Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Para Kepala Daerah Terpilih Harus Kurangi Kemiskinan Lewat 7 Cara

Kepala Ombudsman Jateng Siti Farida dan jajaran saat menyerahkan plakat penilaian pelayanan publik kepada Pj Gubernur Jateng Nana Sudjana. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Semarang, IDN Times - Dalam hiruk pikuk pilkada, isu pengentasan kemiskinan menyeruak dalam janji-janji kampanye pasangan calon kepala daerah. Berbagai persoalan yang kompleks lahir karena kemiskinan walaupun berbagai upaya telah dilakukan. Kemiskinan merupakan salah satu penyebab akut dehumanisasi.

Amartya Sen menegaskan bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi di mana masyarakat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan primer, tidak memiliki pendapatan, kesehatan yang buruk, kurangnya akses pendidikan, tidak merasa aman, tidak percaya diri, tidak berdaya ataupun tidak memiliki hak kebebasan berbicara. Sedemikian perihnya kemiskinan, hingga Khalifah Imam Ali RA, menyerukan, “Seandainya kemiskinan itu berwujud manusia, aku adalah orang pertama yang akan membunuhnya.”

 

1. Ketimpangan

Kepala Ombudsman Jateng Siti Farida. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Upaya pengentasan kemiskinan bertemali dengan penyetaraan distribusi pendapatan). Mengacu World Bank, ketimpangan pendapatan itu lebih luas daripada kemiskinan. Ketimpangan ekonomi mencerminkan ketidaksetaraan status, maupun kesempatan.

Menurut World Inequality Report, 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2022. Sementara, kelompok 50% terbawah hanya memiliki 4,5%.

Dari data distribusi kekayaan penduduk dewasa Indonesia, Lembaga Credit Suisse menghitung Gini Ratio nya sebesar 0,782. Jauh lebih tinggi dari rasio gini BPS sebesar 0,384 (Maret 2022).

Dilihat dari distribusi tiap kelompok 10% (desil) penduduk dewasa, tercatat desil 10 atau yang tertinggi memiliki porsi kekayaan sebanyak 67% dari total kekayaan. Sedangkan yang terendah atau desil 1 memiliki porsi kekayaan minus 0,1%. Dengan kata lain, kelompok desil terendah ini justru memiliki hutang lebih banyak dari kekayaannya.

Berdasarkan publikasi Credit Suisse, Indonesia masih mengalami ketimpangan, sehingga menimbulkan kemakmuran sebagian kelompok tetapi juga menimbulkan kemiskinan kelompok lainnya.

Menurut Kindleberger, pendapatan yang kaya tumbuh jauh lebih cepat daripada yang miskin, dan merembet ke masalah kesejaheraan secara umum. Yaitu fakta bahwa kemiskinan ekstrem ternyata bersanding dengan kekayaan ekstrem.

Ketimpangan menjadi penghambat serius bagi pengentasan kemiskinan, kontra produktif dengan laju pertumbuhan ekonomi, serta mengancam solidaritas sosial. Manakala ketimpangan tidak diatasi, upaya menurunkan kemiskinan jelas terhambat dan mengancam kestabilan masyarakat. Ketimpangan ini merupakan ancaman bagi kesejahteraan rakyat.

2. Pekerjaan rumah kepala daerah terpilih

Distribusi pendapatan yang tidak merata dapat diminimalisir melalui pembangunan ekonomi. Dalam konteks pilkada, implementasi visi, misi, dan program dari kepala daerah terpilih menjadi cetak biru bagi pembangunan di daerahnya.

Salah satu batu ujinya adalah bagaimana implementasinya dalam pengentasan kemiskinan serta meminimalisir ketimpangan, simultan dengan peningkatan kesejahteraan. Masalah yang sering timbul adalah fokus utama dalam pengentasan kemiskinan, apakah memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, atau penghapusan ketimpangan.

Faktanya, tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perubahan pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Hubungan antara ketiganya adalah tantangan nyata untuk membangun strategi pembangunan, yang tergambar dalam fungsi relasi Poverty-Growth-Inequality (PGI) Triangle.

Mengutip, Bourguignon, model ini mengisyaratkan bahwa pengentasan kemiskinan memerlukan kombinasi kebijakan PGI Triangle. Pola ini berfokus pada pertumbuhan ekonomi sekaligus pengurangan ketimpangan. Relasi PGI adalah warning terhadap kepala daerah terpilih bahwa pertumbuhan ekonomi dapat memperparah ketimpangan, ketika tidak diimbangi dengan pemerataan.

Pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu, menghasilkan fungsi berupa dampak kemiskinan dan ketimpangan. Inilah yang dikhawatirkan Kuznets dengan hipotesis “U-terbalik” bahwa ketimpangan akan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi.

Amartya Sen menegaskan bahwa kemiskinan bukan semata capaian ekonomi, namun juga dari aspek pembangunan sumber daya manusia. Konsep ini mengerucut pada Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang menggambarkan kemampuan dasar mencakup dimensi pendidikan, kesehatan, dan pengeluaran (daya beli).

