Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Etika Berkomunikasi di Era Media Sosial yang Sering Terlupakan 

ilustrasi bermedia sosial (unsplash.com/Berke Citak)
Intinya sih...
  • Komunikasi di media sosial tetap butuh etika, kesalahan kecil bisa berujung panjang
  • Memahami konteks sebelum komentar, baca secara menyeluruh sebelum menulis sesuatu
  • Bertanggung jawab atas informasi yang dibagikan, hindari share hoaks dan rumor sensasional tanpa verifikasi

Di era digital yang serba cepat, media sosial telah jadi etalase utama ekspresi diri. Segala hal bisa dibagikan ke publik hanya dalam hitungan detik, mulai dari pikiran, opini, hingga momen pribadi. Tapi di balik kemudahan itu, sering kali orang lupa kalau komunikasi di ruang digital tetap membutuhkan etika. Kesalahan kecil bisa berujung panjang, apalagi kalau udah viral.

Sayangnya, karena terlalu nyaman berinteraksi lewat layar, banyak yang kehilangan sensitivitas dalam berkomunikasi. Komentar pedas, sindiran, atau bahkan hoaks tersebar begitu saja seolah tanpa konsekuensi. Padahal, dunia maya tetaplah dunia nyata versi digital, dan interaksi di dalamnya bisa berdampak besar. Biar gak salah langkah, ini dia lima etika berkomunikasi di media sosial yang sering terlupakan, tapi penting banget buat diingat.

1. Pahami konteks sebelum berkomentar

ilustrasi berkomentar (unsplash.com/DaryaDarya LiveJournal)

Kadang saking semangatnya menanggapi sesuatu, orang langsung nyamber tanpa tahu ujung-pangkalnya. Misalnya ada yang curhat tentang kehilangan, eh malah dibales dengan candaan receh yang gak nyambung. Komentar yang terkesan “Asal ucap” seperti ini bisa bikin orang merasa gak dihargai atau malah makin sedih. Memahami konteks sebelum nulis komentar itu bukan cuma soal sopan santun, tapi juga soal empati.

Apalagi di media sosial, konteks seringkali hilang karena potongan informasi yang gak utuh. Caption bisa disalahpahami, video bisa dipelintir, dan orang bisa salah nangkep. Maka penting banget untuk baca dulu secara menyeluruh dan pahami situasi sebelum nulis sesuatu. Jangan buru-buru pengen eksis, tapi lupa kalau interaksi itu dua arah dan berdampak panjang.

2. Jangan asal forward informasi

ilustrasi bermedia sosial (unsplash.com/Berke Citak)

Entah kenapa, budaya share sebelum baca makin lama makin umum. Berita clickbait, hoaks, bahkan rumor sensasional sering dioper terus tanpa pikir panjang. Padahal satu kali klik "Bagikan” bisa menyebarkan kesalahan ke ratusan atau ribuan orang. Etika digital berarti bertanggung jawab atas informasi yang dibagikan, bukan cuma jadi penyambung kabar asal-asalan.

Sebelum nge-share sesuatu, pastikan informasi tersebut bener dan berasal dari sumber yang kredibel. Kroscek ke beberapa portal berita resmi atau lihat siapa yang pertama kali posting. Kalau masih ragu, mending tahan dulu. Lebih baik jadi netizen yang kalem dan kritis, daripada jadi penyebar misinformasi tanpa disadari.

3. Hindari menyerang pribadi saat berdebat

ilustrasi bermedia sosial (unsplash.com/Nghia Nguyen)

Berbeda pendapat itu biasa, bahkan sehat dalam demokrasi digital. Tapi sayangnya, banyak yang masih nyampur opini sama serangan personal. Awalnya debat soal isu publik, lama-lama jadi nyerang penampilan, keluarga, atau latar belakang seseorang. Ini bukan cuma gak etis, tapi juga nunjukin betapa miskinnya argumen yang dibawa.

Diskusi yang sehat bisa bikin semua pihak berkembang, tapi kalau udah bawa-bawa hal pribadi, biasanya malah jadi toxic. Menjaga adab dalam berargumen itu penting, karena setiap orang punya batas kesabaran. Media sosial bukan tempat buat pamer ego, tapi ruang buat bertukar pikiran dengan cara yang manusiawi.

4. Hargai privasi orang lain

ilustrasi memfoto orang lain (unsplash.com/tommao wang)

Kebiasaan nge-post tanpa izin kadang dianggap sepele, padahal bisa bikin masalah. Misalnya foto teman yang diunggah pas lagi gak siap, atau curhatan yang discreenshot terus dibagikan ke publik. Batasan antara ruang privat dan publik di media sosial emang makin kabur, tapi itu bukan alasan buat mengabaikan hak orang lain atas privasinya.

Minta izin sebelum nge-post konten yang melibatkan orang lain itu bentuk penghormatan, bukan ribet-ribetin. Sama seperti di dunia nyata, orang juga punya hak untuk bilang “Gak” terhadap eksistensinya di dunia digital. Etika digital artinya sadar bahwa gak semua hal layak diumbar hanya demi engagement atau likes semata.

5. Jangan lupa jadi manusia

ilustrasi bermedia sosial (unsplash.com/Hammad Hary)

Di balik layar, tetap ada manusia yang punya perasaan, luka, dan kehidupan nyata. Kadang karena gak tatap muka, orang jadi lebih mudah nyinyir, nge-bully, atau merendahkan. Padahal yang dibaca atau dilihat itu bisa menancap dalam di kepala seseorang. Empati digital berarti tahu kapan harus diam, kapan harus dukung, dan kapan sebaiknya gak nimbrung.

Media sosial itu powerful, tapi juga fragile. Satu kalimat bisa menguatkan, satu komentar bisa menghancurkan. Jadi, jangan pernah lupakan sisi kemanusiaan waktu main medsos. Pujian, kritik, candaan, semuanya butuh rasa dan niat baik. Dunia digital bakal jadi tempat yang lebih hangat kalau semua ingat bahwa kita ini masih sama-sama manusia.

Media sosial bisa jadi tempat yang menyenangkan kalau penggunanya paham cara berinteraksi dengan bijak. Etika bukan cuma aturan tak tertulis, tapi fondasi penting biar komunikasi tetap sehat. Yuk, jadi bagian dari generasi digital yang bukan cuma aktif, tapi juga bertanggung jawab dalam bertutur kata.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us