Beda dengan Pemerintah, Aboge di Purbalingga Sholat Id Hari Selasa

Purbalingga, IDN Times - Ratusan jemaah Islam Aboge di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga merayakan Hari Raya Idulfitri pada Selasa, (1/4/2025). Mereka melaksanakan Salat Id di Masjid Jami' Syech Sayid Kuning yang terletak di desa tersebut.
Menurut Pimpinan jemaah Islam Aboge, Kiai Maksudi penetapan Idulfitri oleh jemaah Islam Aboge menggunakan metode penghitungan kalender Jawa, berbeda dengan ketetapan pemerintah yang menetapkan Idulfitri pada Senin, 31 Maret 2025.
"Penentuan Idulfitri telah diketahui sejak jauh hari berdasarkan sistem kalender mereka, jadi kami berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah,"katanya.
1. Akulturasi kalender hijriah dan Jawa

Kalender Aboge merupakan hasil akulturasi antara penanggalan Islam (kalender Hijriah) dan kalender Jawa. Nama "Aboge" merupakan singkatan dari "Alip Rebo Wage", yang berarti bahwa 1 Muharram dalam tahun Alip jatuh pada hari Rabu dengan pasaran Wage.
'Sistem ini memiliki siklus delapan tahun atau satu windu, yang terdiri dari tahun Alip, He, Jim Awal, Je, Dal Be, Wawu, dan Jim Akhir,"jelas Kyai Marsudi.
Setiap tahun dalam kalender Aboge terdiri dari 12 bulan, dengan masing-masing bulan berisi 29 hingga 30 hari. Kalender ini juga menggunakan sistem hari pasaran Jawa, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.
2. Perayaan tetap meriah dan aman

Perayaan Idulfitri oleh jemaah Islam Aboge di Desa Onje berlangsung meriah dan aman. Setelah melaksanakan Salat Id, mereka menggelar tradisi halalbihalal yang dihadiri oleh warga setempat serta perwakilan dari Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Mrebet.
Kegiatan ini menjadi momen untuk mempererat silaturahmi dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan tradisi yang terus dijaga, jemaah Islam Aboge tetap mempertahankan warisan budaya dan keagamaannya di tengah masyarakat yang beragam.
Sholat idul fitri Aboge ini sebenarnya biasa saja, karena sudah lama dilakukan, tetapi hal tersebut akan menjadi istimewa dan terlihat jelas kegunaannya ketika sudah memasuki bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
3. Masjid yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya

Masjid Raden Sayyid Kuning dibangun pada masa Kesultanan Demak sebagai bagian dari penyebaran Islam di Pulau Jawa. Setelah pembangunannya selesai, Raden Sayyid Kuning ditunjuk sebagai imam pertama di masjid tersebut. Awalnya, masjid ini dikenal dengan nama Masjid Onje.
Pada saat pembangunannya, wilayah sekitar masjid masih berupa hutan yang banyak ditumbuhi pakis. Oleh karena itu, tiang utama masjid dibuat dari empat batang pohon pakis. Atapnya terbuat dari ijuk, yang menambah nuansa tradisional pada bangunan ini.
Kini, Masjid Raden Sayyid Kuning terletak di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga telah ditetapkan sebagai cagar budaya Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Keputusan Nomor 432/226 tahun 2018, yang diterbitkan pada 7 Juni 2018, dengan nomor registrasi CB.1570.