Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Cumi Item: Dari Stigma ke Solusi Gizi dan Stabilitas Harga Dalam Negeri

Produk Cumi Item dari UMKM Rasa yg Berkah yang siap kirim ke luar kota. (IDN Times/Dhana Kencana)
Produk Cumi Item dari UMKM Rasa yg Berkah yang siap kirim ke luar kota. (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • Fiya, pemilik UMKM kuliner Rasa yg Berkah, mengubah pola konsumsi protein hewani dengan menjual cumi hitam beku dan memberikan cerita tentang budaya, ekologi, dan pemberdayaan lokal.
  • Fiya belajar memasak cumi dari internet dan konten edukasi KKP di Instagram, serta mengusung konsep fresh-caught, community-sourced dalam berwirausaha.
  • Usaha Fiya membantu nelayan kecil dengan pembelian rutin cumi-cumi segar, mengubah stigma dan stereotipe cumi-cumi, serta mendukung program Gemarikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Demak, IDN Times - Di dapur kecil rumah di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, aroma tinta cumi yang pekat bercampur bawang, cabai, dan daun jeruk terus mengepul pagi itu, Rabu (14/10/2025). Dari ruang sempit itu juga, Fiya (35), pemilik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kuliner Rasa yg Berkah, mengemas dan mengirim cumi hitam beku (frozen) ke pelanggannya di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, hingga Yogyakarta.

“Saya tidak cuma berjualan cumi item, tapi saya juga memberikan cerita tentang budaya, ekologi, dan pemberdayaan lokal dari makanan cumi hitam,” ujar ibu satu anak kelahiran Pontianak itu saat ditemui di rumahnya.

Ya, usaha Fiya rupanya menjadi contoh bagaimana UMKM di pesisir bisa ikut menggerakkan ekonomi biru, mengubah pola konsumsi protein hewani masyarakat, dan sekaligus membantu daerah menahan tekanan inflasi bahan pangan berbasis unggas.

Belajar Cumi dari Instagram KKP

Pemilik nama lengkap Ashfiyatul Mardiyatillah itu baru mengenal serius dunia percumian sekitar setahun yang lalu. Awalnya, ia hanya melihat potensi hasil laut dari Demak dan pesisir Jawa yang melimpah tetapi kurang menonjol di pasar nasional. Hal itu ia alami ketika pengin menikmati masakan cumi hitam.

Dari beberapa tempat makan yang ia kunjungi, baik di Kota Semarang dan Kabupaten Demak, tidak menemukan rasa yang pas dari olahan cumi tersebut. Situasi itu membuat Fiya penasaran dan ingin mencoba memasaknya sendiri di rumah.

“Saking penasarannya, saya kepo dan ngulik sendiri, bagaimana ya caranya bisa memasak cumi yang enak, sesuai seleranya dan pastinya sehat. Akhirnya belajar autodidak dari internet,” akunya.

Pengetahuannya soal cumi-cumi yang bernas justru ia dapatkan dari gawai, melalui konten edukasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di akun Instagram @gemarikan dan @ditjenpdspkp.

Konten tersebut menjadi titik balik Fiya mengenal cumi lebih jauh lagi. 

“Pelan-pelan saya belajar dari konten itu. Sekarang alhamdulillah sudah paham mana cumi yang segar dan mana yang tidak. Saya tidak mau menjual makanan dari bahan baku yang tidak benar, nanti malah mudarat dan tidak berkah,” kata Fiya.

Edukasi cara memilih cumi segar itu ia jadikan sebagai standar kualitas produknya: mata masih jernih, daging kenyal, dan aroma lautnya tidak menyengat busuk. Konsistensi tersebut yang kemudian membuat produknya dipercaya pelanggan, meski dipasarkan dalam bentuk beku (frozen) siap saji dan dikirim lintas kota.

