Ckrawala Buana, Tekan DBD di Semarang Lewat Pemetaan Wilayah Risiko

- Dinkes Kota Semarang menggunakan inovasi Ckrawala Buana untuk menekan kasus demam berdarah dengue dengan pemetaan wilayah potensi risiko.
- Meningkatnya suhu dan pola curah hujan yang tak menentu mempercepat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, vektor utama DBD.
- Ckrawala Buana tidak hanya memetakan risiko, tetapi juga memperkuat respons deteksi dini dan intervensi terfokus pada wilayah paling rentan secara kolaboratif.
Semarang, IDN Times - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang memanfaatkan inovasi Ckrawala Buana (Analisis Situasi Kesehatan Masyarakat dengan Sistem Kerentanan Wilayah Kesehatan Berbasis Analitik Data Pelayanan) untuk menekan kasus demam berdarah dengue di Ibu Kota Jawa Tengah. Upaya ini sudah dilakukan sejak tahun 2023 sebagai langkah adaptif berbasis data lewat pemetaan wilayah potensi risiko.
1. Perkuat respons deteksi dini dan intervensi

Kepala Dinkes Kota Semarang, Abdul Hakam mengatakan, perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, tapi juga nyata mengancam kesehatan masyarakat. Meningkatnya suhu, kelembaban ekstrem, serta pola curah hujan yang tak menentu mempercepat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, vektor utama DBD.
“Sebagai wilayah pesisir dengan topografi perbukitan dan dataran rendah, Kota Semarang memiliki potensi tinggi terdampak penyakit berbasis iklim tersebut. Maka, kami sejak tahun 2023, menjalankan langkah adaptif berbasis data layanan melalui inovasi bernama Ckrawala Buana. Inovasi ini lahir dari kebutuhan akan sistem yang mampu merespons cepat dinamika penyakit berbasis iklim,” ungkapnya, Minggu (18/5/2025).
Melalui integrasi data kesehatan dan informasi cuaca, Ckrawala Buana tidak hanya memetakan risiko, tetapi juga memperkuat respons deteksi dini dan intervensi terfokus pada wilayah paling rentan secara kolaboratif.
Hakam mengungkapkan, salah satu kekuatan inovasi Ckrawala Buana terletak pada kemampuannya membaca potensi risiko wilayah.
2. Kasus kematian DBD turun signifikan

"Dengan integrasi data spasial, peta kerentanan wilayah terhadap DBD diperbarui secara periodik sebagai dasar pengambilan keputusan," imbuhnya.
Data terbaru tahun 2025, menunjukkan sejumlah wilayah dengan potensi dampak DBD tinggi, antara lain, Cangkiran, Polaman, Bulustalan, Lamper Kidul, Terboyo Kulon, Karangturi, Kebonagung, Rejomulyo, Brumbungan, Miroto, Kranggan, Purwodinatan, Kauman, Bangunharjo, Kembangsari, Pandansari, Pendrikan Kidul, Cabean, dan Randugarut.
"Pemetaan ini menjadi panduan penting bagi berbagai pihak untuk menyesuaikan intervensi. tidak hanya untuk tim kesehatan, tapi juga masyarakat sebagai garda terdepan dalam pemberantasan sarang nyamuk," terang Hakam.
Inovasi tersebut membuktikan efektivitasnya. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang, angka Incidence Rate (IR) DBD menurun dari 23/100.000 penduduk pada tahun 2023, menjadi 19 di tahun 2024. Kemudian, hanya 4 hingga bulan April 2025. Tak hanya itu, Case Fatality Rate (CFR) juga menunjukkan penurunan signifikan dari 16 kasus kematian di tahun 2023, menjadi 6 kasus di 2024, dan hanya 2 kasus hingga April 2025.
3. Partisipasi aktif warga jadi penentu utama

Penurunan ini menjadi indikasi keberhasilan pendekatan Ckrawala Buana dalam membaca tren penyakit dan menyesuaikan strategi respons sebelum lonjakan kasus terjadi.
Dalam hal ini partisipasi aktif warga menjadi penentu utama keberlanjutan dan dampak dari inovasi ini. Kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar dapat memutus rantai penularan bahkan sebelum penyakit menyebar.
“Perubahan iklim menuntut kita bergerak lebih adaptif. Ckrawala Buana adalah bukti bahwa dengan inovasi dan kolaborasi, kita bisa menjaga masyarakat tetap sehat meski tantangan iklim semakin nyata,” pungkas Hakam.
Melalui strategi ini, Kota Semarang memperkuat posisinya sebagai kota tangguh dalam menghadapi tantangan iklim. Keberhasilan ini, menjadi contoh bahwa sinergi, data, dan aksi nyata masyarakat bisa menjadi kunci menghadapi risiko kesehatan masa depan.