- Persetujuan Orangtua yang mana wajib dilakukan sebelum anak berusia 18 tahun.
- Penilaian Dampak Perlindungan Data Pribadi (DPIA) untuk memperhitungkan risiko yang dialami anak sebelum produk atau fitur dipasarkan.
- Konfigurasi Privasi Tinggi by Default di mana anak harus aman, baik di platform khusus anak maupun platform umum.
- Edukasi kepada pengguna, orangtua, wali, dan masyarakat luas.
PP Tunas: Tameng yang Gagah saat Dunia Maya Tidak Lagi Ramah untuk Anak

- Fenomena konvergensi teknologi mengubah interaksi sosial anak-anak di ruang digital, meningkatkan risiko seperti grooming, cyberbullying, dan konten negatif.
- Penggunaan telepon seluler dan internet oleh anak-anak di bawah usia satu tahun mencapai 5,88% dan 4,33%, sementara rata-rata anak Indonesia menggunakan internet selama 5,4 jam sehari.
- PP Tunas diterbitkan sebagai payung hukum perlindungan anak di ruang digital dengan mewajibkan persetujuan orangtua, penilaian dampak perlindungan data pribadi, konfigurasi privasi tinggi by default, dan edukasi kepada pengguna.
Fenomena konvergensi teknologi telah mengubah wajah interaksi sosial bagi semua kalangan, tidak terkecuali anak-anak. Ruang digital yang awalnya menawarkan peluang tidak terbatas untuk belajar dan berekspresi, kini bertransformasi menjadi area berisiko tinggi yang mengintai tumbuh kembang mereka.
Pasalnya, saat ini interaksi di ruang siber telah mencapai keadaan di mana anak-anak tumbuh dalam ekosistem digital yang kian menyatu atau dalam situasi hiperkoneksi. Mereka dapat terhubung dengan berbagai gawai, mulai dari telepon seluler, tablet, hingga televisi yang tersambung internet. Hal itu memfasilitasi terjadinya transfer nilai dan budaya antarnegara.
Kondisi diperburuk oleh kemajuan teknologi seperti 5G, kecerdasan buatan (AI), dan analisis big data, yang memungkinkan penyelenggara platform digital dapat membuat profil penggunanya (profiling) secara lebih mendalam, termasuk anak-anak.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menguatkan situasi tersebut. Lembaga statistik negara itu mencatat, penggunaan telepon seluler dan internet sudah merambah anak di bawah usia satu tahun, dengan persentase penggunaan seluler mencapai 5,88 persen dan penggunaan internet sebesar 4,33 persen.
Sementara itu, penelitian Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) tahun 2023 yang dilakukan Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menemukan, rata-rata anak Indonesia menggunakan internet selama 5,4 jam sehari.

Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Dita Andriasari menyebutkan, aktivitas anak-anak di dunia maya didominasi oleh interaksi sosial dan hiburan, yang mana 86 persen anak mengobrol dengan teman secara daring, 85 persen menonton film dan video secara daring, dan 74 persen mendengarkan musik atau bermain gim daring.
"Internet seperti teman bermain untuk anak saat ini. Sayangnya, tidak sedikit orangtua yang memilih memberikan gawai agar anak tenang atau tidak tantrum, padahal tindakan itu dapat menjadi ancaman tersendiri bagi anak," katanya saat seminar daring (webinar) bertemakan Memahami Aturan Terbaru Perlindungan Anak di Ruang Digital yang diadakan UNICEF Indonesia, Rabu (4/6/2025).
Dalam ruang digital yang tidak terbatas itu, anak-anak dihadapkan pada segudang risiko. Dita merinci beragam ancaman yang mengintai mereka, mulai dari grooming (bujuk rayu bernuansa seksualitas), sextortion (pemerasan seksualitas), cyberbullying (perundungan siber), hingga isu privasi dan maraknya materi (konten) kekerasan seksual anak atau Child Sexual Abuse Material (CSAM)—termasuk live streaming seksual. Bahkan, ia menyebut perjudian daring (judol) kini sudah merambah sampai atau bisa terakses oleh anak.
"Makin meningkatnya penggunaan platform digital dan penetrasi internet yang kian tinggi, baik di media sosial atau di percakapan atau di gim, itu secara tidak langsung mendorong tumbuhnya ancaman-ancaman yang tidak disadari dan menjadi potensi bisnis besar para sindikat kejahatan seksual," ujarnya.
Hal itu relevan mengingat sejumlah kasus yang terungkap di publik menunjukkan betapa mendesaknya solusi untuk masalah tersebut. Contohnya kasus grup Facebook "fantasi sedarah" dengan jumlah anggota sebanyak 32 ribu akun. Kemudian, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok lowongan pekerjaan asisten rumah tangga (ART) yang berujung pada eksploitasi seksual, perdagangan bayi melalui TikTok di Riau, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur oleh Kapolres Ngada, hingga tawaran menggiurkan gim ketangkasan yang berujung pada perjudian daring.
Di balik konten negatif dan pelaku kejahatan (predator) tersebut, bahaya juga datang dari cara kerja teknologi itu sendiri. Dita menguraikan, algoritma media sosial dan platform video bisa berbahaya bagi anak-anak, yang otaknya masih terus berkembang dan belum bisa memilah antara konten yang baik dan buruk--yang terverifikasi atau tidak--sehingga rentan terjerumus bahkan menjadi korban.
"Ketika seorang anak atau remaja tertarik pada satu konten--yang awalnya hanya sebatas rasa ingin tahu--algoritma akan terus menyajikan konten serupa, dan itu membuat mereka makin tenggelam dengan rasa penasaran atau keingintahuan yang tinggi," aku Dita.
Akibatnya, anak menjadi terlalu banyak menghabiskan waktu (time-consuming) dalam mengakses konten digital, seperti menggulir (scrolling) tanpa batas dan menonton video pendek secara terus menerus. Hal tersebut berefek negatif pada perkembangan kognitif dan sosial mereka. Lebih jauh, anak-anak menjadi kesulitan untuk memusatkan perhatian atau kehilangan fokus, serta terjadi penurunan kemampuan sosial dan komunikasi mereka.
Payung Hukum untuk Perlindungan Anak
Pemerintah merespons tantangan tersebut dengan penguatan regulasi, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) yang diinisiasi oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid. Beleid yang berlaku mulai tanggal 1 April 2025 itu menjadi payung hukum sekaligus wujud komitmen negara untuk melindungi anak di ruang digital.
Regulasi tersebut melengkapi perangkat hukum yang sudah ada. Seperti Konvensi Hak Anak (KHA) yang sudah diratifikasi Indonesia sejak 1990, Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (perubahan kedua tahun 2024), UU Pornografi, dan UU Tindak Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Ketua Tim Hukum dan Kerja Sama Sekretariat Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Josua Sitompul menyatakan, regulasi tersebut merupakan amanat dari Pasal 16A dan 16B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Untuk diketahui, PP Tunas mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk melakukan:
Selain kewajiban tersebut, PP Tunas secara tegas melarang profiling untuk iklan anak dan melarang Teknik Nudging, yaitu dorongan atau fitur yang memaksa anak keluar dari tingkat privasinya yang aman.
"Semua kewajiban dan larangan di PP Tunas dibangun berdasarkan dua fondasi utama: pertama, mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Kedua, dalam menjalankan kewajiban dan menghindari larangan-larangan yang diatur dalam PP Tunas, PSE atau penyelenggara sistem elektronik harus memprioritaskan pemenuhan hak dan perlindungan anak dibandingkan kepentingan komersial,” ujar Josua.

Platform digital menyadari perlindungan anak di ruang digital merupakan prioritas utama dan menjadi salah satu fondasi utama dalam pengembangan produk mereka. Head Government Affairs and Public Policy YouTube Asia Tenggara, Danny Ardianto, mengatakan, tantangan utamanya adalah mencari keseimbangan antara membuka peluang (untuk belajar, sarana hiburan) dan memberikan keamanan.
"Perlindungan anak khususnya di ruang digital itu adalah prioritas dan bisa dibilang salah satu fondasi utama Google untuk mengembangkan produk. Yang sulit itu sebenarnya bukan apakah kita mau meninggalkan sama sekali atau tidak melakukan apa pun terkait keamanan anak, tapi adalah mencari balance-nya," ungkapnya.
YouTube, lanjutnya, sebagai video sharing platform yang didominasi user-generated content (UGC)—di mana lebih dari 500 jam video diunggah setiap menit—memiliki kebijakan ketat, termasuk larangan konten pornografi, kekerasan, cyberbullying, penipuan, dan misinformasi.

Danny mengatakan, untuk mengatasi tantangan tersebut, Google dan YouTube telah mengembangkan dua model perlindungan utama berdasarkan evolusi kedewasaan anak yang tidak terjadi tiba-tiba pada usia 18 tahun, yakni:
- YouTube Kids (Usia <13 Tahun): Aplikasi terpisah yang tidak memerlukan akun anak dan ditujukan untuk usia 13 tahun ke bawah. Pengaturan dan kontrol sepenuhnya berada di akun orangtua (adult).
- Supervised Experience (Usia 13+ Tahun): Pengalaman di aplikasi utama YouTube yang diawasi (disupervisi). Opsi ini diaktifkan dengan menghubungkan akun anak dan akun orangtua melalui aplikasi gratis Google Family Link.
"Melalui Supervised Experience di Family Link, orangtua dapat mengatur batasan konten, saluran (channel) yang bisa ditonton anak-anak, dan bahkan mengatur pengingat waktu dan istirahat (time or break reminders). Fitur ini memungkinkan orangtua untuk menyetel hidup dan mati seluruh fungsi handphone anak sesuai jam yang diatur, tidak hanya mematikan aplikasi YouTube," akunya.
Danny menambahkan, untuk anak remaja (13--17 tahun), YouTube menyesuaikan rekomendasi untuk tidak menampilkan konten berbahaya seperti body shaming, perbandingan citra tubuh (body image comparison), atau saran-saran finansial yang mungkin menyesatkan. Termasuk juga menyeimbangkan larangan profiling iklan untuk anak dengan kebutuhan personalisasi konten yang bermanfaat.

