FABA yang Terbuang, Kini jadi Penjaga Gawang Pesisir Semarang

- Tetrapod beton di pesisir Mangkang, Semarang, dibuat dari bahan baku FABA, limbah PLTU.
- PLN menghasilkan sekitar 3 juta ton FABA setiap tahunnya yang kini dimanfaatkan untuk konstruksi tetrapod.
- Pemanfaatan FABA dapat mengurangi emisi CO₂ dan biaya produksi semen, serta mendukung kelangsungan ekosistem laut.
Saat senja perlahan merambat di pesisir Mangkang, Semarang, deretan tetrapod—struktur beton berbentuk bintang berkaki empat—tegak berdiri, menantang ombak yang terus-menerus menghantam garis pantai. Di tepian, Sugeng menatap jauh ke arah laut, matanya menyipit menahan cahaya matahari sore yang memantul di atas permukaan air. Pria berusia 58 tahun itu tersenyum tipis, mengingat betapa berbeda pemandangan yang kini terlihat dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.
"Dulu, setiap kali air pasang datang, rumah-rumah di sini pasti kebanjiran. Tanggul sering jebol, dan air asin menggenangi pemukiman," kenangnya. "Sekarang, lihatlah sendiri—tetrapod-tetrapod besar itu kini menjadi benteng kokoh," lanjutnya sembari menunjuk deretan struktur beton yang berjajar sepanjang garis pantai, Kamis (25/7/2024).
Tetrapod yang ditunjuk Sugeng merupakan rangkaian benteng beton berkaki empat yang tersusun rapi di pesisir untuk melindungi kawasan pantai sekaligus mengonservasi area pesisir di ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu. Beton-beton tersebut dibuat dari bahan baku yang berasal dari abu sisa pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), yaitu Fly Ash (abu terbang) dan Bottom Ash (abu dasar) atau yang dikenal dengan istilah FABA.
Pemanfaatan demi Keberlanjutan

Di Indonesia, terdapat 47 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PLN dengan total kapasitas mencapai 18 gigawatt (GW). Setiap tahunnya, pembangkit-pembangkit tersebut menghasilkan sekitar 3 juta ton Fly Ash and Bottom Ash (FABA), yang sebelumnya tergolong sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Alih-alih membuang FABA sebagai limbah berbahaya, PLN berinovasi mengolahnya menjadi bahan baku konstruksi. Melalui pengelolaan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, status FABA berubah menjadi limbah non-B3. Hal itu membuka peluang lebih luas untuk pemanfaatan FABA, mendukung kegiatan ekonomi, dan mendorong pembangunan nasional. Pengelolaan FABA non-B3 tersebut, secara teknis, diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun.
Di Jawa Tengah, misalnya, tiga PLTU milik PLN (PLTU Tanjung Jati B, PLTU Rembang, dan PLTU Cilacap Adipala) menghasilkan sekitar 506 ribu ton FABA setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sebagian telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan konstruksi, seperti pembangunan jalan beton sepanjang 19,36 kilometer, stabilisasi lahan sebanyak 314.308 ton, pembangunan 157 unit rumah, pembuatan 1.860.941 paving batako, serta 600 tetrapod yang sebagian ditempatkan di pesisir Semarang, termasuk di kawasan Mangkang.
Dalam proses pembuatan tetrapod, FABA digunakan sebagai substitusi bahan baku—co-processing untuk semen—dengan menggantikan sekitar 30–35 persen komposisi semen dalam pembuatan beton tetrapod. Tetrapod yang dirancang khusus untuk memecah energi gelombang laut tersebut tersedia dalam dua ukuran, yaitu berbobot 100 kilogram dan satu ton.
Pemanfaatan FABA untuk tetrapod juga telah melalui pengujian dan mendapatkan sertifikasi dari Laboratorium Bahan Konstruksi Universitas Sultan Agung (Unissula) untuk FABA dari PLTU Tanjung Jati B yang menghasilkan sekitar 359 ribu ton FABA per tahun, serta dari laboratorium Universitas Diponegoro (Undip) untuk FABA dari PLTU Rembang yang menghasilkan sekitar 67 ribu ton per tahun.
