Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dari Rp1,2 Juta Jadi Rp11 Ribu: Kala Fisikawan Perempuan Selamatkan Desa dari Krisis Air

Fisikawan perempuan, Umi Salamah menaiki tangga saat mengecek konstruksi PLTS hibrid untuk pompa air di Desa Serut Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (Dok. Kalurahan Serut)
Fisikawan perempuan, Umi Salamah menaiki tangga saat mengecek konstruksi PLTS hibrid untuk pompa air di Desa Serut Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (Dok. Kalurahan Serut)
Intinya sih...
  • Umi Salamah, dosen fisika UAD, membangun PLTS Hybrid di Desa Serut untuk mengatasi krisis air dan listrik.
  • PLTS tersebut mampu menyediakan air bersih bagi 30 KK dengan penghematan biaya listrik hingga 99,08 persen.
  • Sistem PLTS Hybrid juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan ekonomi desa Serut.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Klaten, IDN Times - Setiap musim kemarau, warga Desa Serut di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)  harus menuruni bukit-bukit terjal untuk mencari air bersih. Kondisi geografis Gunungkidul yang berupa karst (batuan kapur) menyulitkan untuk penyimpanan air alami. 

Lebih parahnya lagi, ketika Kelompok Keswadayaan Masyarakat (KKM) Tirta Abadi Jaya berhasil membangun sumur bor, biaya listrik untuk menjalankan pompa air mencapai Rp1,2 juta setiap dua bulan. Kondisi itu menjadi beban berat bagi masyarakat yang berpenghasilan terbatas.

Namun, kini tagihan listrik mereka menyusut drastis menjadi hanya Rp11 ribu per dua bulan. Penghematan fantastis sebesar 99,08 persen tersebut bukan keajaiban, melainkan hasil kerja keras Umi Salamah, fisikawan Fakultas Sains dan Teknologi Terapan (FAST) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang mengimplementasikan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid untuk otomatisasi pompa air bersih.

"Di perguruan tinggi, PLTS adalah hal biasa. Tapi ternyata di masyarakat desa, ini teknologi yang sangat mewah," kata perempuan berusia 38 tahun, yang lahir dan besar di Gunungkidul sebelum pindah ke Mlece, Gantiwarno, Klaten, setelah menikah itu kepada IDN Times, Minggu (16/11/2025).

Dari Krisis Air ke Solusi Berkelanjutan

Persoalan Desa Serut bukan sekadar kelangkaan air, tetapi juga akses air minum yang layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan, sebanyak 8,28 persen penduduk Indonesia—setara jutaan jiwa—belum memiliki akses air minum layak. 

Kondisi tersebut diperparah oleh pemadaman listrik yang sering terjadi saat cuaca buruk akibat topografi berbukit dan banyak pohon di daerah Gunungkidul. Pemadaman ini tidak hanya menghentikan distribusi air, tetapi juga merusak komponen pompa akibat fluktuasi daya.

"Waktu kami masuk ke Desa Serut tahun 2016, air dijual pakai tangki seharga hampir Rp200 ribu. Warga yang punya ternak seperti sapi dan kambing sangat kesulitan. Ada yang setiap hari bawa jeriken ke desa lain untuk mengambil air," kenang Umi, yang memperoleh gelar doktor dari Universitas Brawijaya Malang itu

Melihat kondisi mendesak tersebut, Umi—yang tahu persis kesulitan daerah asalnya—mengusulkan solusi teknologi tepat guna. Pada tahun 2021, tim program Produk Teknologi yang Diseminasikan kepada Masyarakat (PTDM) UAD yang ia pimpin menerima hibah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) senilai sekitar Rp110 juta.

Instalasi PLTS berkapasitas 5.000 Watt Peak (WP) itu dimulai Agustus 2021. Sistem PLTS terdiri dari 20 panel surya masing-masing 250 watt, yang dirancang untuk mencatu pompa air berdaya 2.700 watt yang memompa air dari kedalaman 100 meter ke puncak bukit, kemudian dialirkan ke rumah warga secara gravitasi.

Keunikan sistem tersebut terletak pada konfigurasi Grid-Tie Hybrid yang dilengkapi Automatic Transfer Switch (ATS) dan teknologi Internet of Things (IoT).

"Kami pakai sensor PZEM-004T dan INA219 dengan mikrokontroler NodeMCU ESP8266. Sistemnya bisa dimonitor lewat smartphone via aplikasi SmartESS (aplikasi pemantau sistem penyimpanan energi (seperti baterai) dan sistem tenaga surya untuk menampilkan data secara real-time melalui ponsel)," jelas Umi.

Ketika tegangan PLTS turun di bawah 10 volt—misalnya saat mendung—sistem otomatis beralih ke jaringan grid milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Delay switching juga hanya 43 milidetik sehingga memastikan pompa tidak mati mendadak.

"Kontrolnya kita atur: energi dari PLTS diprioritaskan, PLN sebagai cadangan. Ini lebih efisien daripada sistem off-grid murni yang butuh investasi baterai mahal," imbuh Umi.

Tim PTDM yang beranggotakan Qonitatul Hidayah, Sri Handayaningsih, Damar Yoga Kusuma, dan Apik Rusdiarna, bekerja sama erat dengan KKM Tirta Abadi Jaya, BUMDes Karya Manunggal Jaya, Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Gunung Jambu, dan Pemerintah Kalurahan Serut.

