Mahasiswa Undip Antusias Membedah Film Kekerasan Road to Resilience
- Mahasiswa HI Undip Semarang antusias saksikan film "Road to Resilience" tentang kekerasan ekstremisme di Suriah.
- Film itu menceritakan kisah Febri Ramdani yang terjebak dalam kekejaman ISIS dan direpatriasi ke Indonesia.
- Kampanye edukasi pencegahan ekstremisme juga menghadirkan bedah buku "Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah".
Semarang, IDN Times - Ratusan mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Diponegoro (Undip) Semarang antusias menyaksikan pemutaran film dokumenter "Road to Resilience’’ di kampus tersebut pada Selasa (3/6/2025). Film dengan latar belakang negara Suriah itu menarik perhatian para mahasiswa.
Film ‘’Road to Resilience’’ ini merupakan produksi Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) bersama ruangobrol.id sebagai bagian dari kampanye edukasi pencegahan ekstremisme kekerasan.
1. Kampanye edukasi pencegahan ekstremisme kekerasan
Film itu menceritakan tentang Febri Ramdani, pemuda 22 tahun yang nekat berangkat ke Suriah pada 2016. Ia menyusul ibunya yang telah lebih dulu bergabung dengan jaringan ISIS.
Alih-alih menemukan kehidupan yang dijanjikan, Febri justru terjebak dalam kekejaman dan penindasan. Ia dan 16 anggota keluarganya akhirnya direpatriasi ke Indonesia pada Agustus 2017.
Namun, kepulangan itu bukan akhir perjuangan. Febri harus menghadapi stigma sosial, tekanan ekonomi, serta krisis identitas yang membuatnya sempat mengalami depresi berat.
Usai penayangan film, sosok tokoh utama Febri Ramdani diberondong pertanyaan oleh para mahasiswa yang hadir. Salah satunya Sakina, mahasiswa HI angkatan 2024, mempertanyakan bagaimana Febri bisa mengakses wilayah konflik.
“Bagaimana caranya bisa sampai masuk ke negara konflik? Apa gampang aksesnya?” tanyanya.
2. Film ini ditujukan untuk generasi muda
Pertanyaan lain muncul seputar kondisi di markas ISIS, termasuk situasi yang dihadapi Febri dan keluarganya selama berada di sana. Para mahasiswa menilai film ini sangat relevan dengan sejumlah mata kuliah seperti studi konflik, hubungan internasional kontemporer serta keamanan global.
Direktur ruangobrol.id, Noor Huda Ismail, menegaskan bahwa film ini ditujukan untuk generasi muda karena mereka merupakan kelompok paling rentan terhadap paparan ekstremisme bahkan sejak di bangku sekolah.
‘’Misalnya, mantan Napiter Hadi Masykur yang terpapar sejak di bangku SMP. Tidak sedikit juga yang bergabung saat di bangku kuliah,’’ ungkapnya.
Selain film, kampanye edukasi pencegahan ekstremisme kekerasan ini juga menghadirkan bedah buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah karya Noor Huda Ismail.
3. Strategi komunikasi naratif jangkau publik
Acara itu merupakan bagian dari rangkaian roadshow nasional setelah peluncuran resmi program di Jakarta pada akhir Februari 2025 oleh Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono. Kota Semarang menjadi titik terakhir setelah Jakarta, Bandung, Lampung, dan Surabaya.
Penulis buku, Noor Huda menjelaskan bahwa strategi komunikasi naratif dipilih untuk menjangkau publik secara lebih emosional dan efektif. Alih-alih menyampaikan ceramah normatif, narasi personal digunakan agar pesan lebih mudah dicerna dan mengena.
“Isu terorisme dan radikalisme itu berat dan menakutkan. Namun, lewat film dan kisah nyata, seperti perjalanan Febri, publik bisa memahami bahwa semua ini berawal dari pilihan kecil yang kemudian berdampak besar,” ucapnya.
4. Angkat kisah nyata WNI di Suriah
Sementara, buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah ini mengangkat kisah nyata para WNI yang terlibat dalam konflik Suriah, serta menganalisis motif di balik keterlibatan mereka dengan menggunakan pendekatan teori 3N (needs, networks, narratives) dan identity fusion.
Buku ini menyoroti faktor-faktor pendorong seperti kemiskinan, keterasingan sosial, dan trauma kolektif, serta faktor penarik seperti janji surga, keuntungan ekonomi, atau semangat petualangan. Juga dibahas peran propaganda digital dan media sosial dalam menciptakan ruang gema (filter bubble) yang memperkuat paham ekstrem.
“Kalau pendekatannya hanya lewat ceramah normatif seperti yang biasa dilakukan tokoh agama formal, itu tidak cukup. Anak-anak sekarang belajar dari TikTok, dari influencer, bukan dari ulama,” tandas Huda.