Kawal RUU KUHAP, BEM Nusantara Ungkap Potensi Konflik Penegakan Hukum

Semarang, IDN Times - Ratusan aktivis, pemuda, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara terus mengawal Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU) KUHAP. Mereka menggelar dialog publik untuk mengungkap tantangan dan potensi konflik kewenangan dalam penegakan hukum di Indonesia.
1. Anak muda harus melek hukum

Pada dialog publik yang mengusung tema “Konflik dan Carut Marut Penegakan Hukum dalam RUU KUHAP : Kolaboratif atau Kekuasaan Absolut” yang digelar di Demak, Jumat (21/3/2025) itu, mereka mengajak generasi muda untuk mengawal regulasi tersebut.
Ketua Daerah Aktivis Muda Berperan Demak, Elha Nuzulil Hikam mengatakan, anak muda terutama mahasiswa sudah seharusnya menjadi generasi yang melek dan peduli terhadap berbagai isu dan fenomena termasuk hukum.
“Maka itu, mengawal RUU KUHAP ini sesuatu yang penting demi keberlangsungan sistem hukum di Indonesia,” ungkapnya.
2. Berpotensi konflik antara kepolisian dan kejaksaan

Hal itu juga disepakati oleh Ketua Umum Aktivis Muda Berperan sekaligus Koordinator BEM Nusantara Jawa Tengah, Shofiyul Amin. Ia mengatakan, fungsi penting hukum dalam masyarakat antara lain menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, menjamin keadilan, dan sebagai penyelesaian konflik.
“Namun, menyinggung beberapa hal dalam rancangan RUU KUHAP, misalnya Asas Dominus Litis yang memberikan kewenangan kepada jaksa dalam menentukan perkara. Hal ini bisa berpotensi menimbulkan konflik antara kepolisian dan kejaksaan,” katanya.
Selain itu, Shofiyul juga mengambil salah satu isi RUU KUHAP pada Pasal 12 Ayat 11 yang membuka kemungkinan kerusakan tatanan sistem peradilan pidana.
“Jika pelapor bisa melapor ke kejaksaan, mekanisme dan prosedur pelaporan tindak pidana berpotensi menjadi tidak jelas, dan menimbulkan tumpang tindih tugas antara kepolisian dan kejaksaan,” katanya.
3. Polemik RUU KUHAP

Sementara, Analis hukum dan akademisi, Ferhadz Ammar menyampaikan, ada beberapa polemik yang terdapat dalam RUU KUHAP.
“Misalnya, pada Pasal 111 Ayat 2 RUU KUHAP, memberikan kepada jaksa wewenang untuk mempertanyakan legalitas penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian. Ini bertentangan dengan KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
“Mekanisme tersebut sudah ada pasti terganggu, karena otoritas jaksa untuk menentukan apakah penangkapan dan penahanan tersebut sah atau tidak terlalu besar. Ini dapat menyebabkan ketidaksepakatan normatif dan ketidakpastian hukum. Sehingga, ada tiga hal yang disorot dalam RUU KUHAP di antaranya ancaman terhadap prinsip diferensiasi fungsional atau asas dominus litis, kemandirian penyidik, dan permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM),” tandasnya.
Ferhadz menambahkan, mengingat Integrated Criminal Justice System (ICJS) konteksnya adalah Pancasakti, maka komponen penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat seharusnya berjalan proporsional dan sebagaimana mestinya supaya tidak terjadi tumpang tindih.