Pada peresmian Kamis (28/10/2021) dihadiri Bupati Gunungkidul periode 2021—2025, Sunaryanta dan Rektor UAD, Prof Muchlas.

"Bupati menekankan agar masyarakat menjaga peralatan ini sebaik-baiknya. Dukungan politik ini krusial untuk keberlanjutan," kata Umi.

Dampak Nyata dan Terukur

Sistem PLTS hibrid yang dibangun Umi kini melayani 30 kepala keluarga (KK) dengan target ekspansi hingga 100 KK. Dengan asumsi empat jam sinar matahari efektif per hari, PLTS tersebut mampu menghasilkan sekitar 20 ribu watt-hour, menyisakan surplus 200 watt-hour setelah memenuhi kebutuhan pompa dan 18 titik penerangan jalan umum.

"Pompa bisa nyala 11 jam sehari. Air tetap mengalir meski PLN mati. Ini mengubah hidup warga," ungkap Sugiyanto, anggota KKM, dalam video dokumentasi proyek mereka.

Dampak lingkungan juga signifikan. Sistem tersebut mengurangi emisi karbon dioksida sekitar 0,0215 ton per hari dan ikut mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) ke-6 tentang air bersih dan ke-7 tentang energi bersih yang terjangkau.

Secara ekonomi, penghematan biaya listrik dari Rp7,2 juta per tahun menjadi hanya Rp66 ribu memungkinkan KKM mengalokasikan dana untuk pemeliharaan dan pengembangan. Dengan investasi awal Rp110 juta, titik impas (Break Even Point/BEP) bisa tercapai dalam kurang dari dua tahun.

Meski demikian, kesuksesan teknis tidak otomatis menjamin keberlanjutan. Umi menyadari tantangan terbesarnya adalah kesenjangan pengetahuan antara dunia akademis dan masyarakat desa.

"Gap-nya sangat jauh. Kami harus melatih tim teknis lokal—lima orang dari desa agar meraka melek soal energi, kelistrikan, dan teknologi. Seperti bagaimana mengukur daya baterai pakai voltmeter, membaca data monitoring, hingga perawatan dasar," jelasnya.

Tim PTDM juga mengadakan pelatihan intensif tentang perhitungan biaya, instalasi, perawatan, dan penggunaan IoT untuk mereka.

"Kami tidak hanya serah terima aset, tapi memastikan mereka bisa mandiri mengelolanya," tambah Umi.

Model Replikasi Triple Helix

Keberhasilan Desa Serut menarik perhatian nasional. Pada tahun 2022, Umi Salamah menerima SATU Indonesia Awards tingkat provinsi Jawa Tengah kategori teknologi dari Astra, meski ia tinggal di Klaten dan mengajar di Yogyakarta.

"UAD di Yogyakarta, tapi saya tinggal di Klaten, Jawa Tengah. Apresiasi ini based on tempat tinggal saya," kenangnya.

Proyek tersebut menerapkan model Triple Helix, kolaborasi akademisi, komunitas, dan pemerintah.

"Tanpa dukungan Bupati dan komitmen KKM, teknologi ini tidak akan berkelanjutan," tegas Umi.

Indonesia sendiri menurut Kementerian ESDM diketahui memiliki potensi energi surya yang besar, mencapai 4,8 KWh/m² atau setara 112.000 GWp. Di Gunungkidul, 70–80 persen penduduk bekerja di sektor pertanian yang sangat membutuhkan air.

"Harapan saya, ini bisa diduplikasi ke tujuh dusun lain di Desa Serut yang punya 10 titik mata air. Sambil duplikasi, kita edukasi masyarakat biar mereka bisa merawat sendiri," ujar Umi, yang sejak 2016 sudah memasang PLTS di masjid setempat.

Model Desa Serut relevan untuk daerah terpencil lain dengan masalah serupa—terutama di wilayah karst, pegunungan, atau Indonesia Timur. Kuncinya menurut Umi: identifikasi masalah akurat, kemitraan kuat, pelatihan berkelanjutan, dan integrasi IoT untuk monitoring jarak jauh.

"Teknologi harus sampai ke masyarakat, tidak berhenti di jurnal akademik. Kami di fisika instrumentasi UAD memang fokus riset PLTS. Sekarang kampus kami juga punya PLTS rooftop," katanya.

Umi, ibu dua anak yang hobinya berkegiatan, menekankan pentingnya passion dalam pengabdian.

"Saya senang kalau bisa membina, melihat teknologi benar-benar mengubah hidup orang."

Kini, setelah proyek diserahterimakan ke Kalurahan pada 2023, Umi tetap memantau via sistem IoT dan sesekali turun langsung.

"Monitoring tidak langsung, karena Serut jadi desa mitra kami untuk program lain seperti Smart Farming. Jadi kami tetap tahu kondisi PLTS-nya."

Kisah Umi Salamah membuktikan bahwa inovasi teknologi, bila dilandasi empati dan kolaborasi, sehingga dapat mengubah krisis menjadi kemandirian satu desa pada satu waktu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us

Latest News Jawa Tengah

See More

Dari Rp1,2 Juta Jadi Rp11 Ribu: Kala Fisikawan Perempuan Selamatkan Desa dari Krisis Air

18 Nov 2025, 23:38 WIBNews