JKN Menjawab Cemas, TBC Tidak Lagi Memeras Ketenangan

- TBC masih menjadi momok serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia dengan jumlah kasus baru mencapai 1.060.000-1.090.000 per tahun.
- Program Penemuan Kasus Aktif (ACF) membantu menemukan penderita TBC yang belum terdiagnosis, menjalani skrining, dan memulai pengobatan standar selama enam bulan.
- Keterbatasan cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyebabkan program ACF penting dalam mendeteksi kasus TBC lebih dini dan membantu menekan beban pembiayaan kesehatan.
Tuberkulosis (TBC) masih menjadi momok serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Global TB Report 2023 yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan terdapat antara 1.060.000--1.090.000 kasus baru TBC di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, angka kematiannya mencapai 125 ribu hingga 134 ribu jiwa per tahun.
Temuan tersebut juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan beban (jumlah penderita baru, tingkat penyebaran, dan kematian) TBC terbesar kedua di dunia, setelah India. Kondisi itu menjadi sinyal keras bagi pemerintah untuk terus menguatkan langkah penanggulangan TBC secara sistematis dan menyeluruh.
Salah satu upaya menunjukkan hasil signifikan adalah strategi Penemuan Kasus Aktif atau Active Case Finding (ACF). Melalui program tersebut, tenaga kesehatan (nakes) tidak lagi menunggu pasien datang ke fasilitas kesehatan. Sebaliknya, mereka secara proaktif menyasar kelompok masyarakat yang berisiko tinggi, seperti kontak erat atau yang serumah dengan pasien TBC, untuk menjalani skrining.
Berbeda dengan pendekatan pasif, di mana pasien datang berobat karena merasakan gejala, ACF justru berfokus pada deteksi dini di tengah-tengah masyarakat. Langkah itu efektif menemukan penderita TBC yang belum terdiagnosis dan berpotensi menularkan penyakit tanpa disadari.
“Dengan menjemput bola, kami berharap dapat menemukan pasien TBC yang selama ini tersembunyi. Jika mereka segera diobati, risiko penularan ke orang lain dapat ditekan seminimal mungkin,” kata Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Dinas Kesehatan Kota Semarang, Anggun Dessita Wandastuti kepada IDN Times, Kamis (22/5/2025).
Sejak Maret 2025, Anggun bersama tim sudah melaksanakan 30 kali kegiatan skrining ACF gratis yang tersebar di 16 kecamatan di Kota Semarang. Hingga pertengahan Mei 2025, sudah sebanyak 2.700 orang yang menjalani proses skrining. Dari kegiatan itu, sekitar satu persen atau 27 individu dinyatakan positif TBC.
Seluruh pasien yang terdiagnosis langsung dirujuk untuk memulai pengobatan standar selama enam bulan, yang akan diawasi secara ketat oleh puskesmas setempat.
“Pengawasan ini penting agar pasien patuh mengonsumsi obat hingga tuntas. Banyak yang berhenti minum obat karena merasa sembuh, padahal itu bisa menimbulkan resistensi obat dan memperumit pengobatan di kemudian hari,” ujar Anggun.
Menjaga Warga, Menjaga Dana

Di balik keberhasilan program ACF, masih terdapat tantangan besar, terutama soal keterbatasan cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurut Anggun, JKN hanya menanggung biaya pemeriksaan bagi pasien yang sudah menunjukkan gejala atau yang sudah terkonfirmasi TBC. Sementara kelompok kontak erat tanpa gejala belum mendapatkan akses pemeriksaan rontgen melalui skema JKN.
“Itulah sebabnya kami mengusulkan adanya program ACF untuk deteksi TBC gratis. Karena kontak erat yang belum bergejala tidak bisa mendapatkan layanan X-ray lewat JKN,” ungkapnya.
Program ACF tidak semata berfokus pada penemuan kasus. Upaya pencegahan ikut menjadi pilar penting dari program tersebut, karena selain menyelamatkan nyawa, juga mendukung keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan nasional.
Anggun menjelaskan, warga dengan hasil X-ray-nya negatif atau yang tidak menunjukkan gejala, namun memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TBC, akan direkomendasikan untuk menjalani terapi pencegahan TBC. Terapi tersebut bertujuan untuk melindungi individu yang berisiko tinggi sebelum mereka benar-benar jatuh sakit sehingga mencegah aktivasi infeksi TBC laten—atau yang bersifat dorman—yang sewaktu-waktu dapat aktif jika daya tahan tubuh menurun.
“Infeksi TBC tidak selalu langsung menimbulkan gejala. Bisa saja diam dalam tubuh dan aktif di kemudian hari. Dengan terapi pencegahan, diharapkan kuman TBC dapat dimatikan sebelum berkembang menjadi penyakit aktif,” urainya.
