PFI dan AJI Kecam Ajudan Kapolri yang Aniaya Jurnalis Foto di Semarang

- Insiden kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi, kali ini dilakukan oleh ajudan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, Semarang.
- Ajudan tersebut mendorong dan memukul jurnalis, termasuk Makna Zaezar dari ANTARA, serta mengancam untuk memukul satu per satu pewarta yang hadir.
- Kecaman dari komunitas jurnalis di Semarang disampaikan oleh Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyebut insiden tersebut sebagai bentuk kekerasan serius terhadap kebebasan pers.
Semarang, IDN Times - Insiden kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini, tindakan tak terpuji tersebut dilakukan oleh seorang ajudan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saat melakukan kunjungan di Stasiun Tawang, Kota Semarang, Sabtu (5/4/2023) petang.
1. Pewarta foto ANTARA jadi korban pemukulan

Dalam agenda peninjauan arus balik Lebaran 2025 tersebut, para jurnalis dari berbagai media tengah menjalankan tugas peliputan seperti biasa. Suasana berubah tegang ketika seorang ajudan Kapolri mendorong para pewarta dengan kasar dan bahkan melayangkan pukulan ke salah satu jurnalis.
Korban pemukulan diketahui bernama Makna Zaezar, pewarta foto dari kantor berita ANTARA.
“Saat itu saya sudah menghindar dan menjauh ke area peron. Tapi ajudan tersebut justru menghampiri dan memukul kepala saya,” katanya Makna, Minggu (6/4/2025).
Tak hanya itu, ajudan tersebut juga mengeluarkan ancaman terhadap jurnalis lain yang hadir di lokasi, “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.” Bahkan, beberapa pewarta lain juga mengaku mendapat perlakuan fisik berupa dorongan keras hingga cekikan.
2. Tindakan yang melanggar UU Pers

Peristiwa tersebut memicu kecaman dari komunitas jurnalis di Semarang. Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang dalam pernyataan resminya menyebut insiden tersebut sebagai bentuk kekerasan serius terhadap kebebasan pers.
“Tindakan tersebut jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun,” ujar Ketua PFI Semarang, Dhana Kencana.
Sementara itu, Ketua Divisi Advokasi AJI Semarang, Daffy Yusuf menambahkan, serangan terhadap jurnalis, apalagi oleh aparat negara, merupakan ancaman langsung terhadap demokrasi dan hak publik untuk mendapatkan informasi.
“Tugas kami (jurnalis) dilindungi undang-undang. Jika ada kekerasan terhadap jurnalis, itu sama saja dengan kekerasan terhadap hak publik,” ucap Daffy.
3. Kekerasan tidak bisa dinormalisasi

Sebagai respons atas insiden kekerasan terhadap jurnalis di Semarang, PFI Semarang dan AJI Semarang menyampaikan lima poin tuntutan kepada institusi Polri. Mereka mengecam keras tindakan kasar yang dilakukan ajudan Kapolri terhadap jurnalis yang tengah bertugas, sekaligus menolak segala bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik yang sah dan dilindungi undang-undang. Organisasi jurnalis tersebut juga mendesak agar pelaku kekerasan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan komunitas pers sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Lebih jauh, PFI dan AJI meminta Polri untuk menjatuhkan sanksi tegas terhadap ajudan yang terlibat dan segera melakukan evaluasi internal menyeluruh. Langkah itu penting agar kejadian serupa tidak kembali terulang di kemudian hari.
Mereka juga menyerukan kepada seluruh media, organisasi profesi, serta masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal proses penyelesaian kasus itu hingga tuntas, sebagai bentuk solidaritas demi menjaga kebebasan pers di Indonesia.
PFI dan AJI menegaskan tindakan kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak boleh dinormalisasi. Ruang kerja jurnalis harus aman dari ancaman dan intimidasi, terlebih saat meliput kegiatan pejabat publik.
“Jurnalis tidak boleh dihalangi, apalagi diserang secara fisik saat bertugas di lapangan. Ini bukan hanya masalah personal, tapi menyangkut kebebasan pers yang dijamin konstitusi,” imbuh Dhana.
PFI Semarang dan AJI Semarang kini tengah menyusun langkah advokasi lebih lanjut, termasuk kemungkinan pelaporan secara hukum atas tindakan yang dilakukan ajudan Kapolri tersebut.