Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menolak Urbanisasi ke Kota Demi Bertani di Desa Berkat Kemudahan PPTS

Seorang petani perempuan memanen padi di Desa Candiretno, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Seorang petani perempuan memanen padi di Desa Candiretno, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Intinya sih...
  • 145 regulasi pupuk bersubsidi dipangkas, produksi beras naik 13,54 persen.
  • Pupuk bersubsidi disalurkan langsung oleh BUMN ke titik serah, volume meningkat lebih dari 100 persen.
  • Harga pupuk turun 20 persen, penebusan melonjak hingga rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Angin sejuk dari lereng Gunung Merbabu menemani Muhammad Amanullah yang sedang sibuk di lahan jagungnya. Di Dusun Gunung Tugel, Desa Purwosari, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, pria berusia 33 tahun itu sedang mempersiapkan tanah untuk musim tanam berikutnya.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh kecemasan soal pupuk, kali ini wajah Amanullah tampak lebih tenang. Sebagai Bendahara Kelompok Tani Majumulya, ia menjadi saksi langsung bagaimana sengkarut distribusi pupuk yang selama ini menghantui petani, perlahan terurai dalam satu tahun terakhir.

"Alhamdulillah, semenjak ada program dari Pak Prabowo dengan pengambilan pupuk tidak harus pakai Kartu Tani, (cukup) pakai KTP, petani mencari pupuk tidak kesulitan kayak tahun-tahun kemarin. Yang sebelumnya bisa seharian mengurus Kartu Tani, sekarang cuma lima menit bawa pupuk pulang pakai KTP,“ ungkap Amanullah saat ditemui IDN Times di rumahnya, Senin (22/12/2025).

Petani muda, Muhammad Amanullah sedang mengecek pertumbuhan tanaman jagung di Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Petani muda, Muhammad Amanullah sedang mengecek pertumbuhan tanaman jagung di Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Amanullah adalah potret generasi petani milenial yang memilih melawan arus urbanisasi. Di saat banyak anak muda meninggalkan desa, ia bertahan melanjutkan tongkat estafet orangttuanya. Motivasinya sederhana namun mendalam, yakni menjaga warisan keluarga.

"Kalau saya, mau jadi petani karena pengin meneruskan Bapak. Lihat kondisi orangtua di rumah, sedangkan lahan juga ada. Kalau tidak ada salah satu anaknya yang meneruskan profesi orangtua, ladangnya mau digimanain? Akhirnya kejual. Eman-eman (sayang sekali)," tuturnya.

Meski demikian, Amanullah tidak menampik jika jalan yang dipilihnya tidak mudah. Tantangan terbesar bagi anak muda untuk terjun ke dunia pertanian, menurutnya, adalah tata kelola yang rumit, terutama soal pupuk bersubsidi. 

Ia menyaksikan sendiri tidak sedikit kawan sebayanya yang akhirnya menyerah dan berganti haluan lantaran tidak kuat menghadapi situasi tersebut.

Beruntung, kecemasan itu perlahan mulai terurai. Kemudahan distribusi yang dirasakan Amanullah saat ini bukanlah kebetulan semata, melainkan dampak langsung dari transformasi regulasi pemerintah yang berkolaborasi dengan PT Pupuk Indonesia (Persero).

Sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi pada Januari 2025, yang diikuti aturan teknis pelaksanaannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 15 Tahun 2025, rantai distribusi pupuk bersubsidi yang selama ini membelit petani akhirnya terpangkas secara fundamental.

Pupuk Indonesia sebagai operator kini menerapkan konsep Penerima Pupuk Subsidi pada Titik Serah (PPTS). Jika dulu pupuk harus melewati empat pos panjang—dari produsen, distributor provinsi, kabupaten, hingga pengecer—kini jalurnya dipotong drastis.

Efisiensi itu adalah buah dari beleid tersebut, yang meringkas 145 aturan lama yang tumpang tindih. Hasilnya—seperti yang dialami Amanullah—petani bisa lebih mudah mengakses dan menebus pupuk bersubsidi. Selain itu, harga pupuk bisa ditekan hingga 20 persen dengan jaminan stok yang lebih pasti.

