Pakar Pendidikan Unnes Sindir Penjurusan IPA IPS Jadi Kemunduran

- Pengembalian jurusan IPA dan IPS di SMA menuai kritikan dari pengamat pendidikan Unnes, Edi Subkhi.
- Sistem penjurusan di negara maju lebih fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan individual siswa.
- Kepala Disdikbud Jateng, Uswatun Hasanah, menyatakan bahwa penjurusan perlu untuk mengatasi kendala mutasi siswa di lapangan.
Semarang, IDN Times - Pengembalian jurusan mata pelajaran IPA dan IPS pada jenjang SMA mendapat respon beragam dari kalangan pendidikan Jawa Tengah.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) Edi Subkhi terang-terangan melontarkan kritikan terhadap keputusan Mendikdasmen Prof Abdul Mu'ti yang akan mengaktifkan kembali jurusan IPA IPS dan Bahasa.
1. Di negara maju tunjukkan akomodasi potensi siswa

Edi menuturkan sistem pendidikan menengah di Indonesia dengan negara maju ada perbandingan yang mencolok. Pada negara maju ia mencontohkan sistem penjurusan tidak terbatas pada tiga jurusan utama.
“Sistem di negara-negara maju lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan kebutuhan individual siswa. Ini menunjukkan semangat akomodasi terhadap keberagaman potensi siswa,” ujarnya, Selasa (15/4/2025).
2. Was-was tidak dievaluasi menyeluruh

Sementara ia menganggap adanya perubahan kurikulum pada era Mendikdasmen Abdul Mu'ti justru seolah terus memunculkan fenomena dimana kebijakan menteri pendidikan selalu berubah setiap era pemerintahan yang baru.
“Saya khawatir jika kebijakan ini tidak didasarkan pada evaluasi menyeluruh. Apakah kebijakan sebelumnya dinilai gagal? Kalau belum jelas, maka pengembalian sistem lama ini belum memiliki dasar argumentatif yang kuat,” tegasnya.
Ia berkata perlu bimbingan yang baik dari guru dan kejelasan dari perguruan tinggi mengenai mata pelajaran yang menjadi syarat masuk jurusan tertentu.
Di samping itu, katanya adanya pengaktifan kembali penjurusan IPA IPS dan Bahasa sebagai bentuk kemunduran dunia pendidikan Indonesia.
“Peniadaan jurusan sebelumnya dilakukan untuk menghapus stigma dan pengkastaan antara IPA, IPS, dan Bahasa. Dengan tidak adanya penjurusan, siswa punya kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan potensi mereka, termasuk bidang seperti seni dan budaya,” tuturnya.
Ia justru menganggap bahwa Kurikulum Merdeka yang digalakan Nadiem Anwar Makarim telah memberikan keleluasaan bagi siswa dalam menyiapkan diri menuju jenjang perguruan tinggi, dengan pendekatan yang lebih fleksibel.
3. Sekolah sulit proses perpindahan siswa jika tidak ada penjurusan

Terpisah, Kepala Disdikbud Jateng, Uswatun Hasanah tidak sepakat dengan pernyataan Edi Subkhi. Pasalnya, kalau tidak ada penjurusan yang terjadi menimbulkan sejumlah kendala di lapangan. Utamanya dalam proses mutasi siswa.
"Sekolah mengalami kesulitan saat adanya perpindahan siswa, terutama jika mata pelajaran pilihan dari sekolah sebelumnya tidak tersedia di sekolah tujuan. Akhirnya, sekolah baru harus melakukan matrikulasi," kata Uswatun.