Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ekologi Menopang Ekonomi: Energi Baru Pertamina untuk Pesisir Utara

Mangrove Tambakrejo 1.jpg
Nelayan mengantarkan wisatawan untuk melihat berwisata di Kawasan Pesisir Tambakrejo, Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • Pesisir utara Semarang rawan abrasi, dengan rata-rata pengikisan 10,31 meter per tahun.
  • Kelompok Peduli Lingkungan (KPL) Camar berhasil menanam lebih dari 170 ribu bibit mangrove di pesisir Tambakrejo sejak tahun 2010.
  • Mangrove Edupark Tambakrejo menjadi destinasi wisata edukasi yang membawa harapan baru bagi nelayan dan ibu rumah tangga setempat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sore itu, Kamis (14/8/2025), di kawasan Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, deretan pohon mangrove bergoyang pelan mengikuti hembusan angin kencang. Di tengah rimbunnya hutan bakau, sebuah jembatan bambu dan kayu sepanjang 240 meter membentang membelah hijaunya pepohonan mangrove yang tumbuh rapat.

Anak-anak tampak berlarian kecil menyusuri jalur jogging track. Sementara para wisatawan sibuk mengabadikan momen dengan latar matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Suara daun mangrove yang berdesir terdengar lirih, seolah sedang berzikir, sebagaimana diyakini Juraimi—nelayan setempat yang kini menjadi penjaga ekosistem pesisir.

“Mangrove yang bergoyang itu bukan hanya karena angin. Mereka sedang berdoa untuk siapa saja yang merawatnya,” katanya kepada IDN Times.

Ucapan Juraimi bukan metafora semata. Sejak tahun 2010, pria berusia 52 tahun itu telah mendedikasikan diri untuk mengonservasi mangrove di pesisir utara Semarang. 

Ia pun menjadi saksi bagaimana doa-doa sederhananya bisa berbuah perubahan besar saat ini. Tidak hanya mencegah abrasi, tetapi juga mengangkat kesejahteraan para nelayan, menghidupkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta menjadikan Tambakrejo sebagai destinasi wisata baru yang membanggakan.

Seperti diketahui, pesisir utara Kota Semarang sejak lama dikenal sebagai wilayah yang rawan abrasi. Gelombang dan arus laut perlahan mengikis daratan di daerah tersebut. Kondisi itu mengubah bentuk pesisir, yang semula menjadi ruang hidup warga kini malah makin menyempit.

Penelitian tiga akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University—Febrianti Amalia, Zairion, dan Agus Saleh Atmadipoera—mengamini hal tersebut. Mereka mengungkapkan fakta yang mencemaskan.

Selama dua dekade terakhir, tepatnya sejak 2001—2021, garis pantai di Kota Semarang terus berubah. Malah, setiap tahun, daratan yang hilang akibat abrasi di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah itu mencapai 2–3 hektare (ha), dengan rata-rata pengikisan sejauh 10,31 meter per tahun. Tambakrejo pun menjadi salah satu desa yang terdampak abrasi.

Akibatnya, selain menggerus tanah, abrasi ikut menenggelamkan rumah-rumah warga. Oleh karenanya, laut yang semestinya menjadi sumber kehidupan warga setempat–yang sebagian besar adalah nelayan–justru berubah menjadi ancaman yang merenggut tempat tinggal dan mata pencaharian mereka.

Jika kondisi tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin daerah yang berdiri sejak 1973 itu akan rusak atau bahkan tergenang permanen.

Dari kondisi riil itu, lahirlah kesadaran bahwa pantai perlu dijaga. Salah satu caranya adalah dengan penanaman mangrove sebagai bagian dari konservasi pesisir. Upaya itu menjadi strategi adaptasi penting untuk mengurangi risiko abrasi sekaligus menyelamatkan masa depan pesisir utara Semarang.

Energi Baik dari Mangrove

Mangrove Tambakrejo.jpg
Kawasan pesisir Tambakrejo, Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Tahun 2011 menjadi titik balik sejarah bagi Tambakrejo. Saat sebagian besar program Corporate Social Responsibility (CSR) masih berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan bantuan langsung, sekelompok nelayan Tambakrejo melihat adanya celah yang belum tersentuh, yakni soal lingkungan hidup.