Nelayan Kecil Beralat Tangkap Ramah Laut

Ngatirah (kanan) menyiapkan cumi-cumi segar untuk Fiya. (IDN Times/Dhana Kencana)
Ngatirah (kanan) menyiapkan cumi-cumi segar untuk Fiya. (IDN Times/Dhana Kencana)

Fiya mengusung konsep fresh-caught, community-sourced—tangkapan segar yang bersumber dari nelayan lokal—dalam berwirausaha. Hal itu mendasar mengingat cumi-cumi segar ia beli langsung dari nelayan kecil di pesisir Demak melalui pemasok. Salah satunya Ngatirah (49), warga Sayung, Demak.

“Sebagian cumi-cumi dari nelayan-nelayan kecil secara tradisional. Menangkapnya pakai pancing manual, jaring kecil bukan jaring besar, sehingga tidak merusak habitat, terumbu karang. Kalau alat lain kan bisa menyeret dan menghancurkan ekosistem laut. Itu sudah turun-temurun,” jelasnya yang berjualan kaki lima di pasar tumpah pagi kawasan Pucang Gading, yang berjarak tiga kilometer (km) dari rumah Fiya.

Metode pancing manual dikenal sebagai alat tangkap berdampak rendah (low-impact fishing) karena meminimalkan tangkapan sampingan (bycatch) dan kerusakan habitat dasar laut. Praktik tersebut sejalan dengan Kebijakan Ekonomi Biru KKP yang mendorong penangkapan ikan terukur, perluasan kawasan konservasi, dan pengendalian aktivitas di pesisir agar tetap berkelanjutan.

Dalam sehari, Fiya mengolah sekitar 3--6 kilogram cumi-cumi segar. Meski terlihat kecil secara angka, tetapi volume tersebut merupakan bagian dari keberlanjutan untuk menopang rantai pasok nelayan tradisional yang biasanya menjual dalam skala terbatas. Dengan begitu, pembelian rutin dengan harga wajar juga membuat pendapatan nelayan lebih pasti sehingga mereka tidak hanya bergantung pada tengkulak atau pelelangan.

“Ya kalau sudah dalam skala besar, nanti takutnya overfishing. Karena ini kan skala UMKM, yang pasokannya tidak eksplosif. Intinya bisa untuk keberlanjutan, baik untuk cumi-cuminya, nelayannya, pemasoknya, juga pembelinya sehingga bisa saling terhubung dan mendapatkan kebermanfaatan,” akunya.

Produk utama Rasa yg Berkah terdapat dalam dua varian cumi item: original dan pedas. Semua dikemas beku dalam kondisi sudah matang, dengan harga Rp120 ribu per 500 gram.

“Bagaimana orang bisa tahu cumi-cumi itu bagaimana, rasanya seperti apa, kalau tidak kita sendiri yang membuatnya? Mengolahnya? Saya memilih bentuk beku yang sudah matang karena umur simpannya lebih panjang,” tutur Fiya.

Bagi konsumen kota yang sibuk, produk beku matang menawarkan kepraktisan: cukup dipanaskan dan langsung siap santap. Di sisi lain, pola konsumsi tersebut ikut memperpanjang ketersediaan stok protein hewani ketika pasokan ikan segar menurun akibat cuaca ekstrem atau gangguan distribusi.

“Secara tidak langsung saya menawarkan dan memberikan akses kepada mereka untuk menikmati cumi-cumi dari laut kita yang segar. Otomatis mereka dapat asupan gizi dan protein yang lebih konsisten, yang real. Harganya juga ramah di kantong, apalagi isinya banyak, bisa untuk lauk hari-hari berikutnya,” lanjutnya yang selama ini masih berjualan secara daring melalui media sosial Instagram, @4ashfiyah.

Mengubah Stigma dan Stereotipe Cumi-cumi

Makanan cumi item UMKM Rasa yg Berkah siap santap di Demak. (IDN Times/Dhana Kencana)
Makanan cumi item UMKM Rasa yg Berkah siap santap di Demak. (IDN Times/Dhana Kencana)

Tantangan terbesar Fiya justru bukan pada distribusi, melainkan stigma dan stereotipe mengenai makanan tersebut. Bagi sebagian orang, cumi hitam identik dengan teksturnya yang alot dan amis.

