Air Tercemar, Warga Menggugat, Sungai Punggawa Kini Terkontaminasi Limbah Tahu

- 15 Home Industri tahu diduga menjadi sumber limbah
- Pendampingan hukum dan sorotan publik meningkat
- Dibalik usaha tahu, dilema klasik ekonomi dan ekologi
Purbalingga, IDN Times - Fenomena limbah Tahu di Dusun Karangreja, Kecamatan Kutasari, ternyata ada 15 perajin yang mencemarinya sehingga aroma tajam menyeruak dari aliran Sungai Punggawa, sehingga warna air jadi kehitaman dan mengalir lambat membawa busa putih pekat.
Bagi warga, ini bukan lagi fenomena sesekali, bau limbah tahu telah menjadi rutinitas yang memuakkan. Mereka tahu sungai yang dulunya menjadi denyut kehidupan, kini berubah menjadi saluran limbah industri rumahan.
Tak ingin hanya mengeluh di dapur atau sawah, sejumlah warga akhirnya mencari jalan hukum. Mereka mengadukan pencemaran Sungai Punggawa ke Klinik Hukum DPC Peradi SAI Purwokerto. Menurutnya, ini bukan sekadar urusan bau menyengat atau sawah yang kekeringan air bersih ini tentang keadilan ekologis yang terus terabaikan.
1. Ada 15 Home Industri yang diduga jadi sumber limbah

Penelusuran yang dilakukan oleh warga bersama pemerintah desa dan Babinsa Karangreja. Bukan hanya satu, melainkan 15 home industri tahu yang diduga membuang limbah langsung ke aliran air.
Sebanyak 14 di antaranya berada di Desa Limbangan, desa tetangga yang berbatasan langsung, dan 1 berada di Karangreja sendiri dan tidak ada satupun yang dilengkapi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).
Limbah tahu yang bersifat asam, mengandung zat organik tinggi, dibuang langsung ke sungai dan saluran irigasi. Sungai Punggawa menjadi korban, dan warga Karangreja menjadi pihak paling terdampak. “Air sawah berubah warna, ikan mati, anak-anak tidak bisa mandi di sungai seperti dulu,” kata Sutarmi (48), seorang warga setempat.
2. Pendampingan hukum, sorotan publik meningkat

Langkah warga tak berhenti di situ. Pada 15 Juni 2025, Ketua DPC Peradi SAI Purwokerto, H. Joko Susanto, SH, bersama Eddy Wahono seorang aktivis lingkungan di Banyumas Raya, turun langsung meninjau lokasi pencemaran.
"Setelah melihat kondisi lapangan, masalah ini tidak bisa dibiarkan. Jika somasi tidak diindahkan, proses hukum pidana dan perdata akan ditempuh.”katanya.
Eddy Wahono juga menyatakan keprihatinan mendalam. Ia menyoroti pentingnya Sungai Punggawa yang merupakan anak sungai Ordo Klawing dan bermuara ke Sungai Serayu, sungai strategis nasional. Artinya, pencemaran ini bukan hanya lokal, tetapi berpotensi menyebar ke hulu dan hilir.
“Ke-15 home industri harus segera membangun IPAL, kalau tidak, ini akan menjadi pelanggaran serius terhadap hukum lingkungan dan sumber daya air,” tegasnya.
3. Dibalik usaha Tahu, dilema klasik ekonomi dan ekologi

Salah satu pelaku usaha tahu di Desa Limbangan, yang enggan disebut namanya, mengaku menyadari bahwa limbah usahanya mencemari lingkungan. “Kami bukan tidak mau mengolah, tapi biaya bikin IPAL mahal, tidak ada pendampingan teknis,” ujarnya lirih.
Usaha tahu rumahan memang menjadi tulang punggung ekonomi bagi puluhan keluarga di Limbangan. Namun kondisi ini menggambarkan ketimpangan pembangunan lingkungan yang tak menyentuh sektor informal. Tidak adanya regulasi teknis, minimnya edukasi lingkungan, dan lemahnya pengawasan daerah memperburuk situasi.
Eddy menyatakan tanggung jawab pengawasan berada di pundak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Purbalingga. Warga mendesak agar DLH tidak hanya bersikap reaktif, tapi mulai membina dan mengontrol industri skala kecil seperti ini secara terstruktur.
“DLH harus hadir, harus ada regulasi IPAL komunal, pelatihan, bahkan insentif bagi pelaku usaha yang mau taat aturan,” tegas Eddy Wahono.
Pencemaran Sungai Punggawa bukan hanya tentang limbah tahu. Ia adalah potret carut-marut tata kelola lingkungan di banyak daerah minim pengawasan, lemahnya regulasi usaha kecil, dan konflik antara ekonomi rakyat dan hak hidup sehat.