Pada 2 Desember 2011, Juraimi bersama sejumlah warga membentuk sebuah komunitas bernama Kelompok Peduli Lingkungan (KPL) Camar—kepanjangan dari Cinta Alam Mangrove Asli dan Rimbun. Kehadiran mereka lahir dari kegelisahan akan ancaman abrasi yang makin masif di Tambakrejo. 

Dengan penuh kesabaran, mereka memulai langkah kecil, dengan melakukan pembibitan dan penanaman mangrove untuk menjaga garis pantai dari gerusan laut.

“Gerakan itu berawal dari kesadaran masyarakat Tambakrejo akan naiknya permukaan air laut yang membuat beberapa rumah warga tenggelam. Tapi waktu itu pengetahuan soal mangrove masih minim. Karena itu kami ingin berkolaborasi dengan Pertamina sehingga bisa naik kelas,” ujar Juraimi.

Kerja sama antarmereka pun terjalin. Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah (JBT) memberi dukungan penuh, mulai dari penyediaan bibit hingga pendampingan teknis. Bibit-bibit mangrove kemudian ditanam satu per satu oleh kelompok Camar.

Sejak awal 2010-an, lebih dari 170 ribu bibit mangrove telah ditanam di pesisir Tambakrejo. Terbaru, pada Senin (28/7/2025), kelompok Camar menanam lagi 2.275 bibit.

Hingga Juli 2025, luasan kawasan yang sudah mereka tanam mencapai sekitar 2 ha. Adapun, sebagian besar jenis tanamannya adalah Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, dan Avicennia lanata.

“Dulu CSR Pertamina memang sudah ada, tapi fokusnya masih pada infrastruktur, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Belum ada yang menyentuh mengenai lingkungan. Maka kami mendirikan Camar untuk mengisi celah itu, dan Alhamdulillah disambut baik Pertamina,” kenang Juraimi.

Perjalanan konservasi yang dilakukan kelompok Camar tidak semulus yang dibayangkan. Perubahan bentang alam, tekanan dari proyek permukiman, perubahan cuaca hingga pasang surut air laut menjadi tantangan sehari-hari mereka.

Meskipun demikian, Juraimi dan kawan-kawan tidak pernah menyerah. Waktu justru membuktikan kerja keras mereka. Bibit-bibit tanaman yang dahulu rapuh menjelma menjadi hutan mangrove lebat dan membentuk benteng hijau yang kokoh melindungi pesisir.

Manfaatnya pun makin terasa nyata bagi mereka karena hutan mangrove tidak hanya menahan abrasi, tapi juga memulihkan ekosistem setempat yang sempat hilang.

“Ikan-ikan kecil, kepiting, dan berbagai biota laut lainnya kembali ke habitat aslinya. Laut yang tadinya sepi sekarang kembali ramai dengan kehidupan,” ungkap Juraimi.

Mulanya, kelompok Camar beranggotakan 24 orang. Kini, yang benar-benar aktif tinggal 12 orang. 

Walaupun jumlahnya kecil, aktivitas-aktivitas mereka terus berdampak. Sebab, tidak sekadar menyemai dan menanam mangrove, mereka berhasil menanamkan kesadaran baru di benak warga setempat akan pentingnya untuk menjaga alam, yang secara tidak langsung ikut menjaga kehidupan warga sendiri.

Bagi Juraimi, menanam mangrove bukan sekadar aktivitas ekologis. Ada makna spiritual yang ia pegang teguh, yaitu sebuah keyakinan bahwa energi baik akan kembali dalam bentuk keberkahan.

“Kami percaya, mangrove yang bergoyang itu bukan hanya karena angin. Mereka sedang berzikir, mendoakan siapa saja yang menanam dan merawatnya,” akunya dengan mata berbinar.

Filosofi itu menjadi sumber energi positif Juraimi untuk terus menggerakkan kelompok Camar dan warga Tambakrejo. 

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Sih Rianung mengapresiasi sepak terjang kelompok Camar. Ia menegaskan, jika kunci konservasi terletak pada konsistensi.

