Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Konsumen Tembakau Tolak Regulasi yang Dianggap Berpihak ke Asing

ilustrasi tembakau (unsplash.com/Afif Ramdhasuma)
Intinya sih...
  • Konsumen dan pelaku industri hasil tembakau menolak PP 28/2024 dan R-Permenkes terkait pengendalian tembakau
  • Regulasi dianggap tidak adil dan mengabaikan ekosistem pertembakauan dalam negeri
  • Kementerian Kesehatan dinilai terlalu berpihak pada kepentingan asing, tanpa mempertimbangkan dampak nyata di Indonesia

Semarang, IDN Times - Polemik regulasi pertembakauan kembali mencuat. Para konsumen dan pelaku industri hasil tembakau (IHT) menolak Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) tentang pengendalian tembakau. Mereka menilai regulasi ini tidak adil dan cenderung mengabaikan ekosistem pertembakauan dalam negeri.

1. Campur tangan asing dinilai terlalu kuat

Ilustrasi tumpukan daun tembakau. (IDNTimes/Febriana Sinta)

Ketua Umum Pakta Konsumen Nasional (PakNas), Ary Fatanen mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan dalam regulasi yang mereka rancang.

"Industri hasil tembakau saat ini semakin terdesak oleh aturan yang tidak berkeadilan. Sebagai konsumen, kami juga terdampak. Regulasi ini terus mendiskreditkan kami tanpa mempertimbangkan efek jangka panjangnya terhadap penerimaan negara," katanya dilansir keterangan resminya Senin (16/2/2025).

PakNas juga menyoroti kecenderungan Kemenkes dalam merancang regulasi yang dianggap terlalu berpihak pada kepentingan asing. Ary mencontohkan bagaimana Amerika Serikat, sebagai negara adidaya, telah keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) demi mempertahankan independensinya dalam kebijakan kesehatan.

"Indonesia adalah negara besar dengan ekosistem pertembakauan yang kompleks, dari hulu hingga hilir. Regulasi harusnya dibuat berdasarkan realitas di masyarakat, bukan sekadar mengikuti standar asing tanpa kajian yang matang," ujarnya.

2. Mempertanyakan Perda KTR

Petani tembakau di Desa Ngale, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun pilih panen dini. IDN Times/ Riyanto.

Lebih lanjut, Ary menyoroti bahwa langkah pemerintah yang terburu-buru dalam menyelesaikan regulasi itu bisa berdampak pada penegakan hukum yang berat sebelah. Stigma negatif terhadap konsumen tembakau, menurutnya, makin memperburuk situasi.

"Banyak daerah yang tergesa-gesa mengesahkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) hanya demi memenuhi kewajiban dari pemerintah pusat. Padahal, implementasi dan pengawasannya di lapangan sering kali tidak jelas dan cenderung merugikan masyarakat tertentu," tambahnya.

Sementara itu, Ketua Komunitas Pecinta Tabacum Nusantara Indonesia (KPTNI), Eggy BP turut mempertanyakan urgensi aturan-aturan baru itu.

"Apakah memang sebegitu mendesaknya regulasi ini sehingga harus disusun tanpa melibatkan masyarakat terdampak, termasuk konsumen?" ucapnya.

Menurut Eggy, kebijakan pertembakauan selama ini dibuat tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi para pelaku industri, mulai dari petani, pekerja, hingga pedagang. Ia berharap pemerintah bisa lebih selektif dalam mengadopsi kebijakan asing dan benar-benar melihat dampak nyata yang terjadi di Indonesia.

3. Konsumen tidak dilibatkan

ilustrasi tembakau (pixabay.com/PublicDomainPictures)

Eggy menegaskan KPTNI mendukung program pemerintah untuk mengatur konsumsi tembakau, tetapi meyayangkan karena konsumen tidak pernah diajak berdiskusi dalam penyusunan regulasi.

Ia berharap pemerintah bisa lebih bijaksana dalam menyusun regulasi yang berpengaruh besar terhadap sektor pertembakauan nasional.

"Misalnya, Perda KTR yang sosialisasinya sangat kurang. Akibatnya, banyak kebijakan di lapangan yang tidak berjalan dengan baik. Bahkan, aparat penegak hukum sering salah kaprah dalam menafsirkan hak konsumen atas tempat khusus merokok (TKM) yang layak dan aman," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us