Dini (33), salah satu pelanggan tetap produk Fiya. Ibu rumah tangga yang tinggal di Tangerang Selatan itu mengaku dulu kedua anaknya, Yuning (6) dan Kayis (4) menghindari untuk mengonsumsi cumi-cumi.

“Dulu anak saya tidak suka sama sekali, apalagi cumi hitam, karena seringnya makan alot dan amis. Coba (cumi item) punya mbak Fiya ini beda. Cuminya segar dan bersih. Biasanya kan tulang sama gigi cumi tidak dibersihkan, jadinya gak nyaman,” katanya saat dihubungi IDN Times, Minggu (5/11/2025).

Dini rutin memesan dua kilogram setiap bulan. Kedua anaknya yang dulu menolak dan tidak menyukai makanan cumi-cumi, sekarang justru menagih.

“Saya tanya (ke mbak Fiya), pakai bahan apa saja? Masaknya bagaimana? Ternyata pakainya juga bahan organik, bumbu rempah, tidak aneh-aneh, dan yang penting bisa mengolahnya. Akhirnya saya jadi langganan tetap. Soalnya ada juga kan yang gak enak karena ternyata pakai formalin atau tidak segar cumi-cuminya,” akunya.

Strategi Fiya yang mengutamakan bahan organik, bumbu sederhana, dan proses masak yang tepat sukses membuat cumi hitam tampil sebagai makanan rumahan yang bersih dan bisa diterima lidah anak-anak.

“Enak, cuminya, suka. Empuk,” ujar Yuning.

Untuk diketahui, cumi-cumi termasuk sumber protein laut yang bergizi tinggi. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diah Anggraini Wulandari, mencatat, cumi-cumi mengandung protein sekitar 15–20 persen, kaya asam amino esensial dan nonesensial, serta mineral seperti natrium, kalium, fosfor, kalsium, magnesium, dan selenium.

Dalam kajiannya di jurnal Oseana Volume XLIII, Diah menekankan, tinta cumi juga mengandung senyawa alkaloid dan melanin yang berpotensi sebagai antiinflamasi, antihipertensi, antidiabetes, hingga antikanker. Meski demikian, banyak masyarakat yang belum mengetahui manfaat tersebut sehingga konsumsi cumi dan produk laut lain kalah populer dibanding daging ayam dan telur.

“Kurangnya informasi soal gizi dan manfaat cumi-cumi membuat sebagian orang enggan mengonsumsi. Padahal justru bisa menjadi sumber protein hewani yang baik,” tulis Diah.

Fiya memanfaatkan ruang dialog dengan pelanggan untuk mengisi celah informasi itu.

“Saya ikut mengedukasi (pembeli) soal stereotipe dan stigma cumi hitam. Yang karena alot, amis, jijik, kolesterol, dan masih banyak lagi. Alhamdulillah, pelan-pelan mereka melek literasi gizi dan ikut cerita (getok tular) ke orang lain juga,” kata Fiya.

Dokter ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen menjelaskan, makanan seafood seperti cumi-cumi sejatinya mengandung kolesterol. Meski demikian, lemak jenuh yang terkandung pada makanan tersebut sedikit.

“Itu sebabnya orang-orang di Jepang juga makan seafood, makan segala macam, ada cumi-cumi, udang, tapi cara masaknya beda sama kita. Kalau kita (di Indonesia) cumi goreng tepung, udang saus mentega," katanya dikutip dari instagram pribadinya, @drtanshotyen, Sabtu (8/11/2025).

Sejalan dengan Gemarikan dan Ekonomi Biru

Cumi-cumi segar siap masak untuk menu cumi item UMKM Rasa yg Berkah di Demak. (IDN Times/Dhana Kencana)
Cumi-cumi segar siap masak untuk menu cumi item UMKM Rasa yg Berkah di Demak. (IDN Times/Dhana Kencana)

Upaya Fiya mengembangkan usaha sembari mengenalkan makanan cumi hitam senapas dengan program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) yang tengah disiapkan KKP dalam bentuk Rancangan Peraturan Presiden (Perpres). Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Tornanda Syaifullah mengatakan, Gemarikan menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekaligus penghela bisnis perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Rancangan Perpres Gemarikan sendiri mengatur penyediaan ikan bermutu dan aman, kemudahan akses, hingga rencana aksi lima tahunan yang melibatkan pemerintah pusat-daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil.

