Ikut Tren Tektok, Pendaki Cewek Tewas saat Rekam Video di Gunung Muria

- Proses evakuasi sulit dan berbahaya
- Pendaki minim persiapan, jalur berbahaya diabaikan
- Imbauan serius untuk pendaki dan basecamp
Kudus, IDN Times - Seorang pendaki perempuan bernama Jovita Diva Pramudawardani (21), warga Desa Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus ditemukan meninggal dunia setelah terjatuh ke jurang sedalam 180 meter saat menuruni jalur Natas Angin via Rahtawu. Korban yang baru saja menyelesaikan studinya di Universitas Muhammadiyah Kudus itu melakukan pendakian tektok—naik dan turun dalam satu hari—bersama dua rekannya.
1. Tantangan proses evakuasi

Peristiwa itu terjadi pada Selasa (24/6/2025) sekitar pukul 15.30 WIB. Berdasarkan keterangan dari Kepala Basarnas Semarang, Budiono, korban tengah merekam pemandangan saat menuruni gunung dan diduga terpeleset ke jurang di sisi jalur yang dikenal warga sebagai jalur naga—jalur tanah sempit dan curam yang sering dilalui pendaki.
“Kami menerima laporan dari basecamp dan segera mengirim tim rescue dari Pos SAR Jepara. Tapi karena kondisi jurang sangat terjal, medan berbahaya, dan malam mulai gelap, proses evakuasi baru bisa dilakukan penuh pada pagi harinya,” ujar Budiono dalam keterangan resminya, Rabu (25/6/2025).
Pada Rabu pagi pukul 07.00 WIB, tim SAR gabungan yang terdiri dari personel Basarnas, relawan, dan petugas dari berbagai organisasi pencinta alam kembali melanjutkan pencarian. Evakuasi dilakukan dengan menggunakan tiga utas tali sepanjang masing-masing 200 meter, karena medan jurang yang sangat curam dan minim penopang tali (anchor).
“Tim turun ke jurang menggunakan teknik tali, dua orang turun bergantian—satu membuka jalur, satu membawa kantong jenazah. Pukul 11.20 WIB korban ditemukan, lalu berhasil dibawa ke atas pukul 14.00 WIB dan langsung dievakuasi ke RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus,” ujar Koordinator Lapangan Basarnas Pos SAR Jepara, Ali Usman.
Menurut Ali, korban ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa dengan luka berat di bagian kepala, yang kemungkinan besar menjadi penyebab kematiannya akibat benturan batu saat terjatuh.
2. Pendaki minim persiapan, jalur berbahaya diabaiakan

Dalam pendakian tersebut, Jovita tidak sendirian. Ia bersama dua temannya, Avika Febiana Wibowo (13) dan Willy Restu Mahadewa (15). Mereka memulai pendakian dari rumah sekitar pukul 07.00 WIB dan sampai ke puncak Natas Angin pukul 13.00 WIB.
Saat turun sekitar pukul 14.00 WIB, mereka memilih melewati jalur tanah di samping jalur utama berbatu, yang disebut warga sebagai jalur naga. Sekitar 15 menit setelah menuruni jalur tersebut, teman korban mendengar suara teriakan dan benda terjatuh.
“Korban waktu itu masih memegang ponsel dan merekam pemandangan saat berjalan. Kemungkinan kurang fokus hingga terpeleset,” ungkap salah satu pendaki lain yang berada di rombongan belakang.
3. Pentingnya edukasi pendaki muda

Atas kejadian itu, Basarnas dan para relawan menyampaikan duka mendalam sekaligus mengingatkan para pendaki agar lebih waspada dan mempersiapkan diri secara matang. Baik dari sisi fisik, mental, maupun perlengkapan dan pengetahuan medan.
Ia menekankan pentingnya kesadaran dari para pendaki terhadap risiko di alam terbuka.
“Kami berharap basecamp pendakian ikut memberi edukasi pada pendaki, termasuk memberi tanda bahaya dan mengarahkan untuk tidak menggunakan jalur berisiko seperti ‘jalur naga’. Kami juga imbau agar pendaki lebih disiplin dan tidak meremehkan medan,” tegas Ali Usman.
Kematian Jovita menjadi pengingat bahwasanya alam, meskipun indah, menyimpan bahaya jika tidak didekati dengan bijak. Aktivitas tektok yang kini digemari pendaki muda harus disertai pemahaman rute dan batas kemampuan fisik. Edukasi, pendampingan, serta pengawasan dari basecamp dan komunitas menjadi bagian penting untuk mencegah insiden serupa.