“Yang sulit itu bukan menanam, melainkan merawat. Kalau dirawat bersama, hasilnya akan luar biasa,” ucapnya seraya berpesan kepada Juraimi dan kelompok Camar.

Dari Konservasi ke Edukasi dan Wisata

Mangrove Tambakrejo 2.jpg
Hutan Bakau di kawasan Mangrove Edupark Tambakrejo, Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Benar saja. Program konservasi mangrove mereka kembali mendapat dukungan penuh dari Pertamina.

Kesempatan itu terjadi pada 2019, ketika Pertamina membangun jogging track sepanjang 240 meter di tengah kawasan hutan mangrove Tambakrejo. Fasilitas tersebut membuat kawasan konservasi mangrove kelompok Camar makin ramah wisatawan sekaligus mempertegas identitasnya sebagai ruang edukasi dan destinasi wisata baru di Kota Semarang.

Setahun kemudian, pada 2020, kawasan itu resmi dibuka untuk umum, dengan nama Mangrove Edupark Tambakrejo. Mereka yang mengunjungi tempat itu mendapatkan pengalaman baru berjalan di atas jembatan kayu dan bambu yang membelah hutan bakau rindang, sembari menikmati udara segar khas pesisir.

“Konsepnya adalah edukasi dan konservasi hutan mangrove. Jadi selain berwisata, pengunjung pun bisa belajar lebih dalam tentang mangrove, bahkan langsung menanam bibit di kawasan (Mangrove Edupark Tambakrejo) ini,” ujar Juraimi.

Sayang, pandemik COVID-19 yang terjadi pada tahun yang sama membuat aktivitas wisata sempat terhenti. 

Lagi-lagi, semangat mereka tidak padam. Begitu pembatasan sosial dilonggarkan, wisatawan kembali berdatangan. Kini, rata-rata sekitar 50–60 orang berkunjung setiap pekan.

Sebagai informasi, untuk masuk kawasan Mangrove Edupark Tambakrejo, pengunjung cukup membayar Rp3.500 sebagai donasi penanaman mangrove, serta Rp10 ribu untuk ongkos kapal dari dermaga menuju lokasi.

Menariknya, skema pengelolaan pendapatan mereka berbeda dari destinasi wisata pada umumnya. Dari ongkos kapal Rp10 ribu, hanya Rp1.000 yang masuk ke kas kelompok Camar. Sisanya, atau Rp9.000 diserahkan langsung kepada nelayan yang mengemudikan kapal.

Begitu pula pada usaha UMKM, kelompok Camar hanya mengambil margin kecil sebagai biaya fasilitasi.

“Kami tidak mau memonopoli. Prinsipnya, sedikit untuk kelompok tidak apa-apa. Yang penting manfaat besar kembali ke warga,” tegas Juraimi.

Asa dari Mangrove Edupark

Bagi nelayan Tambakrejo, keberadaan Mangrove Edupark membawa harapan baru. Saat tangkapan ikan berkurang, mereka kini bisa beralih profesi menjadi pemandu wisata atau pengantar pengunjung dengan kapal.

“Nelayan yang senggang kami libatkan untuk melayani wisatawan. Jadi tidak ada yang dibiarkan sendiri. Semua bisa mendapat rezeki, nyengkung bareng (red: bergotong royong),” ujar Juraimi.

Transformasi itu menjadi bukti nyata bagaimana ekologi dapat menopang ekonomi. Nelayan tidak lagi hanya bergantung pada laut. Lebih dari itu, ikut berperan sebagai penjaga ekosistem pesisir.

“Ya, lumayan. Dengan adanya Edupark Mangrove bisa untuk menambah pemasukan. Namanya nelayan, kadang susah dijagakne (red: diandalkan) kalau cuma melaut saja,” kata nelayan lain, Agus, yang tidak hanya sebagai pengemudi kapal tapi juga memandu wisatawan Mangrove Edupark.

Efek pengganda (multiplier effect) Mangrove Edupark pun dirasakan para ibu rumah tangga. Di RW 16 Tambakrejo, sekitar 50 perempuan aktif mengolah hasil laut dan mangrove menjadi produk UMKM.