Mengenai isu profiling yang diatur dalam PP Tunas, Danny menjelaskan, pihaknya sebagai platform setuju untuk tidak melakukan profiling iklan terhadap anak. Namun, ia menjelaskan, teknologinya menggunakan mekanisme machine learning atau algoritma untuk menampilkan konten yang sesuai dan bermanfaat (personalisasi).
"Personalisasi di situ gak perlu tahu siapa nama anak itu, berapa usianya, tapi ada certain degree of signal dari behavior. Kalau misalkan saya suka nonton konten bikin cupcake, maka akan direkomendasikan oh mungkin suka konten-konten masak, agar ruang digital tetap relevan dan bermanfaat, termasuk bagi anak dan remaja," jelas Danny.
Ia memperingatkan, jika personalisasi tidak berlaku sama sekali, ruang digital akan menjadi kurang bermanfaat karena konten yang ditampilkan tidak relevan dengan minat pengguna.
Tantangan Implementasi dan Peran Keluarga

Inovasi platform dan payung regulasi pemerintah tidak akan berjalan optimal tanpa peran aktif keluarga.
Ashfiyah (35), seorang ibu di Demak dengan anak perempuan berusia 7 tahun, membagikan pengalamannya. Ia bersyukur platform digital yang tersedia saat ini sudah menyediakan layanan khusus anak atau versi kids. Seperti di YouTube, Netflix, atau aplikasi Vidio. Namun, ia tetap menerapkan batasan tersendiri bagi anak semata wayangnya itu.
"Saya itu kasih waktu anak untuk nonton televisi seminggu sekali. Saya juga membatasi ketat anak untuk mengakses media sosial karena kalau sudah pegang handphone, anak akan tidak terkontrol," katanya saat ditemui IDN Times, Senin (13/10/2025).
Sikap proaktif Ashfiyah itu menyoroti sebuah tantangan yang lebih besar, yaitu minimnya peran keluarga. Data penelitian OCSEA menunjukkan, orangtua seringkali kurang cakap dalam menggunakan internet dibandingkan anak, sehingga pendampingan digital menjadi kurang jelas dan kurang tegas. Padahal, anak pertama-tama belajar dari rumah, sehingga pengawasan dan pendampingan orangtua adalah yang paling utama.
Mitra Muda UNICEF Indonesia, Tazkia Aulia Al-Djufri mengidentifikasi tiga tantangan utama yang masih menghadang PP Tunas. Pertama, soal kesenjangan digital (digital divide). Menurutnya, ketidakberuntungan sosioekonomik dan kemiskinan struktural menyebabkan pengguna tidak memiliki literasi media dan informasi yang baik.
"Tantangan kedua adalah rendahnya kesadaran orangtua atau wali anak. Tidak semua orangtua sadar bahwa konten yang dikonsumsi anaknya ternyata berbahaya. Dan tantangan ketiga menyangkut yurisdiksi, karena kejahatan siber di ruang digital tidak mengenal batas geografi," ungkapnya.
Psikolog anak, Amanda Putri menilai kemunculan PP Tunas sebagai langkah awal yang sangat baik karena menunjukkan negara hadir untuk melindungi anak di ranah digital. Meski demikian, ia menekankan pentingnya dukungan semua pihak sehingga regulasi tersebut bisa terimplementasikan secara optimal.
"Perlu dipastikan bagaimana anak yang mengakses media sosial tidak memanipulasi (mark-up) usianya, atau bagaimana memastikan akun anak terhubung dengan orangtua," jelasnya saat dihubungi IDN Times, Selasa (14/10/2025)
Menurut Amanda, PP Tunas harus diikuti sosialisasi masif kepada orangtua dan sekolah. Ia menegaskan, anak membutuhkan aktivitas fisik dan stimulasi lain seperti komunikasi dua arah dengan pengasuh, membaca buku, dan istirahat cukup di masa perkembangannya.
"Oleh karenanya, orangtua perlu dibekali pengetahuan mengenai dampak paparan layar pada perkembangan anak di semua usia, hingga dampak konten media sosial pada anak, sebagai tindak lanjut dari PP Tunas" tandasnya.