Koperasi Desa, Antusias Diawal, Tertahan di Permodalan dan Regulasi

- Tantangan modal dan infrastruktur Desa Randegan
- Pentingnya pelatihan dan penguatan kapasitas berkelanjutan
- Pakar Unsoed desak pemerintah terapkan pendekatan iklusif dan berkelanjutan
- Tantangan modal dan infrastruktur Desa Randegan
- Pentingnya pelatihan dan penguatan kapasitas berkelanjutan
- Pakar Unsoed desak pemerintah terapkan pendekatan iklusif dan berkelanjutan
Banyumas, IDN Times - Semangat warga Desa Rantegan untuk membentuk Kooperasi Desa Merah Putih (KDMP) muncul setelah terbitnya Instruksi Presiden tentang percepatan pembentukan kooperasi. Masyarakat desa menyambut dengan antusias, berharap program ini menjadi langkah konkret untuk memperkuat ekonomi warga melalui gotong royong dan pengelolaan usaha bersama.
Namun, perjalanan pembentukan KDMP di Randegan tak semulus yang dibayangkan. Awalnya, sebagian warga dan pengurus berasumsi bahwa pemerintah akan memberikan dukungan penuh, termasuk bantuan modal. Namun setelah berbagai aturan turun dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Koperasi, harapan itu perlahan berubah. Ternyata, modal awal untuk koperasi harus bersumber dari pinjaman ke Bank HIMBARA, bukan dana hibah pemerintah seperti yang banyak dibayangkan.
“Awalnya saya kira koperasi ini akan langsung dibiayai pemerintah. Tapi ternyata harus pinjam ke bank. Dari situ semangat warga mulai menurun karena belum punya modal dan lokasi usaha yang layak,” ujar Sarman kepada IDN Times, Kamis (16/10/2025) salah satu pengawas KDMP Randegan yang juga menjabat sebagai kepala desa.
1. Tantangan modal dan infrastruktur

Desa Randegan sebenarnya memiliki sejumlah aset potensial seperti tanah di pinggir jalan raya dan bangunan bekas gedung PKD. Namun, bangunan tersebut kini rusak dan membutuhkan revitalisasi. Untuk memperbaikinya diperlukan modal besar, sementara dana anggota masih sangat terbatas.
Sistem iuran yang dirancang, yaitu iuran pokok Rp100 ribu dan iuran wajib Rp10 ribu per bulan, dinilai belum cukup untuk membangun modal usaha. "Kalau mau terkumpul Rp1 miliar saja, harus ada ribuan anggota. Padahal sekarang anggota baru sembilan orang, itu pun pengurus dan pengawas," jelasnya.
Padahal, menurut perhitungan awal, bisnis koperasi seperti penyediaan pupuk, LPG, dan kebutuhan usaha lainnya membutuhkan modal minimal Rp2-3 miliar. Kondisi ini membuat langkah koperasi berjalan di tempat, sementara rencana usaha belum bisa dijalankan.
Salah satu persoalan utama yang dihadapi adalah ketiadaan regulasi yang jelas soal penggunaan dana desa untuk permodalan koperasi. Pemerintah memang membuka peluang koperasi mengakses kredit perbankan dengan jaminan dana desa, namun hal ini menimbulkan keraguan di tingkat lokal.
"Kalau dana desa dijaminkan, apakah tidak melanggar undang undang? Kami butuh kepastian hukum agar kepala desa tidak terjerat masalah,"ujarnya.
Ia menilai, akan lebih baik jika pemerintah membuat payung hukum yang tegas, seperti halnya pengelolaan BUMDes, di mana dana desa dapat langsung digunakan sebagai modal dasar.
2. Pentingnya pelatihan dan penguatan kapasitas berkelanjutan