Melalui laman resminya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyampaikan, salah satu upaya meningkatkan konsumsi ikan—termasuk cumi—adalah melalui program Gemarikan. 

“Harapannya, pemenuhan gizi masyarakat terpenuhi sekaligus membantu kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan,” ujarnya.

Program tersebut penting mengingat Jawa Tengah merupakan daerah dengan capaian Angka Konsumsi Ikan (AKI) dalam rumah tangga terendah pada tahun 2024 menurut catatan KKP. Meski demikian, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah terus menggenjot konsumsi ikan sebagai sumber protein. Pada 2024, tingkat konsumsi ikan di Jawa Tengah mencapai 40,14 kilogram per kapita per tahun. Angka tersebut naik sekitar 7,84 persen dibanding tahun 2023 yang sebesar 37,22 kilogram per kapita

Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno menjelaskan, pemerintah ingin konsumsi protein masyarakat bergeser ke sumber yang lebih beragam dan terjangkau, seperti ikan. Ia menyebut, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 12,88 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah pada triwulan III–2025.

"Kami ingin memperkuat ekosistem kelautan dan perikanan agar menjadi penggerak ekonomi daerah," kata Sumarno di Semarang, Rabu (5/11/2025).

Berdasarkan data Pemprov Jawa Tengah, volume ekspor produk kelautan dan perikanan tahun 2024 mencapai 83,15 juta ton, dengan nilai sekitar Rp5,76 triliun. Angka tersebut menunjukkan potensi besar sektor perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Stabil dan Strategis Kendalikan Inflasi

Cumi-cumi segar siap masak untuk menu cumi item UMKM Rasa yg Berkah di Demak. (IDN Times/Dhana Kencana)
Cumi-cumi segar siap masak untuk menu cumi item UMKM Rasa yg Berkah di Demak. (IDN Times/Dhana Kencana)

Di tengah gejolak harga pangan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia  (KPwBI) Jawa Tengah ikut melihat bahwa komoditas ikan menjadi penyangga daya beli. Data BI menunjukkan, secara tahunan (year-on-year/y-o-y), inflasi telur ayam mencapai 14,17 persen, daging ayam 6,24 persen, sementara ikan hanya sekitar 2,23 persen. 

Secara tahun berjalan (year-to-date/y-t-d), kenaikan harga ikan sebesar 0,57 persen, jauh di bawah daging ayam (5,38 persen) dan telur (2,55 persen).

“Data ini menunjukkan tekanan harga unggas jauh lebih tinggi dibandingkan ikan. Artinya, ikan punya potensi besar sebagai komoditas substitusi strategis dalam menjaga daya beli masyarakat,” kata Kepala KPw BI Jawa Tengah, Rahmat Dwisaputra, dalam keterangan resminya tentang upaya diversifikasi pangan akuatik di Semarang, Kamis (13/11/2025).

Model seperti Rasa yg Berkah bisa direplikasi UMKM di pesisir lain dengan dukungan pelatihan literasi gizi, akses pembiayaan ramah lingkungan, pendampingan pemasaran digital, dan penguatan rantai pasok ikan yang berkelanjutan.

Jika upaya mikro seperti itu diperbanyak, diversifikasi ikan sebagai sumber protein andalan tidak hanya membantu menekan inflasi pangan, tetapi juga mempercepat terwujudnya ekonomi biru yang berpihak pada masyarakat pesisir—dimulai dari seporsi cumi hitam di meja makan keluarga.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

Ada Relaksasi dari Pemerintah, Penjualan Rumah di Jateng Meroket

15 Nov 2025, 04:47 WIBNews