Petani muda yang juga Bendahara Kelompok Tani Maju Mulyo, Muhammad Amanullah (kanan) menebus pupuk bersubsidi di kios Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) UD Jambul di Desa Pucang, Secang, Kabupaten Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Petani muda yang juga Bendahara Kelompok Tani Maju Mulyo, Muhammad Amanullah (kanan) menebus pupuk bersubsidi di kios Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) UD Jambul di Desa Pucang, Secang, Kabupaten Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Di lapangan, kios PPTS memegang peran sebagai ujung tombak pendistribusian pupuk bersubsidi. Bekerja di bawah kontrak strategis dengan Pupuk Indonesia, mereka bertugas menyalurkan pupuk subsidi langsung ke tangan petani yang berhak dengan pengawasan ketat agar tepat sasaran.

Fatkhur Arif (38), pengelola Kios PPTS Jambul di Desa Pucang, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, merasakan betul dampak perubahan tersebut. Pria yang sudah berkecimpung dalam distribusi pupuk sejak 2013 itu mengakui bahwa tata kelola saat ini jauh lebih rapi dan aman.

Tanggung jawabnya tidak main-main. Setiap hari, Fatkhur melayani sekitar 20 kelompok tani yang tersebar di empat desa: Purwosari, Donorojo, Secang, dan Pucang.

"Kalau dari laporan petani, sekarang lebih enak karena sudah digitalisasi. Semuanya serba lewat HP sekarang. Yang kemarin-kemarin masih manual, sekarang lebih simpel, lebih gampang," ujarnya.

Selain kemudahan teknis, Fatkhur juga merasa beban psikologisnya berkurang. Transparansi data membuatnya tidak lagi waswas akan potensi penyelewengan.

"Semua transparan dan terverifikasi, jadi saya ini ayem (tenang) dan gak takut mendistribusikan pupuk karena data sudah jelas," tambahnya.

Bagi Fatkhur, terobosan penggunaan KTP sebagai alat verifikasi adalah kunci yang mempercepat penyerapan pupuk di tingkat akara rumput. Hal itu menghapus kendala klasik Kartu Tani yang kerap bermasalah.

"Kalau pakai Kartu Tani tapi kartunya bermasalah, petani harus mengurus di bank. Harus antre, yang menyebabkan pupuk tidak terserap. Kan mereka pasti gak bisa nebus pupuknya. Apalagi di sini petani kalau untuk ke bank mengurus Kartu Tani malas karena habis waktu, uang, tenaga, jadi menghambat penebusan pupuk,“ jelas Fatkhur.

Memahami kondisi demografis pelanggannya, Fatkhur tidak mau hanya duduk menunggu di kios. Ia menerapkan strategi "jemput bola"—mengantarkan pupuk bersubsidi langsung ke rumah petani yang tak sanggup datang.

"Di lapangan, banyak petani yang sudah tua, lansia, mpun sepuh. Untuk datang ke sini tidak memungkinkan. Jauh, gak ada kendaraan, bawa pupuknya juga susah, hidup sendirian. Jadi, saya harus menjembataninya. Mau gak mau ya harus antar ke sana," ungkapnya.

Langkah Fatkhur bukan sekadar layanan tambahan, melainkan sebuah kebutuhan nyata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat, rata-rata usia petani Indonesia mencapai 50 tahun. Kondisi serupa terjadi di Kecamatan Secang, di mana mayoritas petani sudah memasuki usia senja.

Karena itulah, Fatkhur membuka berbagai kanal kemudahan. Mulai dari layanan antar, penggunaan surat kuasa yang bisa diwakilkan keluarga, hingga bantuan pendaftaran petani baru melalui Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) secara berkala.

"Kemudahan-kemudahan sudah diberikan, sudah ditawarkan. Tinggal kembalikan lagi ke petani,” tegasnya.

Sutinah (65), petani perempuan memanen padi di Desa Candiretno, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Sutinah (65), petani perempuan memanen padi di Desa Candiretno, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Salah satu yang mendapat manfaat dari inisiatif tersebut adalah Sutinah. Warga Desa Candiretno, Kecamatan Secang berusia 65 tahun itu tidak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. Keruwetan yang dulu ia rasakan kini sirna berkat kemudahan yang diberikan Fatkhur.

"Sekeco sakniki, sampun mboten kangelan pados pupuk. Gampil, beto KTP saged, diterke nggih saged. (Enak sekarang, sudah tidak kesulitan mencari pupuk. Mudah, bawa KTP saja sudah bisa, diantar juga bisa.),” akunya semringah kepada IDN Times.

