Soal Demo di Pati, Pakar UIN Saizu Jadi Momentum Muhasabah Nasional

- Kebijakan perlu komunikasi publik yang akomodatif agar diterima masyarakat
- Respons pemerintah daerah dinilai konfrontatif dan berisiko memicu kemarahan publik
- Aksi demo di Pati harus menjadi refleksi bagi pejabat dan penyelenggara negara untuk memperbaiki kebijakan dan komunikasi publik
Banyumas, IDN Times - Aksi ribuan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 13 Agustus 2025 memicu perhatian publik nasional. Aksi ini berawal dari penolakan terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen yang ditetapkan Bupati Pati, Sudewo.
Meski kebijakan itu dibatalkan pada 9 Agustus 2025, massa tetap turun ke jalan dan mengembangkan tuntutan menjadi desakan agar bupati mundur.
Pakar Hukum Tata Negara UIN Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M. Wildan Humaidi, kepada IDN Times, Jumat (15/8/2025) menilai momen ini sebagai pelajaran penting bagi penyelenggara pemerintahan.
1. Kebijakan tak cukup hanya mengandalkan prosedur

Wildan menjelaskan, perumusan kebijakan tidak cukup hanya berlandaskan kewenangan dan prosedur hukum. Diperlukan komunikasi publik yang tepat, efektif, dan akomodatif agar kebijakan dapat diterima masyarakat.
"Tanpa komunikasi yang akomodatif, kebijakan berpotensi memicu penolakan dan menurunkan kepercayaan publik,"ujarnya.
Ia menegaskan, proses penyusunan kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat harus melibatkan partisipasi publik. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 1 Tahun 2022, PP No. 45 Tahun 2017, dan Permendagri No. 120 Tahun 2018.
2. Respons pemerintah daerah dinilai konfrontatif

Menurut Wildan, pernyataan Bupati Sudewo yang viral di media sosial, yang dianggap menantang masyarakat untuk berdemo, menciptakan kesan konfrontatif.
"Ucapan seperti ini berisiko memicu kemarahan publik. Kepercayaan rakyat sulit dipulihkan hanya dengan permintaan maaf,"tegasnya.
Wildan menilai, pejabat publik perlu menjaga tutur kata, mengingat kepercayaan masyarakat adalah modal utama jalannya pemerintahan.
3. Demo Pati jadi momentum muhasabah nasional

Wildan menekankan bahwa aksi di Pati harus menjadi refleksi bagi semua pejabat dan penyelenggara negara. Menurutnya, terlalu banyak pernyataan pejabat yang memicu kontroversi lalu diakhiri dengan permintaan maaf tanpa evaluasi mendalam.
"Jika hal ini dibiarkan, proses pemerintahan akan kehilangan legitimasi. Momentum ini harus dijadikan muhasabah untuk memperbaiki kebijakan dan komunikasi publik,"pungkasnya.