Chief Growth Officer sekaligus Executive Vice President dari Eco Materials Technologies, perusahaan yang berfokus pada produksi dan distribusi bahan konstruksi ramah lingkungan, Rob McNally, membagikan pandangannya tentang potensi pemanfaatan FABA dalam produksi beton. Dalam sebuah siniar bertema How Coal Fly Ash Is Reducing CO₂ Emissions and Improving Concrete, McNally menyebutkan jika FABA dapat menggantikan sekitar 20–25 persen semen dalam campuran bahan beton. Inovasi itu tidak hanya mampu mengurangi emisi CO₂, tetapi juga meningkatkan kualitas, kekuatan, impermeabilitas (ketahanan terhadap retak), serta daya tahan beton terhadap kondisi cuaca ekstrem.
Menurut data wadah pemikir (think tank) Chatham House, produksi semen menyumbang sekitar 8 persen dari total emisi CO₂ global, dengan lebih dari 4 miliar ton semen yang diproduksi setiap tahunnya.
"Setiap ton semen yang diproduksi menghasilkan hampir 1 ton emisi CO₂. Inisiatif pemanfaatan FABA untuk produksi beton mendukung upaya keberlanjutan dengan memanfaatkan material limbah, yang sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular, yaitu mengurangi limbah, menurunkan penggunaan bahan mentah, serta mengoptimalkan penggunaan kembali, daur ulang, dan pemulihan produk dan material," ungkap McNally.
Kalkulasi Emisi dan Ekonomi

IDN Times menganalisis terhadap dampak pemanfaatan FABA dalam produksi beton, khususnya terkait pengurangan emisi karbon serta manfaat ekonomi yang dihasilkan. Di tengah tantangan perubahan iklim, pemanfaatan FABA sebagai substitusi semen muncul sebagai salah satu solusi berkelanjutan.
Sebagai gambaran, produksi semen secara global menghasilkan rata-rata 0,82 ton CO₂ untuk setiap ton semen. Untuk memahami potensi pengurangan emisi tersebut, sebagai contoh adalah proyek konstruksi tetrapod yang membutuhkan 100 ton semen.
Pada proyek tersebut, jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari pemakaian semen adalah:
Total Emisi Karbon dari Semen = 100 ton x 0,82 ton CO₂ = 82 ton CO₂
Jika 25 persen kebutuhan semen digantikan oleh FABA, maka:
Penggantian Semen dengan FABA = 100 ton x 25% = 25 ton
Dengan demikian, semen yang digunakan berkurang menjadi 75 ton, sehingga menghasilkan:
Emisi Karbon Baru = 75 ton x 0,82 ton CO₂ = 61,5 ton CO₂
Penggunaan FABA sebanyak 25 persen berhasil mengurangi emisi karbon sebesar:
Pengurangan Emisi Karbon = 82 ton CO₂ - 61,5 ton CO₂ = 20,5 ton CO₂
Artinya, substitusi 25 persen semen dengan FABA mampu menekan emisi karbon hingga 20,5 ton CO₂ atau sekitar 25 persen dari total emisi awal.
Selain berkontribusi terhadap lingkungan, pemanfaatan FABA juga menawarkan penghematan biaya karena merupakan limbah industri yang harganya lebih rendah dibandingkan semen. Dengan asumsi harga semen Rp1.000.000 per ton, dan penghematan biaya sebesar 30 persen pada setiap ton semen yang digantikan oleh FABA, maka potensi penghematannya adalah:
Penghematan = 25 ton x Rp1.000.000 x 30% = Rp7.500.000
Substitusi semen dengan FABA tetap menghasilkan beton dengan kekuatan yang memenuhi standar, terutama dalam pembuatan tetrapod yang tahan terhadap beban laut dan erosi. Termasuk memiliki durabilitas lebih tinggi untuk kondisi lingkungan laut karena FABA meningkatkan densitas beton dan ketahanannya terhadap serangan kimia.