Kebermanfaatan program ACF dalam penanggulangan TBC juga berdampak terhadap ekonomi. Dengan mendeteksi kasus TBC lebih dini, sebelum gejala memburuk atau komplikasi berkembang, program ACF secara nyata membantu menekan beban pembiayaan kesehatan, khususnya klaim besar BPJS Kesehatan.
"Pasien yang didiagnosis TBC lebih awal umumnya masih dalam kondisi stabil (tubuhnya). Biaya pengobatannya pun relatif rendah dibandingkan pasien yang baru diketahui mengidap TBC pada tahap lanjut," ungkap Anggun.
Sebaliknya, pasien yang datang ke Puskesmas dalam kondisi parah biasanya memerlukan perawatan yang lebih intensif. Mulai dari rawat inap, konsumsi obat-obatan tambahan karena komplikasi, hingga pemantauan lanjutan yang kompleks. Semua hal tersebut berdampak pada meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Dengan menurunnya klaim besar dari pasien TBC stadium lanjut, kesehatan finansial BPJS Kesehatan ikut terjaga. Hal itu penting agar program JKN tetap berkelanjutan dan mampu untuk terus menanggung pengobatan masyarakat tanpa memaksa warga membayar biaya sendiri (out-of-pocket). Artinya, masyarakat dapat terlindungi dari risiko pengeluaran besar yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi keluarga, bahkan mendorong mereka ke jurang kemiskinan.
Anggun menegaskan, investasi dalam pencegahan penyakit melalui deteksi dini merupakan langkah strategis yang tidak saja menekan beban pembiayaan negara, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara luas.
“Warga yang sehat, tidak terbebani biaya besar, tentu bisa lebih produktif baik di tempat kerja, sekolah, beraktivitas maupun saat kegiatan di lingkungan sosial,” ujarnya.
Dampak domino tersebut menjadikan program ACF sebagai salah satu model pencegahan yang tidak sekadar menyelamatkan individu, namun memperkuat ketahanan sistem kesehatan nasional dan daya tahan ekonomi masyarakat.
IDN Times mencoba melakukan perhitungan atas kondisi tersebut dalam data visualisasi berikut ini.
Meski skema JKN saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi layanan skrining untuk kelompok tanpa gejala, BPJS Kesehatan telah memberikan dukungan signifikan untuk pembiayaan terapi bagi pasien TBC yang sudah terdiagnosis.
Komitmen tersebut dirasakan langsung oleh Jocelin Putra (35), warga Kelurahan Gunung Pati, Kota Semarang. Ayah dua anak itu mulai merasa cemas saat mengalami keluhan sesak napas di dada. Ketidaknyamanan itu membuatnya penasaran, hingga akhirnya memutuskan mengikuti program ACF di kantor Kelurahan Gunungpati Semarang, Kamis (22/5/2025).
“Saya ikut skrining karena sempat merasa sesak di dada. Pemeriksaannya cepat, hasilnya langsung keluar dari alat X-ray. Jadi bisa langsung tahu ada (indikasi) TBC atau tidak. Pelayanannya gratis, dan daftarnya mudah, cukup pakai KTP,” ujar Jocelin dengan nada lega.
Rupanya rasa lega itu belum sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran Jocelin. Ia masih dibayangi pertanyaan besar, yakni bagaimana jika ia atau anaknya terdiagnosis TBC? Apakah biaya pengobatan selama berbulan-bulan bisa ditanggung pula?
Kekhawatiran tersebut makin kuat saat putri bungsunya, Celine Edelwis, juga diharuskan menjalani tes Mantoux—pemeriksaan awal untuk mendeteksi infeksi TBC laten. Setelah penyuntikan, Jocelin dan Celine diminta ke Puskesmas Gunungpati pada Sabtu (24/5/2025) untuk melihat apakah muncul benjolan (indurasi) sebagai indikator adanya infeksi TBC.
Jocelin mengerti jika pengobatan TBC bukanlah proses yang singkat. Rata-rata terapi berlangsung minimal enam bulan dan bisa lebih. Selama kurun waktu itu pula pasien harus disiplin mengonsumsi obat secara rutin. Ia pun membayangkan beban biaya yang mungkin harus ditanggung.
Kegelisahan itu akhirnya sirna setelah mendapat penjelasan dari petugas puskesmas. Seluruh pengobatan—mulai dari pemeriksaan lanjutan hingga penyediaan obat—ditanggung sepenuhnya oleh JKN melalui BPJS Kesehatan.
“Saya sempat bingung dan kepikiran terus karena pengobatannya (TBC) ini kan lama, ya. Pastinya mahal. Tapi tadi sudah dikasih tahu sama petugas kalau semuanya ditanggung BPJS Kesehatan. Ya, Alhamdulillah, saya jadi tenang,” katanya.