Teknologi sebagai Tulang Punggung

Petugas kios Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) UD Jambul, Fakhur Arif (kanan) memindai KTP petani satu per satu menggunakan aplikasi iPubers saat penebusan pupuk bersubsidi di Desa Pucang, Secang, Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Petugas kios Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) UD Jambul, Fakhur Arif (kanan) memindai KTP petani satu per satu menggunakan aplikasi iPubers saat penebusan pupuk bersubsidi di Desa Pucang, Secang, Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Transformasi distribusi tersebut tidak lepas dari peran teknologi sebagai tulang punggung. PT Pupuk Indonesia mengembangkan iPubers (Integrasi Pupuk Bersubsidi), sebuah aplikasi pintar yang mengintegrasikan basis data alokasi dari Kementerian Pertanian (Kementan) dengan stok produsen secara real-time.

Sistem tersebut bermuara pada command center yang memungkinkan pemantauan pergerakan pupuk secara detail, mulai dari pabrik hingga ke titik penebusan oleh petani. Transparansi tersebut menjadi kunci akuntabilitas subsidi negara untuk pupuk yang nilainya mencapai Rp44,16 triliun pada 2025, dengan total alokasi mencapai 9,5 juta ton. 

Adapun, untuk tahun 2026 sendiri, anggaran pupuk bersubsidi meningkat mencapai Rp46,87 triliun dengan total alokasi sebanyak 9,8 juta ton.

Di tingkat kios, Fatkhur terbantu oleh layanan digitalisasi yang disediakan Pupuk Indonesia tersebut. Sepanjang tahun 2025, penyerapan pupuk di wilayahnya menjadi optimal. Untuk pupuk NPK mencapai 95 persen untuk NPK dan Urea kisaran 85 persen.

"Dari bulan ke bulan, dari awal Januari sampai sekarang akhir Desember 2025, gak ada pupuk kurang. Sangatlah aman pasokan, stok, dan distribusinya,” tegas Fatkhur.

Senior Vice President Strategi Penjualan dan Pelayanan Pelanggan PT Pupuk Indonesia, Asep Saiful Muslim mencatat skala yang masif dari sistem digitalisasi iPubers. Ia mengatakan, sejak diluncurkan pada Januari 2024, hingga Desember 2025, sistem iPubers sudah memproses lebih dari 44 juta transaksi. Rata-rata, terdapat 2,5 juta transaksi penebusan setiap bulannya.

Asep menekankan satu aturan main yang tidak bisa ditawar, yakni stok di tingkat Pelaku Usaha Distribusi (PUD) dan PPTS (kios) wajib tersedia. Ia mewanti-wanti, jika terjadi kekosongan, hal tersebut harus segera dilaporkan untuk dievaluasi demi menjaga kelancaran pasokan pupuk ke petani.

"Dengan penyederhanaan regulasi dan digitalisasi, untuk pertama kalinya dalam sejarah, petani bisa menebus pupuk tepat sejak pergantian tahun, yakni 1 Januari 2025 pukul 00.00," katanya saat seminar daring (webinar) Sosialisasi Peraturan Mendukung Swasembada Pangan yang diadakan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Selasa (18/11/2025).

Selain kecepatan, Asep juga mengapresiasi fleksibilitas regulasi anyar itu. Kini, proses perubahan alokasi atau realokasi bisa dilakukan dengan kilat—hanya 3x24 jam di tingkat provinsi dan 5x24 jam di pusat. 

Terobosan tersebut juga menjadi kunci percepatan penyaluran pupuk kepada petani yang terdaftar dalam e-RDKK.

Momentum perbaikan tata kelola itu menemukan titik puncaknya pada 22 Oktober 2025. Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, resmi menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi sebesar 20 persen lewat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1117/Kpts./SR.310/M/10/2025 Tahun 2025.

Kebijakan tersebut seketika membuat napas petani lebih lega karena harga pupuk makin terjangkau oleh mereka.

Pupuk Urea yang semula dibanderol Rp112.500 per karung (kemasan 50 kg), kini bisa ditebus seharga Rp90.000. Sementara itu, pupuk NPK (Phonska) turun dari Rp115.000 menjadi Rp92.000.

Sukardi (55), petani padi asal Dusun Pongangan, Desa Candiretno, merasakan langsung dampak penghematan itu. 

"Ya, mudah dan murah sekali sekarang pupuknya. (Harganya) Rp90 ribu. Sebelumnya Rp112.500 ribu, sudah turun," ujarnya singkat.

