pada setiap bungkus rokok yang diproduksi. Bahkan, sang pemilik turut mengkampanyekan anti rokok ilegal yang tidak memasang pita cukai atau menggunakan cukai palsu.
Manajer Operasional Praoe Lajar, Aditya Wibowo Setia Budhi mengatakan, praktek penjualan rokok ilegal itu jelas merugikan produsen yang memproduksi rokok legal. Jika peredaran rokok ilegal semakin marak, maka akan berdampak pada industri rokok yang legal dengan pita cukai.
‘’Pabrik rokok harus sadar dengan usahanya. Mereka harus dibatasi dengan cukai. Kalau sampai marak rokok ilegal, maka ini akan memberatkan negara dan perusahaan rokok legal yang sudah menyumbang penerimaan negara,’’ kata lelaki berusia 24 tahun itu.
Sebagai penerus usaha keluarga, Aditya yang merupakan generasi keempat itu akan menjalankan bisnis rokok kretek Praoe Lajar ini sesuai aturan dan tradisi yang selama ini berlaku. Selain menjaga kualitas produk rokok dengan menggunakan bahan baku tembakau pilihan dari Temanggung dan Madura, ia juga merawat para pekerja yang berjumlah 350 orang itu agar tetap loyal bekerja di pabrik tersebut.
Hal ini karena semua proses mulai penerimaan tembakau hingga pengemasan rokok juga masih manual tanpa mesin. Maka, ia tetap ingin roda bisnis keluarganya itu tetap berputar, meskipun semua dijalankan dengan tenaga manusia. Adapun, setiap hari pabrik rokok Praoe Lajar memproduksi 500 ribu batang. Hasil produksi rokok kretek itu dipasarkan di pinggiran Pekalongan dan Pemalang seharga Rp8.000 per bungkus dengan isi 10-12 rokok kretek.
‘’Anak muda kalau punya usaha pengennya kan bisa besar dan maju, bikin inovasi. Namun, saya sebagai anak muda yang melanjutkan usaha keluarga, cuma pengen ngembangin lagi perusahaan ini. Sebab, pabrik rokok ini ibarat pohon. Kalau akar pohonnya belum kuat ya harus dibetulkan dulu. Nanti kalau akarnya nggak kuat bisa bikin ratusan keluarga tidak bisa makan,’’ katanya.
3. Bea Cukai Jateng dan DIY imbau produsen produksi rokok legal

Sementara, kesadaran produsen rokok memasang pita cukai pada produk mereka seiring dengan upaya Kantor Wilayah Bea Cukai Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang mengkampanyekan penggunaan rokok legal dan menindak penyebaran rokok ilegal.
Kepala Kanwil Bea Cukai Jateng dan DIY, Akhmad Rofiq mengatakan, pihaknya mendapat target penerimaan oleh negara sebesar Rp61,68 triliun di tahun 2024. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan target tahun sebelumnya senilai Rp53 triliun.
‘’Namun, kami optimistis target penerimaan tersebut akan tercapai di tahun ini. Sebab, realisasi sampai dengan September 2024 mencapai Rp40,62 triliun. Adapun, penerimaan terbanyak di Bea Cukai Jateng dan DIY disumbang oleh cukai rokok. Ini karena di wilayah kami banyak pabrik rokok seperti Djarum, Sukun dan lainnya,’’ ungkapnya.
Maka itu, lanjut Rofiq, pihaknya berharap mudah-mudahan tiga bulan ke depan penerimaan yang masuk masih konsisten. Sebab, Jateng merupakan salah satu kanwil yang diandalkan untuk mengumpulkan penerimaan negara khususnya dari cukai.
Selain itu, Bea Cukai Jateng dan DI Yogyakarta terus melakukan pengawasan, sosialisasi dan penindakan terhadap rokok ilegal. Angka penindakan sampai dengan saat ini di angka 87,6 juta batang rokok ilegal.
‘’Itu angka yang cukup besar karena tahun kemarin 90 juta batang rokok per tahun. Adapun, jika dikonversikan, nilai 87,6 juta batang rokok itu mencapai Rp122,29 miliar. Dari penindakan tersebut pendapatan negara yang berhasil diselamatkan sebesar Rp83,62 miliar," katanya.
Sementara, untuk mencegah supaya tidak terjadi peredaran rokok ilegal berkelanjutan Bea Cukai bekerja sama dengan para penegak hukum TNI/Polri untuk melakukan penindakan.
‘’Kami juga menghimbau untuk memproduksi rokok yang legal, karena jika masih memproduksi rokok ilegal itu tidak fair. Sebab, sebagian besar industri membuat rokok secara legal, kalau ada yang ilegal itu tidak fair. Yang legal mau bayar cukai, masak ada yang ilegal tidak bayar cukai. Padahal dengan membayar cukai ini akan menambah penerimaan negara. Jika penerimaan negara tercapai, maka bisa digunakan untuk kegiatan ketatanegaraan dan mensejahterakan masyarakat,’’ tandasnya.