Efek Berganda

Dosen Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Nita Citrasari, menjelaskan, pemanfaatan FABA sebagai bahan baku atau substitusi material konstruksi merupakan implementasi nyata dari konsep waste to material. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengubah limbah atau material sisa menjadi bahan baku baru yang memiliki nilai guna.
“Pendekatan waste to material adalah salah satu metode pengelolaan limbah yang efektif untuk mengurangi pembuangan dan memaksimalkan pemanfaatan material yang awalnya dianggap tidak berguna. Tahapan pengolahan FABA disesuaikan dengan jenis produk yang dihasilkan. Setelah produk jadi, dilakukan uji standar untuk memastikan kelayakannya. Misalnya, paving block (bata beton) harus memenuhi SNI 03-0691-1996 agar layak digunakan,” katanya dalam keterangan resmi yang disampaikan melalui laman Universitas Airlangga, Rabu (23/10/2024).
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyatakan bahwa pemanfaatan FABA sejalan dengan komitmen PLN terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Menurutnya, ESG dan ekonomi sirkular saling mendukung dalam membangun bisnis yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berdampak positif bagi lingkungan serta masyarakat.
“Kami bertekad mengubah sesuatu yang dulu dianggap limbah menjadi sumber daya berharga bagi masyarakat. Ini adalah bentuk komitmen kami di PLN untuk menjaga wilayah pesisir Pantura agar tetap aman dari ancaman abrasi dan banjir rob. Di PLN, kami tidak hanya berfokus pada produksi listrik, tetapi juga berkomitmen menjadi katalis perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.
Keberadaan tetrapod bagi masyarakat pesisir seperti Sugeng ibarat oase di tengah padang pasir yang gersang. Bertahun-tahun mereka hidup di bawah bayang-bayang ancaman banjir rob dan abrasi yang makin menggerus daratan.
"Dulu, setiap musim hujan tiba, kami selalu diliputi rasa was-was. Terlebih lagi jika badai melanda, kami hanya bisa berpasrah dan berharap yang terbaik," aku Ningsih, seorang ibu berusia 56 tahun, warga setempat yang sehari-hari berdagang ikan di Pasar Mangkang. "Sekarang? Ya, masih ada kekhawatiran, tapi tidak separah dulu. Setidaknya, sekarang ada tetrapod-tetrapod itu yang melindungi kami," tambahnya.
Pemasangan tetrapod sebagai alat pemecah ombak di kawasan pesisir Semarang memberikan dampak positif bagi ekosistem laut. Berdasarkan penelitian Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang (Unnes), Gilang Wahyu Rahmadhani, ditemukan 23 jenis Makrozoobentos dari empat kelas berbeda di sekitar area tetrapod: Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta. Indeks keanekaragaman jenisnya mencapai 1,81–2,24, yang termasuk kategori sedang.
Makrozoobentos menjadi indikator biologis kualitas perairan karena sifatnya yang relatif menetap dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Keberadaan dan keanekaragaman mereka mencerminkan kondisi ekosistem perairan tempat mereka hidup.
Data itu menunjukkan bahwa meskipun terdapat intervensi manusia, ekosistem setempat masih mampu mempertahankan keseimbangannya. Singkatnya, keberadaan tetrapod mendukung kelangsungan kehidupan laut.
Penggunaan tetrapod yang memanfaatkan FABA di pesisir Semarang—termasuk di Mangkang—berpotensi memengaruhi siklus karbon di kawasan tersebut. Struktur tetrapod melindungi vegetasi pesisir seperti hutan bakau, yang dikenal sebagai penyerap karbon alami yang efisien. Hutan bakau menciptakan ruang hidup bagi organisme laut, termasuk moluska dan krustasea, yang berkontribusi pada siklus karbon melalui proses biologis mereka.