Produk mereka beragam. Ada terasi, bandeng presto, otak-otak bandeng, telur asin, keripik mangrove, hingga kerajinan tangan dari cangkang kerang. Bahkan, terdapat menu khas bernama Sego Pesisir atau akrab disebut Gosir—nasi dengan lauk kerang hijau, cumi, atau mangut ikan—yang menjadi sajian wajib bagi wisatawan. Harga seporsinya hanya Rp15 ribu.

Menurut Ketua RW 16, Sitta Tun, omzet terasi lokal yang diproduksi ibu-ibu bisa mencapai Rp3 juta per bulan. Pemasaran produk mereka pun makin terbantu berkat platform daring, layanan antar, dan lokapasar (e-commerce). Beberapa produk seperti keripik mangrove dan minuman herbal bahkan sudah tampil di berbagai pameran produk lokal.

“Dulu kami terbatas (pengetahuannya). Namanya juga emak-emak. Setelah ada pelatihan dari Pertamina—mulai dari transfer pengetahuan, inovasi, teknologi, sistem manajemen, sampai jaringan (networking)—produk kami makin dikenal. Alhamdulillah, supermarket modern dan dinas-dinas pun mulai banyak yang memesan,” ungkap Sitta.

Environmentalisme Baru dari Pesisir

Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina JBT, Taufiq Kurniawan menilai, program Edupark Mangrove Tambakrejo dapat direplikasi di daerah lain. Menurutnya, keberhasilan program CSR tersebut justru terletak pada kemandirian warga setempat yang tidak lagi bergantung pada Pertamina.

“Bantuan CSR itu sifatnya katalis, bukan membuat masyarakat bergantung. Kalau dirawat dengan cinta, manfaatnya akan makin luas. Program (Edupark Mangrove Tambakrejo) ini bisa menjadi contoh CSR berbasis lingkungan yang berkelanjutan. Kami melihat kelompok di Tambakrejo sudah mandiri—punya kapasitas kelembagaan, ekonomi alternatif, dan kesadaran konservasi—sehingga mereka bisa berjalan sendiri,” katanya, Senin (28/7/2025).

Pakar CSR, Noor Qomariyah mengamininya. Bagi Noor, program CSR perusahaan di Indonesia—seperti yang dilakukan Pertamina—menjadi strategi penting untuk memastikan kelangsungan bisnis mereka, sekaligus berkontribusi pada perbaikan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Inisiatif tersebut orientasinya pada masa depan, sembari menumbuhkan kesadaran sosial lintas sektor.

“Dulu CSR itu hanya sebatas memberi bantuan, selesai. Sekarang tidak bisa begitu. Ada perubahan signifikan. CSR harus menyeimbangkan antara kepentingan sosial dan lingkungan, sebab keduanya tidak bisa dipisahkan,” katanya saat webinar bertema Green Skilling: Corporate Social Responsibility (CSR) Berbasis Lingkungan sebagai Salah Satu Solusi Bisnis Berkelanjutan.

Di sisi lain, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Dani Mohammad Ramadhan melihat bahwa gerakan kelompok Camar sebagai bentuk environmentalisme baru. Pasalnya, environmentalisme selama ini identik dengan gerakan yang lahir karena kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri. 

Peneliti The Emergence of Environmentalism Among Urban Coastal Communities: A Case Study of the Tambakrejo Community in Semarang, Central Java itu justru memandang lain karena di Tambakrejo, environmentalisme tumbuh berkat kolaborasi dengan industri itu sendiri.

“Pertama, ia dibangun melalui CSR Pertamina yang dijalankan secara efektif dan memberi manfaat bagi masyarakat. Kedua, dalam perkembangannya, komunitas Camar menunjukkan bahwa gerakan environmentalisme selain menjaga lingkungan, ikut menopang ekonomi. Pelestarian mangrove tidak hanya memperlambat abrasi, tetapi juga membuka sumber penghidupan baru—mulai dari kampanye lingkungan bersama perusahaan, pemanfaatan buah mangrove untuk produk olahan, hingga pemulihan ekosistem perikanan setempat,” tutup Dani.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us