IESR: SNDC Indonesia Tidak Selaras dengan Ambisi Presiden Prabowo

- SNDC Indonesia tidak mencerminkan ambisi Presiden Prabowo untuk energi terbarukan 100 persen dalam 10 tahun.
- SNDC menggunakan format baru tanpa BAU, namun emisi justru meningkat hingga 2030.
- IESR menilai SNDC masih tinggi karbon, tergantung pada penyerapan FOLU, dan tidak sejalan dengan visi energi bersih Presiden Prabowo.
Semarang, IDN Times - Indonesia resmi menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30), Senin (27/10/2025). Meski demikian, dokumen tersebut menuai sorotan dari sejumlah pihak karena dinilai belum mencerminkan ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
1. SNDC hanya berubah format

Berbeda dengan NDC sebelumnya, SNDC yang terbaru tidak lagi menggunakan acuan business as usual (BAU) dalam menghitung penurunan emisi, melainkan menggunakan jumlah absolut emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2035 dengan referensi tahun 2019.
Dokumen tersebut memuat tiga skenario perhitungan emisi, yakni Current Policy Scenario (CPOS) tanpa syarat, serta dua skenario bersyarat (conditional) dengan pertumbuhan ekonomi berbeda: LCCP-Low (6,7 persen) dan LCCP-High (8 persen).
Namun, analisis menunjukkan, dalam dua skenario bersyarat, total emisi Indonesia justru meningkat hingga 2030 dibandingkan tahun 2019.
Pada skenario pertumbuhan tinggi (LCCP-H), misalnya, emisi netto (setelah penyerapan sektor kehutanan dan lahan/FOLU) diperkirakan mencapai 1.489 juta ton CO₂e pada 2035, dan bisa mencapai 1.696 juta ton CO₂e tanpa memperhitungkan penyerapan FOLU.
2. Bukan cerminan aksi nyata penurunan emisi

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, SNDC Indonesia masih tinggi karbon dan minim terobosan mitigasi. Menurut lembaga tersebut, puncak emisi yang ditargetkan baru akan terjadi pada 2035—lima tahun lebih lambat dari proyeksi sebelumnya--dan baru menurun tajam setelah 2060.
“Artinya, upaya nyata penurunan emisi baru akan dimulai setelah 2035, bukan dalam dekade ini,” kata Chief Executive Officer IESR, Fabby Tumiwa dalam keterangan resminya, Rabu (29/10/2025).
IESR, lanjutnya, juga menyoroti ketergantungan besar pada penyerapan karbon dari sektor FOLU, yang justru menggantikan peran sektor energi sebagai pilar utama mitigasi. Padahal, berdasarkan Climate Action Tracker (CAT), agar sejalan dengan target Persetujuan Paris dan menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5°C, emisi di Indonesia seharusnya tidak lebih dari 720 juta ton CO₂e pada 2035 (di luar sektor FOLU).
Sebaliknya, angka dalam SNDC masih lebih tinggi dari target emisi pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025--2045, yang ditetapkan sebesar 760 juta ton CO₂e (termasuk sektor FOLU).
“Dokumen SNDC seharusnya mencerminkan tingkat ambisi tertinggi sesuai Pasal 4 Persetujuan Paris, bukan sekadar menyesuaikan proyeksi ekonomi,” aku Fabby.

Dalam skenario conditional (pertumbuhan ekonomi 8 persen), sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar dengan total 1.336 juta ton CO₂e pada 2035, meningkat 103 persen dari 2019. Mitigasi di sektor itu disebut akan dilakukan melalui peningkatan bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada 2030 dan 40 persen pada 2040, efisiensi listrik, dan adopsi kendaraan listrik.
Namun, target puncak emisi sektor energi justru mundur ke tahun 2038, dari perkiraan sebelumnya pada 2035.
Menurut Fabby, penundaan itu menandakan jika SNDC lebih fokus pada pembaruan metode perhitungan emisi, bukan percepatan aksi mitigasi.
“SNDC masih mengandalkan pola lama—menggantungkan penyerapan karbon dari sektor kehutanan, bukan mengurangi sumber emisi utama di energi,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Fabby menegaskan, penundaan puncak emisi dapat dihindari jika pemerintah berani bertransisi energi secara cepat dan konsisten dengan visi Presiden Prabowo.
“Dengan potensi 3.800 GW energi terbarukan dan biaya investasi PLTS, PLTB, serta baterai yang terus menurun, seharusnya Indonesia bisa mempercepat pemanfaatannya. PLTS dan Battery Energy Storage System (BESS) kini lebih murah daripada PLTD, PLTG, dan PLTU. Mempertahankan PLTU tua justru membuat Indonesia kehilangan peluang mendapat listrik murah dan rendah karbon” ucapnya.
4. Tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo

Fabby juga menganggap model ekonomi dalam SNDC tidak sejalan dengan prinsip pembangunan rendah karbon. Menurutnya, transisi energi membutuhkan investasi sekitar USD 40–50 miliar per tahun, dan jika dilakukan dengan serius, justru akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Pendekatan ekonomi dalam model SNDC melihat aksi iklim ambisius sebagai penghambat pertumbuhan. Padahal, hasil Low Carbon Development Indonesia (LCDI) Bappenas justru menunjukkan sebaliknya--bahwa aksi iklim kuat menjadi prasyarat pertumbuhan ekonomi tinggi,” urai Fabby.
Selain dinilai minim ambisi, SNDC 2025 juga disebut tidak mencerminkan visi energi bersih Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun serta pembangunan 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di desa-desa. Program tersebut, menurut IESR, bisa menjadi kontributor utama penurunan emisi di sektor energi, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
“Dengan energi terbarukan yang makin kompetitif, sudah seharusnya Indonesia mengarahkan strategi iklim ke jalur yang benar-benar rendah karbon, bukan sekadar mempercantik angka,” pungkas Fabby.

