IPM menunjukkan kualitas SDM yang merupakan faktor kunci dalam aktivitas pembangunan. Jika kualitas SDM meningkat, akan mendorong produktivitas kinerja, meningkatkan kesejahteraan orang tersebut dan dapat keluar dari kemiskinan.

Narasi ini tercermin di Singapura, yang memiliki IPM tertinggi di Asia. Dari aspek pendidikan, kesehatan, dan kemampuan beli penduduk di sana jauh lebih baik dari negara lainnya. Salah satunya sistem layanan kesehatan yang diterapkan di Singapura sangat berkualitas dan mudah diakses oleh masyarakat, serta adanya program pemerintah yang bagus seperti Medishield dan Medifund.

Untuk aspek pendidikan, pionirnya adalah negara-negara Nordik (Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia). Di sini mereka memprioritaskan akses pendidikan, kesejahteraan siswa, dan kolaborasi. Ketimpangan di kawasan ini juga terendah di dunia, warganya memiliki indeks kesejahteraan dan kebahagian yang tinggi. Salah satu pengungkit utamanya adalah pelayanan publik, karena mereka mendominasi papan atas untuk pelayanan publik terbaik di dunia.

3. Perlu peningkatan IPM

Kembali pada konsep segitiga kemiskinan, pertumbuhan, dan ketimpangan (PGI), relasi fungsi antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan yang baik akan berujung pada pengentasan kemiskinan.

Relasi ini mengharuskan prasyarat utama, yaitu peningkatan IPM. Inilah alternatif percepatan atau shortcut bagi para kepala daerah terpilih, untuk mengiris ketimpangan paralel dengan pengentasan kemiskinan dengan sumbu pertumbuhan/pembangunan ekonomi.

Pertama, memprioritaskan peningkatan SDM, utamanya dengan membuka akses pendidikan nir-hambatan. Semua keluarga terutama—yang miskin harus terbebas dari beban bagaimana mendapatkan pendidikan berkualitas.

Kedua, memastikan terselenggaranya kebijakan dan mekanisme bahwa kaum miskin mampu mengakses sumber daya, bargaining position, power sharing and control (kekuatan), sehingga mereka berdaya untuk keluar dari jebakan kemiskinan (poverty trap). Implementasi program kepala daerah tidak sekedar populis, tetapi harus memberdayakan.

Ketiga, perbaikan tata kelola sektor tenaga kerja, utamanya pemenuhan hak pekerja. Di sektor inilah terdapat irisan yang kuat, meliputi kelompok miskin, rentan, dan marginal.

Keempat, meningkatkan akses terhadap infrastruktur yang layak untuk meminimalisir kesenjangan pedesaan dengan perkotaan. Perbaikan infrastruktur akan mengungkit dan menjadi katalis aktivitas perekonomian.

4. Birokrasi Pemda musti digerakkan dengan lincah

Pasien saat antri untuk mendapatkan obat di salah satu Puskesmas Lotim (IDN Times/Ruhaili)

Kelima, menghadirkan pelayanan publik –khususnya kesehatan dan pendidikan—yang inovatif dan mampu menjangkau kelompok rentan, miskin, dan marginal. Tata kelola birokrasi PEMDA harus digerakkan sebagai motor penggerak pelayanan publik, harus lincah (agile), cepat, tanggap, dan tuntas. Mengingat, birokrasi merupakan bagian terbesar yang mendapatkan alokasi sumber daya negara berupa anggaran, kewenangan, regulasi, hingga aparat.

Birokrasi yang lamban akan menjadi penghambat signifikan, Keenam, memfasilitasi kemudahan kegiatan berusaha di sektor UMKM hingga memiliki legalitas.

Point ini signifikan untuk mengurangi capital idle ketika UMKM masih informal, karena tidak optimal mengakses layanan keuangan maupun insentif dan paket kegiatan berusaha. Secara progresif, kepla daerah harus mampu menjadikan alokasi APBD menjadi instrumen fiskal daerah untuk memberdayakan UMKM. Ketujuh, berkolaborasi dengan lembaga negara (Ombudsman, BPK, BPKP, KPK) untuk menjamin akuntabilitas tata kelola pemerintahan dan menghadirkan pelayanan publik yang mudah, murah, dan cepat.

Ketujuh langkah tersebut diharapkan menjadi dedikasi kepala daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat. Jika tidak, sebagaimana yang dikatakan Presiden Nyerere dari Tanzania, bahwa kemiskinan menyebabkan kemiskinan yang lebih parah, sebagai akumulasi atas kekuasaan atau ketidakberdayaan seseorang terhadap orang lainnya.

Penulis: Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Tengah, Siti Farida

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fariz Fardianto
Bandot Arywono
Fariz Fardianto
EditorFariz Fardianto
Follow Us