Bagi petani gurem seperti Sukardi, selisih harga itu sangat berarti. Dengan menggarap enam petak sawah yang menghasilkan sekitar 2,5 ton gabah, Ia membutuhkan setidaknya empat karung Urea untuk sekali musim tanam. 

Dari harga baru pupuk tersebut, ia bisa menghemat Rp90.000 hingga Rp100.000 per musim, yang mana jumlah itu cukup untuk menutupi kebutuhan dapur lainnya.

Sementara itu, Ganang Aswin (32), petani muda dari Desa Purwosari, menaruh harapan yang lebih tinggi. Meski bersyukur adanya penurunan harga pupuk, ia berharap pemerintah terus konsisten berpihak pada petani kecil.

“Pupuk di harga angka Rp90.000 masih bisa terkondisikan dari budget para petani. Mungkin pemerintah bisa turun (jadi) Rp75 ribu," harapnya.

Kombinasi antara sistem digital yang transparan dan harga yang ramah kantong memicu lonjakan penyerapan pupuk secara nasional.

Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian, Jekvy Hendra memaparkan data yang signifikan. Jika sebelumnya rata-rata penyerapan harian berkisar 18.000 hingga 27.000 ton, pascapenurunan harga pupuk, angka itu meroket menembus 32.000 hingga 61.000 ton per hari.

"Hari ini pupuk tembus ke posisi hampir mencapai 7,039 juta ton yang tersebar di seluruh Indonesia. Lonjakan luar biasa ini menandakan bahwa sebenarnya ini yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat," kata Jekvy.

Menuju Swasembada Pangan

Petugas kios Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) UD Jambul, Fakhur Arif (kanan) bersama Bendahara Kelompok Tani Maju Mulyo, Muhammad Amanullah (kiri) mengangkut karung pupuk bersubsidi untuk diantar ke petani Desa Purwosari, Secang, Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Petugas kios Penerima Pupuk pada Titik Serah (PPTS) UD Jambul, Fakhur Arif (kanan) bersama Bendahara Kelompok Tani Maju Mulyo, Muhammad Amanullah (kiri) mengangkut karung pupuk bersubsidi untuk diantar ke petani Desa Purwosari, Secang, Magelang, Senin (22/12/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Kendati demikian, di balik transformasi positif tersebut, pemerintah tidak menampik bahwa jalan menuju kesempurnaan tidak selalu mulus. Jekvy mengakui masih terjadi riak-riak miskomunikasi di lapangan yang memicu ketimpangan distribusi pupuk bersubsidi.

“Kami sudah melakukan realokasi besar-besaran dari beberapa provinsi. Ini sesuatu yang sangat terbalik, karena ada daerah yang mengembalikan alokasi, padahal di daerah lain masih kekurangan," ungkap Jekvy jujur.

Akar persoalan lainnya terletak pada akurasi data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Ia menyebutkan, masih ditemukan petani yang mengajukan kebutuhan pupuk untuk dua hingga tiga kali musim tanam, padahal kondisi lahan atau irigasinya hanya memungkinkan satu kali tanam. Disparitas itulah yang menciptakan ketimpangan alokasi.

“Masalah akurasi data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) juga masih menjadi kendala, di mana pengajuan kebutuhan kerap tidak sesuai kondisi riil lahan,” akunya.

Perbaikan tata kelola pupuk bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai visi yang lebih besar, yaitu demi swasembada pangan tahun 2027. Hasilnya mulai terlihat. 

BPS memproyeksikan produksi beras sepanjang Januari–Desember 2025 mencapai 34,77 juta ton, naik signifikan sebesar 13,54 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan tingkat konsumsi beras nasional sebesar 30,98 juta ton, Indonesia diperkirakan menikmati surplus beras sebesar 3,79 juta ton.

Lebih membanggakan lagi, cadangan beras pemerintah per Juli 2025 tercatat sudah mencapai 4,2 juta ton. Capaian itu merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah, dan sepenuhnya berasal dari keringat petani dalam negeri tanpa impor.

Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian, Indra Zakaria Rayusman menyatakan, orkestrasi besar tersebut mustahil terwujud tanpa kerja sama.

"Dengan saling bergandengan tangan, sinergi dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, daerah, Pupuk Indonesia, dan aparat penegak hukum, maka target swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat terwujud," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

Menolak Urbanisasi ke Kota Demi Bertani di Desa Berkat Kemudahan PPTS

31 Des 2025, 20:04 WIBNews