Dari sisi kapasitas, beberapa pengurus KDMP Randegan telah mengikuti pelatihan yang difasilitasi melalui dana aspirasi dengan narasumber dari Kementerian Koperasi. Namun, hasil evaluasi menunjukkan bahwa koperasi koperasi yang sudah berjalan umumnya dikelola oleh kelompok berduit. Hal ini membuat pengurus KDMP Randegan kembali merenungkan konsep koperasi yang mestinya berpihak pada petani kecil, penerima PKH, dan masyarakat menengah bawah.
Meski begitu, pelatihan dan sosialisasi tetap dianggap penting. Pemerintah daerah diharapkan bisa membantu memberikan pendampingan berkelanjutan, baik dalam bentuk pelatihan teknis, manajemen, maupun akses permodalan.
Saat ini, KDMP Randegan telah memiliki struktur pengurus dan akta notaris, namun belum memiliki unit usaha aktif. Dalam waktu dekat, desa berencana menggelar musyawarah desa untuk merekrut anggota baru dan merancang langkah awal operasional.
Pengurus berharap pemerintah dapat mempercepat regulasi penggunaan dana desa untuk modal koperasi, agar program ini bisa berjalan nyata di tingkat akar rumput.
"Kalau bisa seperti BUMDes saja. Modal dari dana desa dulu, baru setelah berjalan bisa pinjam ke bank. Kalau tidak, ya kita akan terus terjebak di tahap awal,"pungkasnya
3. Pakar Unsoed desak pemerintah terapkan pendekatan iklusif dan berkelanjutan

Program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dinilai memiliki potensi besar menjadi pilar ekonomi rakyat, namun implementasinya masih terhambat oleh sejumlah persoalan mendasar. Hal itu disampaikan oleh Pakar Perkoperasian yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Agus Suroso, dalam analisisnya terkait arah kebijakan pengembangan KDMP di tingkat nasional dan desa.
Prof Agus juga menekankan ada empat permasalahan utama yang saat ini menghambat laju KDMP adalah sulitnya akses permodalan, regulasi yang belum matang, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), serta model bisnis yang belum jelas.
"Banyak koperasi belum memiliki dana awal yang memadai, harapan akan bantuan langsung dari pemerintah pun belum sepenuhnya terealisasi. Sementara itu, regulasi antar daerah belum seragam, dan sebagian pengurus masih minim kapasitas manajerial,"ujarnya.
Ia menilai, tanpa intervensi kebijakan yang lebih inklusif dan sinergi lintas sektor, program KDMP berisiko berhenti di level administratif semata, tanpa berdampak signifikan pada ekonomi desa. Prof. Agus menegaskan, percepatan keberhasilan KDMP memerlukan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah, BUMN, swasta, lembaga keuangan, serta akademisi.
4. Solusi dan sinergi lintas sektor

Dari sisi pemerintah, ia mendorong penerapan skema dana bergulir berbasis proposal bisnis, bukan ghanya persyaratan administratif, serta penyederhanaan regulasi agar koperasi desa tidak terjebak dalam birokrasi. Ia juga menekankan pentingnya pelatihan dan pendampingan intensif dengan menggandeng perguruan tinggi dan lembaga masyarakat sipil.
BUMN dan swasta, menurut Prof Agus dapat berperan melalui kemitraan usaha dan program CSR yang mendorong KDMP menjadi bagian dari rantai pasok nasional, khususnya di sektor pertanian dan ketahanan pangan.
Sementara lembaga keuangan perlu menawarkan skema kredit mikro berbasis komunitas dengan jaminan sosial, serta memperluas akses digitalisasi pembiayaan agar koperasi lebih mudah mengakses pinjaman.
Dari sisi akademisi, ia mendorong adanya riset aksi dan penyusunan model bisnis tematik berbasis potensi lokal, mulai dari pertanian, pariwisata, hingga kerajinan desa.
5. Rekomendasi kebijakan strategis

Arah kebijakan yang konsisten dan berbasis kolaborasi akan menentukan masa depan KDMP. "Koperasi desa jangan hanya menjadi simbol partisipasi, tapi harus menjadi mesin ekonomi rakyat yang hidup, produktif, dan berdaya saing,"tambah Prof Agus.
Untuk memperkuat pondasi kelembagaan KDMP, Prof. Agus merekomendasikan lima kebijakan strategis bagi pemerintah:
1. Kebijakan Permodalan Inklusif melalui dana stimulan awal, integrasi ke program Kredit Ultra Mikro (UMi), dan dana bergulir berbasis kinerja.
2. Penguatan SDM dan Pendampingan melalui program inkubasi koperasi dan pelatihan manajemen berbasis digital.
3. Integrasi Rantai Pasok dengan melibatkan KDMP sebagai mitra BUMN dan agen distribusi sektor pangan dan logistik.
4. Penyederhanaan Regulasi dan Insentif Pajak untuk mendorong percepatan legalitas dan kemandirian koperasi baru.
5. Monitoring dan Evaluasi Nasional lewat sistem dashboard digital dan audit berkala oleh lembaga independen.